Kurang dari sebulan, kasus Covid-19 varian Omicron di Indonesia telah mencapai 318 kasus. Hal ini menjadi sinyal kewaspadaan untuk mengantisipasi lonjakan kasus yang berpotensi memicu gelombang penularan berikutnya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kurang dari empat pekan sejak dilaporkan pertama kali pada 16 Desember 2021, kasus Covid-19 varian Omicron di Indonesia, hingga Jumat (7/1/2022), mencapai 318 kasus. Meski mayoritas kasus bergejala ringan dan tidak bergejala, kondisi ini dianggap menjadi lampu kuning untuk meningkatkan kewaspadaan mengantisipasi lonjakan kasus.
Apalagi memasuki 2022, penambahan kasus harian Covid-19 mulai meningkat. Berdasarkan laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Minggu (9/1/2022), terdapat 529 kasus baru dalam sehari. Jumlah itu naik hampir 3 kali lipat dibandingkan kasus harian pada 31 Desember 2021 dengan 180 kasus.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Senin (10/1/2022), ancaman tsunami kasus Covid-19 varian Omicron kombinasi dengan Delta membayangi dunia, termasuk Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jika tidak segera diantisipasi, hal itu bisa membuat tenaga kesehatan kelelahan dan membebani sistem layanan kesehatan.
”Semestinya kondisi ini dibaca sebagai lampu kuning. Tingkatkan kewaspadaan, terutama di daerah yang banyak menyumbang kasus dalam beberapa hari terakhir, seperti DKI Jakarta dan Kepulauan Riau,” ujar Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan dihubungi di Jakarta, Minggu (9/1/2022).
Menurut Ede, peningkatan kewaspadaan itu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satunya menaikkan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Hal ini bertujuan untuk mencegah penularan sehingga penyebaran varian Omicron tidak meluas.
”Yang paling penting adalah menemukan sumbernya. Misalnya, jika terjadi di bandara, harus segera dikendalikan dengan memperketat pengawasan di lokasi itu,” ujarnya.
Tidak terlena
Ede mengajak semua pihak tidak terlena dengan kasus Omicron di Indonesia yang belum menyebabkan gejala parah. Penambahan kasus harian saat ini pun masih jauh lebih kecil dibandingkan rekor tertinggi pada Juli 2021 dengan lebih dari 50.000 kasus.
Akan tetapi, jika tak segera dikendalikan, kasusnya akan terus meningkat dan berpotensi memicu gelombang penularan ketiga. Menurut dia, diperlukan langkah cepat dari Satgas Penanganan Covid-19 dan pemerintah daerah untuk mencegah hal itu.
”Masyarakat relatif masih tenang karena belum melihat antrean masuk rumah sakit, tetapi tetap jangan lengah. Harus ada tindakan merespons peningkatan kasus ini,” ucapnya.
Semestinya kondisi ini dibaca sebagai lampu kuning. Tingkatkan kewaspadaan, terutama di daerah yang banyak menyumbang kasus beberapa hari terakhir, seperti DKI Jakarta dan Kepulauan Riau.
Menurut Ede, dengan penularan yang lebih cepat, Omicron berpotensi memicu lonjakan kasus. Apalagi hal ini sudah terjadi di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan India. Namun, ia belum bisa memperkirakan kapan puncak penularan itu akan terjadi.
”Meskipun pandemi sudah dua tahun, Covid-19 masih sulit diprediksi. Namun, sebaiknya fokus pada langkah antisipasi untuk menekan lonjakan kasusnya,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat edaran tentang pencegahan dan pengendalian Covid-19 varian Omicron. Surat ini ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota, serta kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pemda diharapkan memperkuat tes dan pelacakan kontak untuk mengantisipasi penyebaran varian tersebut.
Ede juga mengusulkan pengawasan berlapis terhadap pelaku perjalanan internasional. Jadi, setelah menyelesaikan karantina 7-10 hari, pemerintah daerah diharapkan tetap memantau kondisi kesehatan pelaku perjalanan tersebut.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers daring mengatakan, pemerintah terus meningkatkan skrining di pintu-pintu masuk negara untuk meminimalkan potensi penularan Omicron. Kewajiban karantina bagi pelaku perjalanan internasional juga diterapkan tanpa pandang bulu.
”Langkah antisipasi direncanakan sedemikian rupa, termasuk keputusan untuk menunda segala bentuk perjalanan yang tidak mendesak dan terencana apalagi dalam jumlah besar. Sebab, hal itu akan memberikan risiko terhadap keberhasilan pengendalian Covid-19 pasca-Natal dan Tahun Baru,” katanya.