Kenaikan Tarif Cukai Dinilai Belum Meningkatkan Harga Jual Rokok Eceran
Rencana kenaikan tarif cukai tembakau 12 persen dinilai belum mampu menurunkan prevalensi perokok secara signifikan. Harga eceran per batang diperkirakan masih sangat rendah atau berbeda Rp 100 dari harga sebelumnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menaikkan cukai hasil tembakau menjadi salah satu upaya untuk membuat harga rokok lebih mahal sehingga diharapkan dapat menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Namun, harga eceran rokok per batang diperkirakan tidak akan mengalami perubahan signifikan jika tidak ada kenaikan cukai yang sangat tinggi.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna mengemukakan, rendahnya cukai membuat harga rokok di Indonesia sampai saat ini masih tergolong murah. Hal inilah yang memudahkan generasi muda dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan serta mengonsumsi rokok.
”Pada akhirnya, prevalensi perokok di Indonesia, khususnya remaja dan kelompok miskin, akan sulit turun seperti yang diharapkan. Mereka bisa menjangkau rokok karena dijual secara murah dan eceran,” ujarnya dalam acara refleksi pengendalian tembakau, di Jakarta, Rabu (29/12/2021).
Dari kurva analisis menunjukkan prevelensi perokok dapat turun signifikan jika ada kenaikan cukai yang luar biasa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, harga rokok di Indonesia masih tergolong dan jauh dari rata-rata dunia. Rata-rata harga rokok dunia sudah mencapai 4 dollar AS atau sekitar Rp 55.000, sedangkan di Indonesia rata-rata masih 2,1 dollar AS atau Rp 29.000. Harga rokok di Indonesia bahkan sepuluh kali lebih murah dibandingkan dengan Australia yang mencapai 21 dollar AS atau Rp 298.000 atau termahal di dunia.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk membuat harga rokok mahal yaitu dengan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT). Menurut Mukhaer, cukai dikenakan pada rokok karena adanya eksternalitas atau dampak negatif, yakni kesehatan, sosial, dan lingkungan. Jadi, pengenaan cukai pada rokok bukan semata untuk meningkatkan penerimaan negara.
Meski demikian, dari analisis yang dilakukan Mukhaer, rencana kenaikan tarif CHT dengan rata-rata 12 persen pada 2022 belum mampu meningkatkan kenaikan harga jual eceran per batang. Dengan kenaikan cukai tersebut, harga eceran per batang diperkirakan masih sangat rendah atau berbeda Rp 100 dari harga sebelumnya.
”Kenaikan cukai rokok 12 persen itu seperti menggarami laut atau tidak ada perubahan signifikan. Sebab, rokok masuk kategori produk inelastis. Dari kurva analisis menunjukkan prevelensi perokok dapat turun signifikan jika ada kenaikan cukai yang luar biasa,” tuturnya.
Selain itu, kata Mukhaer, studi Bank Dunia menunjukkan, tarif CHT Indonesia termasuk yang paling rumit di dunia dengan sistem yang berlapis berdasarkan produk tembaku, golongan industri, hingga harga jual eceran. Padahal, di negara lain, klasifikasi tarif yang kompleks sudah ditinggalkan dan tidak umum diterapkan.
Mukhaer mendorong agar pemerintah dapat menerapkan tarif CHT yang lebih sederhana untuk memudahkan fungsi pemantauan dan mengurangi biaya administrasi. Struktur tarif yang lebih sederhana juga sejalan dengan pengendalian tembakau karena akan mendorong fungsi kontrol konsumsi rokok di masyarakat.
Pembina Indonesia Institute on Social Development (IISD) Tien Sapartinah mengatakan, strategi pengendalian tembakau harus memiliki prinsip atau semangat perlindungan untuk semua dan tidak berdampak merugikan bagi pihak mana pun. Pengendalian tembakau jangan hanya melihat dampaknya bagi pengusaha, tetapi juga petani, remaja, anak-anak, hingga masyarakat secara luas.
Pengendalian lemah
Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah M Agus Samsudin menilai, upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah. Hal ini terlihat dari masih adanya epidemi yang disebabkan oleh rokok sehingga pencegahan terhadap penyakit tidak menular sulit diwujudkan.
”Secara faktual di lapangan, jumlah produksi rokok juga masih besar, sekitar 380 miliar batang yang membuat Indonesia menjadi produsen tembakau terbesar kedua di dunia. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia telah menjadi pasar yang sangat potensial untuk rokok,” katanya.
Agus menegaskan, secara organisasi, PP Muhammadiyah terus mendukung upaya pengendalian tembakau. Keseriusan PP Muhammadiyah dalam upaya pengendalian tembakau ini ditunjukkan dengan membentuk Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) sebagai wadah koordinasi nasional dan melakukan berbagai advokasi kebijakan kawasan tanpa rokok ataupun cukai rokok nasional.
”Tarik menarik antara ekonomi dan kesehatan masih akan tetap berlangsung. Di sinilah Muhammadiyah bersama komponen lain perlu lebih serius dan mempunyai energi lebih untuk bisa mengawal perbaikan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,” ucapnya.