Defisiensi Vitamin B12 Berakibat Fatal
Vitamin B12 sangat penting untuk fungsi otak dan sistem saraf, pembentukan sel darah merah, serta metabolisme sel. Kekurangan vitamin yang hanya terdapat dalam produk hewani ini bisa memicu gangguan kesehatan parah.
Vitamin B12 atau kobalamin merupakan vitamin dengan struktur terbesar dan terumit. Zat gizi ini sangat diperlukan dalam aktivitas dan pertumbuhan sel.
Produksi sel darah merah sangat bergantung pada keberadaan vitamin B12. Demikian juga metabolisme setiap sel dalam tubuh karena vitamin itu berperan besar dalam sintesis asam lemak dan produksi energi.
Baca juga : Cegah Kepikunan sejak Dini
Kekurangan vitamin B12 menyebabkan anemia. Gejala paling umum adalah mudah lelah, sesak napas, dan detak jantung tidak teratur. Penderita anemia bisa mengalami mulut atau lidah sakit, berat badan turun, kulit pucat, diare, serta masalah menstruasi. Selain itu, defisiensi atau kekurangan vitamin B12 dapat mengakibatkan kerusakan permanen dan gangguan parah, terutama pada sistem saraf dan otak, misalnya demensia.
Penelitian yang dilakukan Jessica Tanis, Guru Besar Departemen Ilmu Biologi Universitas Delaware, Amerika Serikat (AS), bersama mahasiswa bimbingannya, Andy B Lam dan Kirsten Kervin, menunjukkan, vitamin B12 berpotensi menjadi terapi untuk penyakit Alzheimer yang dipicu stres proteotoksik. Penelitian diterbitkan di Cell Reports, 28 September 2021.
Vitamin B12 berpotensi menjadi terapi untuk penyakit Alzheimer yang dipicu stres proteotoksik.
Pada otak penderita Alzheimer, penumpukan beta amiloid selama bertahun-tahun menyebabkan efek toksik dalam sel, mengakibatkan berkurangnya energi, fragmentasi mitokondria yang merupakan pembangkit listrik sel tubuh, dan stres oksidatif dari kelebihan radikal bebas. Para peneliti menggunakan cacing tanah Caenorhabditis elegans untuk memperlihatkan dampak diet pada proteotoksisitas beta amiloid.
Baca juga : Ubah Sel Imun untuk Tingkatkan Daya Ingat
Keberadaan beta amiloid melumpuhkan cacing dalam 36 jam setelah mencapai usia dewasa. Namun, pemberian vitamin B12 dapat memperlambat kelumpuhan.
Tim juga menemukan, aktivitas vitamin itu bergantung pada enzim metionin sintase. Tanpa kehadiran enzim tersebut, B12 tidak berpengaruh, demikian Tanis di laman Universitas Delaware.
Sebuah artikel di Medical News Today, 28 November 2017, menyebutkan, gejala defisiensi vitamin B12, antara lain, ialah depresi, kebingungan, gangguan memori, dan kelelahan. Gejala lain, sembelit, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan. Pada kondisi kekurangan parah bisa terjadi perubahan neurologis, seperti mati rasa dan kesemutan di tangan dan kaki, serta kesulitan menjaga keseimbangan tubuh.
Pada bayi, kekurangan vitamin B12 menyebabkan masalah refleks, kesulitan makan, dan sangat rewel. Jika tidak segera diatasi, bisa mengganggu tumbuh kembang anak.
Kekurangan vitamin B12 pada ibu selama kehamilan menyebabkan anak yang dilahirkan berisiko tinggi menderita diabetes tipe 2. Demikian penelitian yang dipresentasikan pada konferensi tahunan Perhimpunan Endokrinologi di Brighton, Inggris, tahun 2016. Tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Warwick, Inggris, mendapatkan, bayi yang lahir dari ibu dengan defisiensi B12 memiliki kadar leptin lebih tinggi dari normal.
Baca juga : Penanganan Anemia Cegah Malnutrisi
Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel lemak. Fungsinya mengendalikan nafsu makan dan rasa lapar, meningkatkan energi yang dikeluarkan melalui sinyal spesifik pada hipotalamus, dan memelihara keseimbangan berat badan.
Larut dalam air
Seperti jenis vitamin B lain, B12 larut dalam air. Tubuh manusia dapat menyimpan vitamin B12 hingga empat tahun. Kelebihan vitamin B12 dikeluarkan bersama urine.
Vitamin B12 terdapat secara alami dalam produk hewani, seperti ikan, daging, telur, susu, keju, yogurt, serta beberapa produk ragi nutrisi. Namun, tidak terdapat pada makanan nabati. Suplemen vitamin B12 dapat diproduksi secara industri melalui sintesis fermentasi bakteri.
Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) AS merekomendasikan, remaja di atas usia 14 tahun dan orang dewasa untuk mengonsumsi 2,4 mikrogram (mcg) vitamin B12 setiap hari. Wanita hamil 2,6 mcg, dan wanita menyusui 2,8 mcg.
Bayi disarankan mendapat 0,4-0,5 mcg vitamin B12. Anak usia 1-3 tahun 0,9 mcg, usia 4-8 tahun 1,2 mcg, dan usia 9-13 tahun mendapat 1,8 mcg.
Penganut pola makan vegan menghadapi risiko kekurangan vitamin B12 karena tidak makan produk hewani. Kelompok lain yang berisiko adalah orang lanjut usia, orang yang usus kecilnya telah diperpendek melalui pembedahan. Mereka tidak mampu menyerap kobalamin dengan benar. Hal yang sama terjadi pada penderita anemia pernisiosa, yakni penyakit autoimun terkait darah, penderita gastritis, penyakit celiac, penyakit radang usus, dan pencandu berat alkohol.
Artikel di WebMD, 3 Mei 2021, menyebutkan, sejumlah obat untuk penyakit refluks gastroesofageal (GERD), yakni penghambat pompa proton dan pemblokir H2, juga obat metformin untuk diabetes dapat mengurangi kemampuan tubuh menyerap vitamin B12.
Deteksi dini defisiensi vitamin B12 melalui penapisan rutin penderita diabetes yang diobat dengan metformin dapat mengurangi risiko mereka mengalami kerusakan saraf perifer yang menyakitkan dan berpotensi melumpuhkan. Hal itu dipresentasikan Kaenat Mulla dan kolega dokter di Hucknall Road Medical Centre, Nottingham, Inggris, dalam konferensi tahunan Perhimpunan Endokrinologi di Glasgow, seperti diberitakan Science Daily, 20 November 2018.
Sistem saraf perifer atau saraf tepi berfungsi mengirimkan sensasi fisik dari seluruh organ tubuh ke otak. Kerusakan sistem saraf ini ditandai dengan kesemutan, mati rasa, kram, bahkan kelemahan pada pergelangan kaki atau tangan.
Kesulitan menyerap vitamin B12, demikian laman Mayo Clinic, bisa diatasi dengan konsumsi suplemen B12. Sementara kekurangan berat diterapi lewat suntikan vitamin B12.