Pandemi Covid-19 memicu gangguan kesehatan mental. Di sisi lain, pandemi juga memperburuk kondisi mereka yang sejak awal sudah memiliki gangguan kesehatan mental.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Beban kerja Shinta (25) sebagai tenaga administrasi toko kelontong bertambah dua kali lipat selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Kondisi itu memaksa toko fisik tutup sementara dan semua transaksi dialihkan ke toko daring. Shinta kelimpungan, terlebih saat itu masa Lebaran. Artinya, transaksi di toko sedang tinggi-tingginya.
Warga Sumedang, Jawa Barat, itu semestinya bekerja dari pukul 09.00 hingga 17.00. Namun, ia selalu lembur. Pekerjaan terpaksa dibawa pulang ke indekos, lalu dikerjakan hingga malam.
Shinta tidak hanya kelelahan, tetapi juga sulit tidur karena gelisah. Ia mengatakan, suara notifikasi di ponselnya membuat dia berdebar-debar. Ia takut membuka aplikasi pesan singkat, khawatir jika itu menyangkut pekerjaan.
Shinta memilih mundur setelah sekitar setengah tahun bekerja. Ia memilih kesejahteraan jiwanya daripada bertahan di kantor. Keputusan itu riskan karena tak mudah mencari pekerjaan baru selama pandemi Covid-19. Kini, Shinta masih menganggur.
Saya mengalami anxiety attack (serangan kecemasan) dan PTSD (gangguan stres pascatrauma).
”Di 2020, saya bekerja sebagai teknisi komputer, tetapi berhenti. Butuh waktu enam bulan untuk dapat pekerjaan sebagai admin,” ujar lulusan SMA itu pada Jumat (8/10/2021). ”Sulit sekali mencari kerja karena banyak pesaing. Kondisinya pandemi pula,” tambahnya.
Ia bertahan dengan uang tabungan. Tabungannya cukup untuk hidup hingga Desember 2021. Jika belum dapat pekerjaan hingga saat itu, ia terpaksa minta dibiayai ibu dan kakaknya.
Adapun Via (22), perantau dari Jawa Timur di Jakarta, juga belum mempunyai pekerjaan tetap sejak September 2021. Ia tidak menyesal mundur dari pekerjaan sebelumnya karena lingkungan kerjanya dinilai toksik.
Kini, ia menjadi guru honorer dan hanya menangani satu murid homeschooling. Gajinya kurang untuk hidup sehingga ia menggunakan uang tabungan. Padahal, Via tulang punggung keluarga. Tidak ada yang membantunya.
Sejumlah lamaran pekerjaan sudah dikirim. Panggilan wawancara kerja juga ia penuhi, tetapi Via belum beruntung.
Via yang sejak 2018 mempunyai gangguan kesehatan mental semakin rentan. Dulu, dia berkonsultasi ke psikiater dan minum obat, tetapi pelan-pelan berhenti pada 2020 karena masalah biaya. Ia kini menguatkan mental untuk pulih. Temannya yang psikolog ikut membantu Via dan mengontrol kondisinya secara berkala.
”Saya mengalami anxiety attack (serangan kecemasan) dan PTSD (gangguan stres pascatrauma),” katanya. ”Fisik saya terkadang sakit karena efek PTSD-nya muncul. Kalau begini, saya biasanya minum obat pereda nyeri.”
Via tidak lagi meminum obat sekitar setahun terakhir. Ia bertekad tidak tergantung pada obat. Via menambahkan, rasa sakit yang ia alami sudah tidak separah dulu.
Sementara itu, warga Jakarta, Budi (24), juga sempat kesulitan selama pandemi. Ia sulit mendapat pekerjaan. Di sisi lain, pemasukan keluarganya turun sejak tidak bisa lagi berjualan bubur di kawasan sebuah rumah sakit. Gerobak buburnya terparkir di depan rumah dan hanya melayani pembeli di sekitar rumah.
Budi lalu memutuskan menjadi pengemudi ojek daring untuk membantu keluarga. Namun, ia terpaksa libur sebulan karena sakit. Di sisi lain, pengeluaran keluarganya tidak sedikit karena adik-adiknya butuh biaya sekolah.
”Kondisi itu sepertinya berdampak ke kesehatan mental ibu karena dia yang mengatur keuangan, tapi tidak parah karena keluarga mendukung dengan ajaran agama,” kata Budi. ”Alhamdulillah sebulan terakhir saya dapat pekerjaan di bagian gudang,” tambahnya.