Solidaritas Sosial Dapat Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemi
Masyarakat di Indonesia memiliki solidaritas sosial dan sikap gotong royong yang tidak dimiliki negara lain. Ini merupakan modal sosial yang kuat dan dikembangkan dalam melalui dampak pandemi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesehatan mental selama pandemi dapat dijaga dengan menjalin dan meningkatkan solidaritas sosial. Masyarakat Indonesia yang beragam dan berbeda latar belakang telah menumbuhkan budaya gotong royong serta menggerakkan solidaritas sosial.
Intelektual entrepreneur Denny JA dalam webinar bertajuk ”Solidaritas Sosial dalam Kebhinekaan”, Sabtu (9/10/2021), mengemukakan, dampak pandemi tidak hanya memperburuk ekonomi, tetapi juga kesehatan mental masyarakat. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat survei ke berbagai negara untuk mengetahui masalah psikologi yang muncul selama pandemi.
”Hasil survei WHO menunjukkan gangguan psikologis yang muncul ini antara lain merosotnya kesehatan mental, takut, gelisah, tidak fokus, dan susah tidur. Semua masalah tersebut membuat penyakit kronis kian memburuk,” ujarnya.
Salah satu tanda meningkatnya kesehatan mental selama pandemi ini adalah menjamurnya layanan konseling daring. Masyarakat tak segan untuk mengikuti layanan konseling daring mengingat pandemi membuat semua kegiatan harus dibatasi termasuk konseling dengan pertemuan tatap muka.
Banyak kekayaan modal sosial kita yang belum terungkap sebagai bagian dari pembentuk tingkah laku manusia Indonesia.
Menurut Denny, dampak dari pandemi, khususnya terkait kesehatan mental, tidak bisa hanya diselesaikan oleh lembaga pemerintah. Akan tetapi, masyarakat harus turut berperan mengatasi permasalahan ini. Sebab, masyarakat di Indonesia memiliki solidaritas sosial dan sikap gotong royong yang tidak dimiliki negara lain.
”Masyarakat sipil memiliki ruang yang sangat luas untuk berperan melakukan konseling bagi yang membutuhkan. Contohnya di Jepang mengembangkan layanan call center untuk yang bisa ditelepon 24 jam oleh siapa pun yang ingin bunuh diri. Layanan ini terbukti bisa mengurangi tendesi orang yang ingin bunuh diri karena kesepian,” katanya.
Pengajar psikologi sosial Universitas Indonesia, Eko Aditiya Meinarno, mengatakan, sampai saat ini belum banyak penelitian bidang psikologi sosial yang berfokus untuk mengungkap sikap gotong royong. Penelitian yang ada saat ini hanya pada bidang antropologi yang mengungkap bahwa sikap gotong royong mayoritas terjadi di seluruh daerah di Indonesia.
”Dalam psikologi, gotong royong merupakan hubungan timbal balik yang mendorong individu saling menolong untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan orang di satu waktu. Tujuannya bisa perseorangan ataupun kelompok. Dalam menghadapi Covid-19, sikap gotong royong ini sangat terasa,” katanya.
Menurut Eko, sudah banyak contoh gotong royong yang dilakukan selama pandemi. Bahkan, gotong royong juga dijadikan konsep atau program dari pemerintah pusat, daerah, hingga tingkat rukun tetangga. Salah satu program tersebut adalah Jogo Tonggo oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang merupakan penanganan Covid-19 berbasis kewilayahan.
Eko menegaskan, gotong royong di Indonesia tidak memandang latar belakang orang yang dibantu. Masyarakat melakukan hal tersebut atas kesadaran untuk menolong orang lain. Gotong royong membuat individu sadar bahwa dirinya bagian dari kelompok tersebut.
Meski demikian, tambah Eko, hasil riset pada 2017 menunjukkan bahwa gotong royong di Indonesia belum menyentuh ke aspek kemanusiaan secara universal atau Bhinneka Tunggal Ika. Eko menduga penyebabnya adalah mayoritas masyarakat hanya mau melakukan gotong royong untuk kelompoknya saja yang seragam.
”Sebenarnya Indonesia memiliki modal sosial untuk lebih humanis mengingat hasil pengukuran menunjukkan kita salah satu negara yang dermawan. Psikologi sosial dapat menjadi penerjemah dengan unsur sains. Banyak kekayaan modal sosial kita yang belum terungkap sebagai bagian dari pembentuk tingkah laku manusia Indonesia,” tuturnya.
Psikolog keluarga dan humanitarian Alissa Wahid menilai kesehatan mental merupakan kapasitas mental individu agar ia mampu hidup secara optimal dan mengintegrasikan aspek-aspek diri. Kesehatan mental juga dipandang sebagai bentuk mengaktualisasikan potensi dan membangun kehidupan sosial.
”Tidak ada orang yang hidup seperti pulau atau terpisah dengan daratan yang lain. Oleh karena itu, bagaimana orang mengelola kehidupan sosialnya itu menjadi aspek yang sangat penting bagi kesehatan mental,” tambahnya.