Setengah Populasi Global Tak Miliki Akses Diagnostik untuk Penyakit Umum
Kesenjangan diagnostik paling besar terjadi di layanan primer, di mana hanya sekitar 19 persen populasi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah yang memiliki akses ke tes diagnostik paling sederhana,
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setengah dari populasi global memiliki akses terbatas atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali pada tes dan layanan utama yang penting untuk mendiagnosis penyakit umum, seperti diabetes, hipertensi, HIV, dan tuberkulosis, dan tes dasar untuk wanita hamil, seperti hepatitis B dan sifilis. Tanpa akses ke diagnostik yang akurat dan terjangkau, banyak orang tidak mendapatkan perawatan yang tepat.
Temuan ini dilaporkan oleh The Lancet Commission on Diagnostics yang terdiri atas 25 ahli dari 16 negara untuk mengubah akses global ke diagnostik. Laporan dirilis pada Kamis (7/10/2021).
Komisi ahli ini menyoroti pentingnya diagnostik untuk setiap sistem perawatan kesehatan. Mereka juga meminta para pembuat kebijakan untuk mengatasi kesenjangan diagnostik, meningkatkan akses, dan memperluas pengembangan diagnostik di luar negara-negara berpenghasilan tinggi.
Di sebagian besar dunia, pasien dirawat karena penyakitnya tanpa akses ke tes dan layanan diagnostik utama. Ini setara dengan praktik kedokteran buta.
Pelajaran dari pandemi Covid-19 juga menunjukkan pentingnya diagnosis yang tepat waktu dan akurat. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, kemampuan untuk menggunakan laboratorium kesehatan masyarakat, selain sektor swasta, sangat penting dalam meningkatkan kapasitas pengujian. Akan tetapi, banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki kapasitas tes terbatas sehingga kesulitan mengendalikan pandemi.
”Di sebagian besar dunia, pasien dirawat karena penyakitnya tanpa akses ke tes dan layanan diagnostik utama. Ini setara dengan praktik kedokteran buta. Ini tidak hanya berpotensi berbahaya bagi pasien, tetapi juga merupakan pemborosan yang signifikan dari sumber daya medis yang langka,” tutur Kenneth Fleming, ketua komisi dari Universitas Oxford, Inggris.
Menurut Fleming, pandemi Covid-19 telah menempatkan pengujian di puncak politik dan global agenda kesehatan. ”Itu harus menjadi titik balik dalam memprioritaskan diagnostik untuk semua penyakit,” ujarnya.
Diagnostik ini mencakup kumpulan tes dan layanan utama yang penting untuk memahami kesehatan pasien. Hal ini termasuk sampel darah, jaringan, atau urine yang dikumpulkan dan dianalisis di samping tempat tidur atau di laboratorium, atau pencitraan diagnostik, seperti sinar-X, ultrasound, MRI, CT, atau kedokteran nuklir.
Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan tes untuk perawatan antenatal untuk memberikan perkiraan global tentang akses ke diagnostik dasar. Tes-tes ini termasuk tes sifilis, dipstik urine, tes hemoglobin, tes glukosa darah, serta ultrasound merupakan tes diagnostik penting dan harus tersedia dalam waktu dua jam perjalanan pasien.
Diagnostik sangat penting untuk perawatan kesehatan yang berkualitas. Namun, seperti yang dinyatakan oleh komisi ahli, gagasan ini kurang diakui, yang mengarah pada kekurangan dana dan sumber daya di semua tingkatan. Secara global, mereka memperkirakan bahwa hampir setengah (47 persen) dari populasi tidak memiliki akses ke diagnostik.
Kesenjangan diagnostik paling besar terjadi di layanan primer, di mana hanya sekitar 19 persen populasi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah yang memiliki akses pada tes diagnostik paling sederhana, selain untuk HIV atau malaria. Mereka menyerukan investasi dan pelatihan mendesak untuk meningkatkan akses ke pengujian dalam perawatan primer, terutama pengujian di tempat perawatan.
”Ada tiga hal yang esensial untuk keamanan kesehatan, yaitu keamanan diagnostik, keamanan vaksin, dan keamanan terapeutik. Sistem kesehatan yang kuat dan sistem kesehatan masyarakat yang kuat membutuhkan ketiganya. Pemerataan dimulai dengan regionalisasi produksi komoditas keamanan kesehatan sebanyak mungkin, dan ini termasuk diagnostik,” kata John Nkengasong, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, yang turut dalam komisi ahli.
Mengurangi kematian
Di tingkat global, mempersempit kesenjangan diagnostik untuk enam kondisi (diabetes, hipertensi, HIV, dan tuberkulosis/TBC, ditambah hepatitis B dan sifilis untuk wanita hamil) dari 35-62 persen menjadi 10 persen akan mengurangi jumlah kematian dini tahunan sebesar 1,1 juta.
Kunci untuk menutup kesenjangan diagnostik adalah ketersediaan staf terlatih. Komisi ahli ini memperkirakan kekurangan global hingga 1 juta staf diagnostik yang harus diatasi melalui pelatihan dan pendidikan.
”Tanpa tenaga kerja terampil yang dapat menggunakan pendidikan dan pelatihannya sepenuhnya, negara tidak akan dapat menyediakan akses ke diagnostik yang sesuai untuk setiap tingkat perawatan dan mencapai cakupan kesehatan universal,” kata Michael Wilson, Wakil Ketua Komisi Otoritas Kesehatan dan Rumah Sakit Denver (AS).
Komisi lebih lanjut merekomendasikan agar negara-negara segera mengembangkan strategi diagnostik nasional berdasarkan penyediaan akses populasi ke serangkaian diagnostik yang sesuai untuk kebutuhan perawatan kesehatan lokal. Selama 15 tahun terakhir telah terlihat inovasi luar biasa dalam teknologi dan informatika terkait diagnostik, tetapi manfaat ini tidak dibagi secara adil.
Negara-negara berpenghasilan tinggi mendominasi dan hanya empat perusahaan di AS dan Eropa yang menyumbang setengah dari pasokan global diagnostik in vitro. Sementara empat perusahaan dari AS, Eropa, dan Jepang menyumbang tiga perempat dari pasokan global peralatan pencitraan.
”Pandemi Covid-19 telah menggambarkan risiko yang terlibat dalam mengandalkan sejumlah kecil pemasok medis. Memperluas produksi diagnostik dengan menempatkan lebih banyak penelitian, pengembangan, dan produksi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah prioritas utama,” kata Susan Horton, Wakil Ketua Komisi, Universitas Waterloo di Kanada.