Sejumlah obat antivirus saat ini dikembangkan perusahaan farmasi global. Salah satu obat itu ialah molnupiravir yang diklaim bisa menurunkan keparahan dan mencegah kematian akibat penyakit infeksi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan mulai mendekati sejumlah perusahaan farmasi global yang memproduksi obat untuk pasien Covid-19. Sejumlah obat antivirus saat ini dikembangkan perusahaan farmasi global, salah satunya molnupiravir yang diklaim bisa menurunkan keparahan dan mencegah kematian akibat penyakit infeksi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, di Jakarta, Senin (4/10/2021), mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta rumah sakit vertikal meninjau obat-obatan baru Covid-19, seperti yang diproduksi perusahaan farmasi Amerika Serikat dan Korea Selatan. ”Obat-obatan itu sudah kita approach pabrikannya dan kita merencanakan mulai uji klinis,” ujarnya.
Kini pemerintah aktif mendekati produsen obat Covid-19 bersifat antibodi monoklonal ataupun obat-obatan antivirus, termasuk molnupiravir, yang kini mengajukan permohonan izin penggunaan darurat (EUA) kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). ”Diharapkan pada akhir tahun ini kita bisa mengetahui obat-obatan mana saja yang cocok untuk kondisi masyarakat kita,” ujarnya.
Mengacu pada publikasi yang dikeluarkan Merck dan Ridgeback pada 1 Oktober 2021, obat mereka, yaitu molnupiravir (MK-4482, EIDD-2801), mampu menurunkan 50 persen angka perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit. Selain itu, obat ini juga diklaim mencegah kematian akibat Covid-19 pada pasien derajat ringan dan sedang.
Hasil penelitian interim mereka juga menunjukkan 7,3 persen pasien (28 orang) yang mendapat molnupiravir (385 orang) dirawat di rumah sakit sampai hari ke-29 penelitian. Sementara pada mereka yang tidak mendapat molnupiravir, artinya mendapat plasebo (377 orang) ada 53 orang (14.1 persen) yang harus masuk rumah sakit, jadi sekitar dua kali lipat lebih banyak.
Selain data masuk rumah sakit, mereka yang tidak mendapat molnupiravir ada 8 orang yang meninggal. Sementara yang mendapat molnupiravir disebut tidak ada yang meninggal sampai hari ke-29 riset ini dilakukan.
Berbagai varian
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan, sampel penelitian dalam publikasi perusahaan obat ini adalah Covid-19 ringan dan sedang, dengan onset gejala paling lama lima hari. ”Tadinya pernah dirancang untuk tujuh hari, lalu diturunkan menjadi lima hari,” ucapnya.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40 persen sampelnya bahwa efikasi molnupiravir konsisten pada berbagai varian, yaitu Gamma, Delta, dan Mu. Secara umum, efek samping seimbang antara yang dapat molnupiravir dan plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen.
”Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko atau yang biasa kita kenal dengan komorbid. Yang paling sering adalah obesitas, diabetes melitus, penyakit jantung, dan usia tua (di atas 60 tahun),” katanya.
Namun, Tjandra juga mengingatkan, pada April 2021 uji klinis obat molnupiravir ini pada pasien yang dirawat di rumah sakit dihentikan karena tidak menunjukkan hasil baik pada pasien yang masuk rumah sakit. ”April itu diputuskan riset diteruskan hanya pada mereka yang belum masuk rumah sakit, yang hasilnya baru diumumkan 1 Oktober ini,” ucapnya.
Kehati-hatian
Ahli penyakit dalam dan peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, David Handojo Muljono, mengatakan agar Indonesia berhati-hati terkait klaim obat-obatan Covid19. ”Lebih baik tunggu sikap NIH (National Institutes of Health), apakah mereka merevisi guidelines (panduan) atau tidak,” ungkapnya.
Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko atau yang kita kenal dengan komorbid. Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan usia tua (di atas 60 tahun).
Tjandra menambahkan, sejak tahun lalu sudah banyak obat Covid-19 yang dikembangkan. Ada berbagai obat yang tadinya dianggap menjanjikan, tetapi sesudah dilakukan riset mendalam, antara lain dalam bentuk solidarity trial oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di puluhan negara, ternyata obat-obat itu tidak terbukti memberi manfaat bermakna.
”WHO secara rutin memperbarui rekomendasi pengobatannya berdasarkan bukti ilmiah terakhir. Pedoman pengobatan WHO terbaru adalah WHO Therapeutics and COVID-19: living guideline yang baru saja diterbitkan pada 24 September 2021,” kata Tjandra, yang pernah menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara.
Dalam rekomendasi ini, lanjut Tjandra, ada yang bersifat tergantung kondisi dan ada yang kuat pada beberapa obat kombinasi antibodi monoklonal netralisasi, yaitu casirivimab dan imdevimab, penghambat reseptor interleukin 6 (IL-6 receptor blockers), yaitu tocilizumab atau sarilumab dan kortikosteroid.
”Memang banyak riset untuk mendapatkan obat antiviral yang tidak perlu disuntik, dalam bentuk oral saja. Pada Januari 2021, misalnya, Kementerian Kesehatan AS mengumumkan investasi 3 miliar dollar AS untuk mendapat obat baru Covid-19, terutama yang berbentuk oral. Dana ini untuk seluruh proses menemukan, pengembangan, dan produksinya,” ujarnya.