Indonesia Diminta Ikuti Pedoman Baru WHO soal Kualitas Udara
Pedoman baru dari WHO akan ambang batas sejumlah partikel polutan di udara agar segera diikuti Indonesia. Ini selaras dengan momen perbaikan kualitas udara seperti diperintahkan majelis hakim PN Jakarta Pusat.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memperbarui pedoman kualitas udara setelah ditemukan bukti-bukti baru tentang dampak buruk polusi ini terhadap kesehatan dan kematian dini 7 juta orang per tahun. Pedoman baru ini seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki standar baku kualitas udara, terutama setelah dimenangkannya gugatan publik terkait polusi udara di Jakarta.
Pedoman Kualitas Udara Global (Air Quality Guidelines/AQGs) WHO ini merevisi pedoman tahun 2005. Dalam pedoman ini, tingkat polutan udara utama yang beberapa di antaranya juga berkontribusi terhadap perubahan iklim dikurangi secara signifikan untuk melindungi kesehatan populasi.
Budi Haryanto, epidemiolog di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mendalami pencemaran udara mengharapkan pedoman baru dari WHO ini bisa diikuti oleh Pemerintah Indonesia. ”WHO menetapkan standar baru yang lebih ketat ini pasti sudah melalui kajian ilmiah untuk melindungi kesehatan publik. Kita seharusnya mengacu pada pedoman ini,” katanya, Kamis (23/9/2021).
Ia mengatakan, penetapan ambang batas biasanya dimulai dengan kajian yang menemukan sebagian besar orang di batas cemaran yang ditetapkan tidak terganggu kesehatannya. Namun, melebihi ambang itu berarti akan mengalami berbagai masalah kesehatan hingga kematian.
Selama ini, pedoman WHO tentang baku mutu polusi udara juga belum diikuti Pemerintah Indonesia. Bahkan, PP Nomor 22 Tahun 2021 yang baru juga belum ikuti pedoman WHO tahun 2005.
”Jadi, pedoman ambang batas pencemaran ini merupakan tindakan mitigasi dan preventif dalam kesehatan publik,” katanya.
Riset yang dilakukan Budi berdasarkan data catatan medis rumah sakit di Indonesia menunjukkan, penyakit terkait pencemaran udara, baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan, hampir 57,8 persen dari seluruh penyakit. ”Jadi, kalau pencemaran udara diatasi, kita bisa mengurangi hampir 60 persen penyakit yang diderita masyarakat,” katanya.
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), mengatakan, pedoman baru dari WHO ini harus jadi momentum pemerintah membenahi ambang baku kualitas udara nasional. ”Hal ini juga sesuai dengan gugatan warga terkait polusi udara Jakarta agar pemerintah mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
Sebelumnya, 16 September 2021, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat bersalah atas pencemaran udara di ibu kota Jakarta. Para pejabat ini diminta memperbaiki kualitas udara di Jakarta guna melindungi kesehatan masyarakat.
Fajri mengatakan, pemerintah pusat sudah membuang waktu terlalu lama dengan mengesampingkan temuan ilmiah soal bahaya polusi udara. ”Selama ini, pedoman WHO tentang baku mutu polusi udara juga belum diikuti Pemerintah Indonesia. Bahkan, PP Nomor 22 Tahun 2021 yang baru juga belum ikuti pedoman WHO tahun 2005,” katanya.
Dalam Lampiran 12 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 ini, disebutkan bahwa baku mutu harian (24 jam) pada PM 2,5 sebesar 55 mikrogram per meter kubik (µg/m3), PM 10 sebesar 75 µg/m3, dan SO2 sebesar 100 µg/m3. ”Longgarnya baku mutu polusi udara di Indonesia menunjukkan pemerintah belum berpihak pada kepentingan kesehatan publik dan sekarang saatnya untuk dikoreksi,” ujarnya.
Dalam pedoman barunya, WHO menetapkan ambang polusi harian (24 jam) PM 2,5 maksimal 15 µg/m3 dalam periode 24 jam dan PM 10 sebesar 45 µg/m3. Sementara untuk ozon (O3) sebesar 100 µg/m3 dalam periode delapan jam, nitrogen dioksida (NO2) sebesar 25 µg/m3 dalam periode 24 jam, sulfur dioksida (SO2) sebesar 40 µg/m3 dalam periode 24 jam, dan karbon monoksida (CO) sebesar 4 mikrogram/m3 dalam periode 24 jam.
Dibandingkan pedoman tahun 2005, ambang PM 2,5 telah dikurangi separuhnya, sedangkan untuk PM 10 dikurangi 25 persen. Adapun batas baru NO2, yang umumnya dihasilkan dari mesin diesel, sekarang 75 persen lebih rendah.