Makan Berlebihan Bukan Penyebab Utama Obesitas
Untuk memahami obesitas, kita perlu mempertimbangkan tidak hanya berapa banyak yang kita makan, tetapi juga bagaimana makanan yang kita konsumsi memengaruhi hormon dan metabolisme kita.
Kegemukan atau obesitas menjadi epidemi global di tengah gaya hidup masyarakat modern. Penumpukan lemak berlebihan ini menempatkan penderitanya pada risiko lebih tinggi mengalami berbagai penyakit antara lain penyakit jantung, stroke, diabetes melitus, jenis kanker tertentu, dan Covid-19.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam laman resminya, obesitas merupakan penumpukan lemak berlebihan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan energi dalam waktu lama. Indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 25 dianggap kelebihan berat badan, dan lebih dari 30 disebut obesitas.
Lebih dari 1,9 miliar orang dewasa atau berusia di atas 18 tahun mengalami kelebihan berat badan, dan 650 juta orang di antaranya mengalami obesitas pada tahun 2016. Sekitar 4 juta orang meninggal dunia tiap tahun terkait obesitas pada tahun 2017. Sementara 39 juta anak berusia di bawah 5 tahun mengalami obesitas pada 2020.
Obesitas merupakan salah satu sisi dari beban ganda malanutrisi, dan kini lebih banyak orang mengalami obesitas daripada kekurangan berat badan. Kelebihan berat badan dan obesitas meningkat drastis di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di daerah perkotaan. Padahal, kegemukan bisa dicegah.
Pedoman Diet bagi Warga Amerika Serikat tahun 2020-2025 menyebut, penurunan berat badan mensyaratkan penurunan asupan kalori dari makanan dan minuman serta meningkatkan kalori yang dikeluarkan lewat aktivitas fisik. Hal itu berdasarkan model keseimbangan energi bahwa penambahan berat badan akibat konsumsi lebih banyak energi daripada yang dikeluarkan.
Baca juga Obesitas Perlu Ditangani sebagai Penyakit
Kini masyarakat dikelilingi oleh makanan olahan yang lezat dan dipasarkan dengan harga terjangkau sehingga orang makin mudah makan lebih banyak kalori daripada yang mereka butuhkan. Ketidakseimbangan kalori ini diperburuk gaya hidup kurang gerak atau sedentari. Jadi makan berlebihan ditambah kurang beraktivitas fisik dinilai mendorong epidemi obesitas.
Model karbohidrat-insulin
Namun, penulis artikel "The Carbohydrate-Insulin Model: A Physiological Perspective on the Obesity Pandemic," yang diterbitkan di The American Journal of Clinical Nutrition, menunjukkan kelemahan dasar model keseimbangan energi. Model alternatif yakni model karbohidrat-insulin, dinilai lebih baik menjelaskan obesitas agar strategi penurunan berat badan lebih efektif dan tahan lama.
Menurut penulis utama David Ludwig, ahli endokrinologi di Rumah Sakit Anak Boston dan Profesor di Harvard Medical School, model keseimbangan energi tak membantu memahami penyebab biologis kenaikan berat badan.
"Asupan pada remaja, misalnya, naik 1.000 kalori per hari. Tetapi apakah makan berlebihan mempercepat pertumbuhan atau percepatan pertumbuhan menyebabkan remaja jadi makan berlebihan?" ujarnya dikutip Sciencedaily, Senin (13/9/2021).
Berbeda dengan model keseimbangan energi, model karbohidrat-insulin mengklaim makan berlebihan bukan penyebab utama obesitas. Sebaliknya, model karbohidrat-insulin berpandangan epidemi obesitas saat ini terjadi karena pola diet modern yang ditandai konsumsi berlebihan makanan dengan beban glikemik tinggi, khususnya, karbohidrat olahan yang cepat dicerna.
Asupan pada remaja naik 1.000 kalori per hari. Tetapi apakah makan berlebihan mempercepat pertumbuhan atau percepatan pertumbuhan menyebabkan remaja jadi makan berlebihan?
Makanan ini menyebabkan respons hormonal yang mengubah metabolisme kita, mendorong penyimpanan lemak, penambahan berat badan, dan obesitas. Ketika kita makan karbohidrat olahan, tubuh meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon. Hal itu memberi sinyal pada sel-sel lemak untuk menyimpan lebih banyak kalori, meninggalkan lebih sedikit kalori untuk bahan bakar otot dan jaringan aktif metabolisme lainnya.
Baca juga Mencegah Obesitas, Membangun Peradaban
Otak merasakan tubuh tidak mendapatkan energi cukup, sehingga timbul rasa lapar. Selain itu, metabolisme dapat melambat untuk menghemat bahan bakar dalam tubuh. Dengan demikian, kita cenderung tetap lapar, bahkan ketika kita terus mengalami kelebihan lemak.
Untuk memahami epidemi obesitas, kita perlu mempertimbangkan tidak hanya berapa banyak yang kita makan, tetapi juga bagaimana makanan yang kita konsumsi memengaruhi hormon dan metabolisme kita. Dengan pernyataannya bahwa semua kalori sama dengan tubuh, model keseimbangan energi melewatkan bagian penting dari teka-teki ini.
Model karbohidrat-insulin sebenarnya bukan hal baru dan dimulai awal 1900-an. American Journal of Clinical Nutrition menganggap itu menjadi formulasi paling komprehensif dari model ini yang ditulis tim. Adapun tim itu terdiri dari 17 ilmuwan, peneliti klinis bereputasi internasional, dan pakar kesehatan masyarakat.
Adopsi model karbohidrat-insulin atas model keseimbangan energi memiliki implikasi radikal manajemen berat badan dan pengobatan obesitas. Ludwig menyatakan, "Pengurangan konsumsi karbohidrat cepat dicerna yang membanjiri pasokan makanan mengurangi dorongan menyimpan lemak tubuh. Akibatnya, orang bisa menurunkan berat badan dengan lebih sedikit rasa lapar."
Baca juga Obesitas Bukan Hanya Urusan Makan
Meski demikian, riset lebih lanjut diperlukan untuk menguji kedua model itu dan untuk menghasilkan model baru yang lebih sesuai bukti ilmiah. Tim peneliti menyerukan wacana konstruktif dan kolaborasi para ilmuwan dengan sudut pandang beragam untuk menguji prediksi dalam riset yang tidak memihak.
Menurut dokter spesialis gizi klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Inge Permadi, Selasa (14/9/2021) malam, asupan karbohidrat olahan dengan indeks glikemik tinggi turut memengaruhi terjadinya obesitas. Ketika karbohidrat olahan seperti nasi masuk ke dalam tubuh, hal itu menyebabkan keluarnya insulin.
Setiap kali kita makan, insulin menyimpan makronutrien meliputi karbohidrat, lemak, dan protein, sebagai cadangan jika tidak ada asupan makanan masuk ke dalam tubuh. “Jadi kalau menabung lemak terus tapi tidak pernah mengeluarkan energi, maka menjadi obesitas,” tuturnya.
Karena itu, masyarakat dianjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat olahan dan beralih ke sumber pangan lain dengan indeks glikemik rendah. Sebagai contoh, saat mengonsumsi bekatul, enzim dalam tubuh kita tidak mudah mencapai inti karbohidrat. Dengan lama dicerna, maka karbohidrat perlahan masuk dalam tubuh sehingga tidak cepat lapar.
Multifaktor
Inge Permadi menambahkan, selain asupan karbohidrat olahan dengan indeks glikemik tinggi, obesitas dipicu faktor lain. Beberapa faktor risiko itu meliputi antara lain genetika atau keturunan, umur, lingkungan, metabolisme tubuh, dan obat-obatan yang memengaruhi metabolisme dalam tubuh.
“Obesitas disebabkan multifaktor. Faktor hormonal, metabolisme, dan umur, sangat memengaruhi seseorang sulit menurunkan berat badan. Saat usia bertambah, maka metabolism turun sehingga lebih berisiko mengalami kelebihan berat badan, apalagi kalau kurang aktivitas fisik dan banyak mengonsumsi karbohidrat olahan,” ujarnya.
Baca juga Gen Penyebab Obesitas
Pada kasus obesitas yang parah, penderita dianjurkan untuk konsultasi ke dokter dan menjalani pemeriksaan genetika, apakah metabolisme rendah sehingga olahraga harus ditingkatkan ataupun asupan karbohidrat amat tinggi. “Jadi penanganan obesitas tergantung pada penyebabnya. Yang penting bukan soal makan berlebihan tapi apakah makanan itu sehat atau tidak,” ucapnya.