WHO memperkirakan ada 800.000 kematian akibat bunuh diri setiap tahun secara global. Angka ini setara satu kematian per 40 detik. Meski demikian, bunuh diri itu bisa dicegah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bunuh diri dapat dicegah dengan intervensi sejak dini, antara lain, dengan membuat rencana keamanan dan mengakses layanan kesehatan jiwa. Ini penting karena pandemi Covid-19 berdampak pada kesehatan jiwa publik. Kecenderungan bunuh diri pun perlu diantisipasi.
”Banyak orang depresi saat pandemi. Kita tidak tahu bagaimana dampaknya terhadap tindakan bunuh diri ke depan. Kita perlu siap-siap dan mengintervensi untuk cegah bunuh diri,” kata peneliti kesehatan mental dalam pencegahan bunuh diri, Sandersan Onie, pada diskusi daring, Sabtu (11/9/2021).
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017, kecemasan dan depresi merupakan gangguan jiwa dengan prevalensi tertinggi. Lebih dari 200 juta orang di dunia mengalami kecemasan dan 322 juta orang mengalami depresi. Adapun depresi merupakan penyebab utama kematian karena bunuh diri.
Studi dari Columbia University’s Mailman School of Public Health menyatakan, prevalensi depresi global selama pandemi adalah 24 persen, sementara kecemasan 21 persen. Survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 2020 juga menunjukkan gangguan kesehatan jiwa yang relatif tinggi, yaitu depresi (62 persen), kecemasan (65 persen), dan trauma (75 persen).
WHO memperkirakan ada 800.000 kematian akibat bunuh diri setiap tahun secara global. Angka ini setara satu kematian per 40 detik.
Sandersan mengatakan, ada 2,6 kasus bunuh diri di Indonesia per 100.000 orang pada 2019. Tingkat bunuh diri pada laki-laki tiga kali lebih tinggi daripada perempuan. Namun, perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan laki-laki.
Laporan dari Polri menyatakan, ada 671 orang yang bunuh diri pada 2020. Sementara itu, data dari Potensi Desa dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 mencatat 5.787 kejadian bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Meski demikian, Sandersan mengatakan, kualitas data bunuh diri di Indonesia dinilai belum baik oleh WHO. Hal ini berpengaruh terhadap penanganan bunuh diri. Ia menilai intervensi dan penanganan bunuh diri di Indonesia belum memadai.
”Belum ada data yang merekam bunuh diri. Akibatnya, kita tidak tahu seberapa besar masalah sebenarnya itu. Adanya stigma juga membuat banyak kasus tidak dilaporkan,” kata Sandersan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) Kementerian Kesehatan Celestinus Eigya Munthe mengatakan, bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua tertinggi untuk penduduk usia 15-29 tahun. Pikiran hingga tindakan bunuh diri akan menurunkan kualitas hidup seseorang.
Kesehatan mental anak, remaja, dan dewasa muda perlu menjadi perhatian. Sebab, generasi muda akan berperan besar pada pembangunan negara di masa puncak bonus demografi. Program pencegahan bunuh diri pun perlu dikembangkan.
”Kita wajib membangun kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat bersama-sama. Butuh kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, swasta, LSM, dan organisasi profesi untuk itu,” ucap Celestinus.
Membaca perilaku
Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis (IKP) Indonesia Indria Laksmi Gamayanti mendorong agar publik peka membaca tanda bunuh diri pada orang lain. Tanda tersebut bisa dibaca dari perubahan perilaku, kata-kata, hingga pesan yang disampaikan seseorang.
Tanda lainnya adalah menarik diri dari orang-orang sekitar, berupaya menyakiti diri seperti mengonsumsi alkohol dan obat berlebih, perubahan fisik dan suasana hati yang drastis, serta mengucapkan salam perpisahan.
”Ada tanda bukan berarti orang tersebut sudah pasti mau bunuh diri. Namun, tanda sekecil apa pun perlu direspons dengan serius. Kami selalu siap bekerja sama mencegah bunuh diri. Bunuh diri itu bisa dicegah dan menjadi tugas kita untuk mencegahnya,” tutur Indria.
Akses pertolongan terhadap orang yang ingin bunuh diri juga diperluas melalui laman ehfa.id. Laman itu berisi video yang memandu orang rentan bunuh diri untuk tenang melalui teknik pernapasan. Laman tersebut juga menghubungkan orang ke psikolog atau puskesmas. Fitur-fitur lain pada laman akan dikembangkan.
Sandersan sekaligus inisiator ehfa.id mengatakan, publik juga bisa membuat rencana keamanan diri di masa krisis. Publik akan diminta mengisi, antara lain, faktor pemicu dan tanda bahaya bunuh diri, hal yang menjadi alasan bertahan hidup, cara membuat tempat tinggal aman dari kemungkinan bunuh diri, hingga tempat rujukan untuk menyelamatkan diri.
”Rencana itu diisi, kemudian dikirimkan ke e-mail pribadi atau orang terdekat. Rencana itu dapat diakses setiap kali seseorang mengalami masa krisis. Harapannya semakin banyak orang terbantu,” katanya.