Kecenderungan orang untuk menyakiti hingga bunuh diri tampak selama pandemi Covid-19. Publik perlu turun tangan mencegah kejadian bunuh diri dengan menanamkan empati.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 memengaruhi kecenderungan orang Indonesia untuk melukai diri hingga berpikir untuk bunuh diri. Pencegahan bunuh diri butuh peran orang sekitar, antara lain dengan peka membaca tanda bunuh diri, tidak memberi stigma negatif, dan memberi tempat aman untuk bercerita.
Hal itu sesuai dengan Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia seri pertama yang rilis pada September 2021. Laporan tersebut digarap Into The Light Indonesia, komunitas pencegahan bunuh diri, bersama Change.org.
Laporan tersebut menyurvei 5.211 responden dari 34 provinsi pada 25 Mei 2021 hingga 16 Juni 2021. Responden didominasi kelompok usia 18-34 tahun (79,9 persen). Hasilnya, dua dari lima responden ingin melukai diri dan berpikir lebih baik meninggal selama dua minggu terakhir pada periode survei.
Pendiri Into The Light Indonesia, Benny Prawira Siauw, di Jakarta, Selasa (7/9/201), mengatakan, umumnya faktor bunuh diri tidak tunggal. Pemikiran bunuh diri dipengaruhi faktor biologis, psikologis, dan sosial. Faktor biologis dan psikologis antara lain kondisi genetik, struktur otak, serta manajemen stres.
Faktor sosial yang dimaksud antara lain pengalaman perundungan, diskriminasi, kondisi keluarga, dan ketersediaan akses layanan kesehatan jiwa. Pemikiran bunuh diri merupakan hasil akumulasi faktor-faktor itu dalam jangka panjang.
”Ada banyak faktor yang dipertimbangkan dan dijalani individu. Sulit mengatakan ada faktor tunggal (untuk memikirkan bunuh diri),” kata Benny.
Pada 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 3,4 kematian akibat bunuh diri per 100.000 penduduk. Sementara itu, diperkirakan ada satu kejadian bunuh diri di dunia per 40 detik. Artinya, ada sekitar 800.000 kematian akibat bunuh diri per tahun secara global.
Ada banyak faktor yang dipertimbangkan dan dijalani individu. Sulit mengatakan ada faktor tunggal (untuk memikirkan bunuh diri).
WHO pada tahun 2017 menyatakan, depresi dan kecemasan merupakan gangguan jiwa umum yang prevalensinya tertinggi. Lebih dari 200 juta orang di dunia mengalami kecemasan (3,6 persen dari total penduduk dunia) dan 322 juta orang depresi (4,4 persen). Depresi menjadi kontributor utama kematian akibat bunuh diri.
Menurut hasil swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), 56,7 responden memiliki gejala depresi selama pandemi. Ada 58,9 persen responden memikirkan soal kematian dan menyakiti diri, bahkan 15,4 persen di antara mereka memikirkan itu setiap hari.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam keterangan pers, pada 2019 mengatakan bahwa angka bunuh diri masih tinggi. Padahal, bunuh diri dapat dicegah. ”Kami menyerukan semua negara untuk memasukkan strategi pencegahan bunuh diri ke dalam program kesehatan dan pendidikan nasional secara berkelanjutan,” ucap Ghebreyesus.
Keterbatasan akses
Kendati sebagian masyarakat punya kecenderungan bunuh diri, hanya 27 responden Into The Light yang mengakses layanan kesehatan jiwa. Alasan eksternal karena tidak mampu membayar biaya terapi atau konseling (56,7 persen). Alasan internal karena mereka terbiasa menyelesaikan masalah sendiri (62 persen).
Di sisi lain, psikolog klinis dan pendiri Indonesian Psychological Healthcare Center, Edo S Jaya, mengatakan, pandemi mendorong orang memperhatikan kesehatan jiwa. Kliniknya mencatat peningkatan kunjungan pasien yang signifikan. Pada 2020 ada 100 kunjungan yang terdiri dari konsultasi dan psikoterapi, sedangkan tahun ini sudah 330 kunjungan.
Untuk menghadapi orang yang berpikir mengakhiri hidupnya, publik perlu turun tangan mendistraksi pikiran itu. Distraksi bisa dilakukan dengan mengajak bicara, mengirim pesan teks, menemani, dan mendengar cerita orang tersebut. ”Menurut pengalaman, masa kritis (berpikir bunuh diri) hanya berlangsung berapa jam,” kata Edo.
Adapun beberapa tanda orang yang berpikir bunuh diri adalah yang membicarakan tentang bunuh diri, menyakiti diri, dan kematian; merasa tak berdaya saat terjebak masalah; menarik diri; merusak diri; serta mengucapkan perpisahan.
Sementara itu, Benny berharap agar literasi publik tentang bunuh diri dan menyakiti diri ditingkatkan. Kurangnya pengetahuan kerap membuat orang yang bunuh diri diberi stigma negatif, seperti kurang iman, bodoh, dan gampang putus asa. Padahal, bunuh diri adalah isu kompleks.
Literasi dapat dimulai dengan mewajarkan diskusi tentang menyakiti dan bunuh diri. Publik didorong untuk peka membaca tanda bunuh diri pada orang, kemudian membantu, baik dengan mendengarkan orang itu, tidak menghakimi, maupun merekomendasikan ia kepada pihak yang bisa membantu. ”Tanamkan welas asih dan empati,” ucap Benny.