Waspadai ”Zoom Fatigue” di Kala WFH, Kenali Tanda dan Gejalanya
Pertemuan virtual yang dilakukan secara berlebihan dapat memicu terjadinya ”zoom fatigue”. Mata lelah, nyeri leher, nyeri punggung, dan konsentrasi yang menurun bisa menjadi gejalanya.
Berbagai perubahan terjadi pada aktivitas masyarakat selama masa pandemi. Sebagian besar pekerjaan kini dilakukan dari rumah. Pertemuan-pertemuan akhirnya harus dihadiri secara virtual.
Aplikasi yang menyediakan layanan untuk konferensi daring pun kini menjadi ”makanan” sehari-hari. Itu seperti Zoom, Google Meet, Webex Meet, dan masih banyak lainnya menjejali jadwal agenda keseharian kita. Terkadang, lebih dari satu pertemuan daring harus diikuti dalam satu waktu.
Dua atau tiga perangkat bisa aktif secara bersamaan. Waktunya pun bisa dari pagi sampai malam hari. Bekerja seakan menjadi tidak mengenal waktu dan batasan. Jam kerja juga menjadi tidak jelas.
Karena itu, wajar jika sebagian masyarakat, terutama yang bekerja kantoran, merasa bekerja dari rumah atau work from home (WFH) menjadi jauh melelahkan. Itu belum ditambah dengan pekerjaan di rumah.
Dalam studi yang dilakukan oleh Institute for Employment Studies, Inggris pada 2020 membuktikan, adanya dampak kesehatan dari banyaknya pertemuan virtual selama WFH. Sebanyak 58 persen responden mengaku mengalami nyeri leher, 56 persen mengalami nyeri bahu, dan 55 persen mengalami nyeri punggung.
Baca juga: WFH, Rebahan dan Pekerjaan yang Tidak Berfaedah
Tidak hanya itu, sebagian dari responden juga mengeluhkan mengalami penurunan kualitas tidur, peningkatan konsumsi alkohol, dan diet atau pola makan yang tidak sehat. Padahal, studi ini dilakukan hanya pada periode dua minggu responden bekerja dari rumah.
Apabila, gejala-gejala tersebut sudah dialami, masyarakat sebaiknya waspada akan terjadinya ”Zoom Fatigue”. Gangguan tersebut merupakan kondisi kelelahan, kekhawatiran, dan kejenuhan yang dirasakan akibat penggunaan platform komunikasi virtual yang berlebihan.
Dokter spesialis okupasi yang juga anggota dari Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki), Palupi Djayadi, dalam webinar bertajuk ”WFH=Kerja 24/7” di Jakarta, Sabtu (4/9/2021), mengatakan, gangguan terkait zoom fatigue perlu diwaspadai. Masyarakat perlu menyadari gejala dan tanda yang ditimbulkannya.
Gejala yang paling dirasakan biasanya terkait dengan mata. Ketika terlalu banyak memandang layar gawai, mata akan mudah merasa pegal, kering, iritasi, dan pandangan menjadi kabur. Gangguan tersebut kemudian dapat menyebabkan nyeri kepala dan mual.
”Ketika melakukan konferensi video, mata kita akan fokus hanya pada monitor. Biasanya, mata menjadi jarang berkedip sehingga otot-otot di mata menjadi lelah. Terlalu lama memandang layar monitor juga berbahaya karena adanya pancaran sinar radiasi,” tutur Palupi.
Baca juga: Sakit Pinggang Datang Saat Kerja di Rumah
Selain gangguan pada mata, zoom fatigue ditandai dengan gangguan pada muskuloskeletal, terutama di bagian tulang, sendi, dan otot. Gangguan ini antara lain nyeri leher, nyeri punggung, dan sindrom carpal tunnel atau nyeri dan kesemutan pada pergelangan tangan dan jari tangan.
Pola hidup dalam keseharian juga akan berubah. Masyarakat cenderung lebih banyak menerapkan gaya hidup sedentari yang minim akan aktivitas fisik. Pola tidur pun akan berubah. Hal ini jika tidak segera diperbaiki dapat berisiko menyebabkan obesitas, dislipidemia (kadar lemak dalam darah meningkat), dan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes, dan hipertensi.
”Kelelahan yang muncul tidak hanya kelelahan secara fisik, tetapi juga lelah secara psikis. Akibatnya, seseorang akan mengalami penurunan konsentrasi dan lebih emosional,” kata Palupi.
Ia mengatakan, berbagai distraksi yang muncul selama pertemuan virtual berlangsung dapat memicu gangguan emosi. Sementara distraksi tersebut terkadang tidak bisa dihindari, misalnya ketika bersamaan dengan kegiatan anak sekolah daring.
Meski begitu, Palupi menyampaikan, sejumlah cara bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari zoom fatigue. Jika memungkinkan, sebaiknya sediakan tempat khusus untuk bekerja agar menjadi lebih fokus. Sebaiknya, tempat kerja juga memiliki intensitas cahaya yang baik tetapi tidak terlalu silau.
Kelelahan yang muncul tidak hanya kelelahan secara fisik, tetapi juga lelah secara psikis. Akibatnya, seseorang akan mengalami penurunan konsentrasi dan lebih emosional.
Ketika bekerja, pastikan pula posisi tubuh baik. Jarak mata dengan monitor disarankan 30-70 sentimeter dengan tatapan segaris dengan mata. Apabila monitor berada di bawah pandangan mata, itu bisa memicu terjadinya nyeri leher karena terlalu membungkuk.
Baca juga: Produktif Bekerja di Rumah dengan Ruang yang Nyaman
Istirahatkan mata dengan metode 20-20-20, yakni setiap 20 menit di depan layar, istirahatkan mata selama 20 detik dengan mengalihkan pandangan ke obyek yang berjarak minimal 20 kaki atau sekitar 6 meter. Lakukan pula peregangan setiap 30 menit. Jika memungkinkan, sebaiknya matikan video.
Palupi menambahkan, pola diet juga perlu diperhatikan. Minum air putih minimal 2 liter per hari, menghindari camilan di area kerja, dan tetap disiplin pada jam makan. Olahraga tetap dilakukan secara konsisten.
”Jangan lupa untuk tetap memiliki me time. Lakukan hobi yang digemari. Komunikasikan dengan anggota keluarga lain jika memang ingin menggunakan me time,” katanya.
Manajemen waktu
Terlepas dari pekerjaan selama WFH yang tidak mengenal waktu dan batasan, psikolog industri dan organisasi yang juga pendiri AIDE Consultant, Inaulia Sekar, mengatakan, persoalan manajemen waktu bisa semakin memperberat situasi WFH. Pemikiran yang merasa tidak memiliki waktu untuk me time, tugas yang terasa berlebihan, dan istirahat yang kurang dan tidak berkualitas bisa disebabkan oleh manajemen waktu yang kurang baik.
Kondisi tersebut kemudian memicu terjadinya kelelahan. Apabila seseorang mengalami kelelahan secara fisik, performa otomatis akan berpengaruh. Biasanya, seseorang akan menunda tugas sampai menit terakhir atau bahkan melewati tenggat (prokastinasi). Itu akhirnya akan membuat emosi menjadi tidak terkendali, kreativitas menurun, depresi, dan demotivasi.
”Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan hidup menjadi sangat sibuk, yakni mindset yang menekankan bahwa memang seseorang harus selalu sibuk dan adanya distraksi yang tidak berkesudahan. Distraksi ini disebabkan dari kesenangan instan yang tidak ada habisnya, seperti distraksi dari media sosial,” kata Inaulia.
Baca juga: Pasca-Pandemi, Kembali Kerja 9 to 5?
Menurut dia, dua hal tersebut bisa menjadi lingkaran setan. Ketika banyak pekerjaan, orang cenderung menggunakan media sosial sebagai sarana hiburan. Sementara, waktu yang digunakan untuk bermain media sosial bisa sampai satu jam.
Setelah itu, orang tersebut akan kembali bekerja untuk menggantikan waktu yang terbuang dari bermain media sosial. Hal ini terus terjadi secara berulang. Padahal, distraksi ini merupakan stimulasi berlebihan yang merupakan musuh dari fokus dalam bekerja. Saat fokus, waktu untuk bekerja menjadi lebih efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, Inaulia menyarankan lima langkah yang bisa dilakukan agar pekerjaan harian menjadi lebih efektif. Pertama, tetapkan skala prioritas. Lakukan kegiatan yang mendesak dan penting terlebih dahulu, seperti pekerjaan yang sudah mendekati tenggat, revisi pekerjaan, anak yang menangis, serta menyelesaikan keluhan dari pelanggan. Setelah itu, lakukan prioritas berikutnya yang bisa dijadwalkan dan baru diikuti dengan kegiatan lain yang sifatnya tidak mendesak dan tidak penting.
Kedua, buat catatan waktu (time log)terkait aktivitas selama satu minggu. Tujuannya untuk mengetahui estimasi waktu penyelesaian pekerjaan. Ketiga, susun batasan waktu (time boxing)dengan mendetailkan aktivitas yang akan dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan waktu digunakan secara efektif sekaligus mencegah adanya aktivitas yang terlewat.
Baca juga: WFH, Rebahan dan Pekerjaan yang Tidak Berfaedah
Keempat, lakukan hal baik sejak pagi, seperti meditasi, olahraga, atau sekadar mendengarkan musik. Diharapkan, energi positif bisa terbentuk sebelum memulai pekerjaan di hari tersebut.
Kelima, mengoptimalkan prime time diri atau waktu terbaik untuk bekerja dan berkreasi. Setiap orang memiliki prime time-nya masing-masing sehingga perlu dioptimalkan untuk mendukung kinerja diri.
”Kita harus fokus dalam bekerja. Banyaknya pekerjaan yang tidak selesai bisa disebabkan manajemen waktu yang tidak baik. Sebaiknya hindari juga multitasking karena kualitas pekerjaan bisa menjadi tidak optimal. Fokus pada satu pekerjaan baru berpindah pada pekerjaan lainnya,” ujar Inaulia.