Kualitas Tidur Baik Bisa Mencegah Penyakit Alzheimer
Kualitas tidur yang baik penting untuk kesehatan. Saat itu terjadi pembuangan produk limbah beracun yang beredar di otak. Para ilmuwan meneliti pada fase tidur mana dan faktor apa yang penting dalam proses tersebut.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Tidur bisa jadi dianggap sebagai fase tidak produktif dan merugikan terkait upaya bertahan hidup karena kita dalam kondisi tidak sadar. Namun, tidur ternyata bermanfaat untuk kelangsungan dan kualitas hidup.
Selain berfungsi memproses informasi untuk disimpan dalam memori jangka panjang, juga sebagai fase pemulihan lewat pembersihan limbah dan racun yang beredar di otak. Proses ini penting untuk mencegah gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer.
Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum. Berupa penurunan kemampuan kognitif secara bertahap, diawali dengan penurunan daya ingat. Secara umum penyakit ini diakibatkan oleh penumpukan (plak) protein beta-amiloid pada dendrit (cabang sel saraf yang berfungsi mengirim impuls ke badan sel saraf) serta belitan-belitan protein tau pada serabut halus akson (cabang sel saraf yang berfungsi mengirim impuls dari badan sel saraf ke jaringan lain). Akibatnya, komunikasi antara sel-sel saraf dan jaringan lain terhambat dan berakhir dengan kematian sel-sel saraf.
Tidur, dalam hal ini pada fase gerakan mata cepat (REM), yakni fase tidur di mana seseorang bermimpi, berkaitan erat dengan pembersihan zat-zat tak terpakai dan bersifat racun dari dalam otak.
Feng Han dan kolega dari Universitas Negeri Pennsylvania, Amerika Serikat, dalam laporan di PLOS Biology, 1 Juni 2021, memaparkan, sistem glimfatik otak berperan penting dalam pembersihan otak dari protein beta amiloid dan protein tau lewat aliran cairan serebrospinal. Sistem ini bekerja maksimal saat tubuh dalam kondisi istirahat atau tidur.
Penelitian melibatkan 118 subyek dalam proyek Inisiatif Pencitraan Saraf pada Penyakit Alzheimer (ADNI). Mereka terdiri dari 7 pasien Alzheimer, 62 pasien gangguan kognitif ringan, 18 pasien gangguan memori signifikan, dan 31 orang yang sehat sebagai kelompok kontrol. Para peneliti mengukur aktivitas otak dan aliran cairan serebrospinal lewat pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dalam keadaan istirahat/tidur serta melihat data perilaku subjek.
Pengukuran dilakukan dua kali dengan selang dua tahun. Kemudian tim membandingkan temuan mereka dengan penanda neurobiologis dan neuropsikologis yang terkait dengan penyakit Alzheimer, seperti kadar protein beta-amiloid yang bersifat racun.
Hasilnya, didapatkan pasien Alzheimer dan individu yang berisiko lebih tinggi terkena penyakit Alzheimer memiliki hubungan aktivitas otak dan aliran cairan serebrospinal lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol atau individu yang sehat. Koneksi lebih lemah ini dikaitkan dengan tingkat beta-amiloid yang lebih tinggi serta perilaku terkait gejala penyakit Alzheimer.
Disimpulkan, aktivitas otak frekuensi rendah (<0,1 Hz) saat tidur dan aliran cairan serebrospinal berkorelasi dengan patologi penyakit Alzheimer, termasuk berbagai faktor risiko Alzheimer, tingkat keparahan Alzheimer, tingkat beta-amiloid di otak, serta penurunan kognitif dalam dua tahun pemantauan.
Peran reseptor adenosine A2a
Sementara itu, tim Chia-Jung Tsai dari Universitas Tsukuba, Jepang, dan kolega, meneliti dinamika aliran darah dalam proses pembersihan di otak. Penelitian dimuat di Cell Reports, 17 Agustus 2021.
Tim memvisualisasikan pergerakan sel darah merah di kapiler otak tikus, tempat zat gizi dan produk limbah dipertukarkan antara sel otak dan darah, sepanjang tikus dalam keadaan terjaga ataupun tertidur. Hal itu dimungkinkan lewat penggunaan pewarna untuk membuat pembuluh darah otak terlihat di bawah cahaya fluoresens dengan mikroskop dua foton.
Para peneliti juga mengukur aktivitas listrik di otak untuk mengidentifikasi tidur REM, tidur non-REM, dan kondisi terjaga. Mereka meneliti perbedaan aliran darah pada fase-fase tersebut.
Tim menemukan ada aliran deras sel darah merah melalui kapiler otak selama fase tidur REM. Sedangkan pada fase tidur non-REM dan keadaan terjaga tidak ada perbedaan. Aliran darah pada kedua fase itu tidak sederas pada fase tidur REM.
”Hal ini menunjukkan bahwa tidur REM adalah keadaan unik,” kata Yu Hayashi, Guru Besar Ilmu Kesehatan Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Kyoto, yang terlibat dalam penelitian seperti dikutip Science Daily, 25 Agustus 2021.
Tim kemudian mencoba mengganggu tidur tikus. Hasilnya, saat kembali tertidur, aliran sel darah merah dalam pembuluh darah kapiler selama tidur REM makin meningkat. Ini merupakan bentuk tidur REM lebih kuat sebagai kompensasi terhadap gangguan sebelumnya.
Saat tidur, sel saraf dan glia (sel pendukung kerja sel saraf) melepaskan adenosin yang bertindak sebagai vasodilator (zat relaksasi atau melebarkan pembuluh darah) melalui reseptor adenosin A2a. Gangguan pada reseptor ini, misalnya dengan mengonsumsi kafein, akan membuat kita menjadi lebih terjaga alias tidak mengantuk.
Saat tim mengulangi percobaan mengganggu tidur tikus dengan menghambat reseptor adenosin A2a, didapatkan hanya ada sedikit peningkatan aliran darah selama tidur REM kompensasi.
Reseptor adenosin A2a mungkin bertanggung jawab untuk setidaknya beberapa perubahan aliran darah di otak selama fase tidur REM.
”Ini menunjukkan, reseptor adenosin A2a mungkin bertanggung jawab untuk setidaknya beberapa perubahan aliran darah di otak selama fase tidur REM,” kata Hayashi menambahkan.
Peneliti menyatakan, berkurangnya aliran darah di otak dan gangguan tidur REM berkorelasi dengan perkembangan penyakit Alzheimer. Karena itu, menarik untuk meneliti lebih lanjut pentingnya peningkatan aliran darah di kapiler otak selama tidur REM dan peran reseptor adenosin A2a dalam proses pembuangan limbah dari otak. Diharapkan pemahaman ini bisa mengarah pada pengembangan pengobatan baru untuk kondisi seperti penyakit Alzheimer.
Bagi kita masyarakat awam setidaknya tahu bahwa kualitas tidur yang baik adalah penting, terutama pada fase bermimpi. Karena saat itu terjadi proses pembersihan otak dari zat-zat beracun agar tidak menumpuk dan memicu penyakit Alzheimer.