Indonesia Perlu Menyuarakan Kesetaraan Akses Vaksin dalam Perundingan G-20
Ketimpangan akses terhadap vaksin secara global masih terjadi. Karena itu, Indonesia mesti terus menyuarakan akses vaksin yang terjangkau dan keadilan bagi negara berpendapatan rendah dalam perundingan negara G-20.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Petugas medis menunjukkan vaksin Covid-19 Astrazeneca yang akan disuntikkan kepada pekerja media di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Senin (28/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu terus menyuarakan akses vaksin yang terjangkau dalam perundingan negara-negara G-20. Sebab, total kerugian dunia dapat mencapai triliunan dollar AS jika negara maju terus memprioritaskan vaksin bagi populasi mereka yang rentan tanpa memastikan vaksinasi yang adil untuk negara berkembang.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar ”Road to G20 Indonesia 2022: Mewujudkan Akses Vaksin Covid-19 yang Terjangkau bagi Seluruh Indonesia” yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Kamis (19/8/2021).
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo menyampaikan, Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 tahun 2022 akan memimpin proses persidangan dan pengambilan keputusan. Hasil perundingan juga akan membantu memecahkan masalah Indonesia, termasuk soal vaksin Covid-19.
”Jika G-20 memutuskan akses lebih luas dan hak paten vaksin Covid-19 bisa ditunda, kemungkinan besar Indonesia tidak ada kendala dalam mendapatkan vaksin,” ujarnya.
Menurut Sugeng, Indonesia perlu mengingat bahwa ada ratusan negara yang tidak masuk ke dalam G-20. Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki misi untuk menyuarakan aspirasi negara berpendapatan rendah yang tidak menjadi anggota G-20 dalam penyediaan vaksin secara universal dan tidak berdasarkan mekanisme pasar yang komersial.
AP PHOTO/DENIS FARRELL, FILE
Seorang perempuan lanjut usia baru saja mendapatkan vaksinasi Covid-19, sementara beberapa warga lanjut usia lainnya masih antre di Orange Farm, dekat Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis (3/6/2021).
Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), Lutfiyah Hanim, mengemukakan, pada Mei 2020 setiap kepala negara sudah membuat komitmen dalam penanganan pandemi dan membentuk Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator. Salah satu komitmen tersebut adalah bekerja sama secara global untuk mengakselerasi dan meningkatkan akses yang berkeadilan dari vaksin serta pengobatan untuk mengatasi Covid-19.
Namun, hingga kini, 15 bulan setelah komitmen tersebut dibuat, masih ada ketidakadilan akses vaksin. Berdasarkan data penelusuran vaksin Bloomberg hingga 17 Agustus 2021, akses vaksin ini belum banyak terpenuhi di sejumlah negara, khususnya di Afrika, seperti Haiti, Chad, Burkina Faso, Benin, Mali, Uganda, dan Kamerun.
Jika G-20 memutuskan akses lebih luas dan hak paten vaksin Covid-19 bisa ditunda, kemungkinan besar Indonesia tidak ada kendala dalam mendapatkan vaksin.
”Gambaran serupa terjadi pada pengobatan dan penanganan Covid-19. Memang tidak ada data yang mencatat akses atas obat terbatas. Namun, kita sudah melihat ketika gelombang kedua terjadi di Indonesia, pemerintah sampai menyewa pesawat untuk membawa dan membeli obat-obatan dengan harga yang mahal,” ujarnya.
Menurut Lutfiyah, ketidakadilan akses vaksin terjadi karena negara-negara maju dan kaya memesan vaksin melalui skema bilateral dalam jumlah besar serta jauh di atas kebutuhan penduduk mereka. Hal ini pada akhirnya membuat negara-negara dengan ekonomi terbatas harus menunggu pemenuhan vaksin untuk negara maju terlebih dahulu.
Sementara dalam penyediaan vaksin melalui skema multilateral Covax, target yang ditetapkan adalah memenuhi 2 miliar vaksin untuk minimal 20 persen penduduk negara-negara target hingga akhir 2021. Akan tetapi, hingga 17 Agustus, Covax baru mengirimkan 206 juta dosis vaksin atau baru 10 persen dari target tahun 2021.
Lutfiyah menegaskan, pemenuhan akses vaksin secara berkeadilan ini penting karena terdapat keterkaitan antara biaya ekonomi dan distribusi vaksin yang tidak merata. Bahkan, studi International Chamber of Commerce (ICC) menyebut, total kerugian dunia dapat mencapai 9,2 triliun dollar AS jika negara maju terus memprioritaskan vaksin bagi populasi mereka yang rentan tanpa memastikan vaksinasi yang adil untuk negara berkembang.
Turut menyuarakan
Diplomat Direktorat Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri, Rudjimin, mengakui, di tengah meningkatnya produksi vaksin, distribusinya terpusat di negara-negara maju. Hanya sebagian kecil vaksin yang diproduksi saat ini didistribusikan ke negara di Afrika dan Asia.
”Hingga Juni 2021, dari 1,1 miliar vaksin yang beredar, hanya 1,4 persen yang dikirim ke Afrika dan 0,24 persen ke negara berpendapatan rendah. Inilah yang mendasari Pemerintah Indonesia di forum mana pun, termasuk G-20, terus menyuarakan pentingnya akses yang sama terhadap vaksin di seluruh dunia,” ucapnya.
Bentuk komitmen Indonesia ini, menurut Rudjimin, salah satunya dilakukan dengan cara mendukung proposal Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia juga memandang bahwa akses yang sama terhadap vaksin bisa tercapai jika ada diversifikasi kapasitas manufaktur.
Pada 4 Juni 2021, Uni Eropa telah menyampaikan proposal deklarasi terkait penguatan kerja sama untuk memfasilitasi perdagangan dan kerja sama regulasi untuk memperlancar distribusi vaksin. Sebab, riset dari WTO menunjukkan sampai kini peredaran vaksin masih banyak mengalami hambatan perdagangan, baik dari aspek standar maupun produk akhirnya.