Informasi Layanan Kesehatan untuk Perempuan Tak Banyak Diketahui Warga
Sosialisasi pelayanan kesehatan perempuan yang ada di fasilitas kesehatan di daerah perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat. Sebab, banyak warga belum mengetahuinya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan informasi layanan kesehatan khusus perempuan di daerahnya masing-masing. Selain meningkatkan sosialisasi terkait hal ini, perlu juga mendorong kelompok perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Demikian terangkum dalam hasil survei akses dan layanan kesehatan di enam kabupaten/kota yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan dirilis dalam diskusi daring, Jumat (13/8/2021). Survei ini merupakan kerja sama INFID dengan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).
Enam daerah yang disurvei adalah Semarang (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Kabupaten Tangerang (Banten), serta Malang dan Surabaya (Jawa Timur). Survei ini melibatkan 540 responden yang mayoritas ibu rumah tangga. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara terstruktur pada April 2021.
Peneliti Lembaga Demografi FEB UI, Alfindra Primaldhi, menjelaskan, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran fasilitas dan pelayanan kesehatan di enam lokasi survei selama pandemi Covid-19 melalui pengalaman warga dari kelompok rentan, yakni perempuan dari wilayah padat penduduk dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
Alfindra menegaskan bahwa survei tersebut hanya melihat layanan kesehatan secara umum dan tidak secara spesifik terkait Covid-19. Adapun aspek-aspek dari pelayanan yang diteliti adalah ketersediaan fasilitas dan informasi kesehatan, keterjangkauan, kualitas, mekanisme pengaduan warga, serta pengarusutamaan isu kesehatan perempuan.
Temuan utama dalam survei tersebut menunjukkan, terdapat tren negatif dan positif khususnya terkait pelayanan kesehatan bagi perempuan. Dari wawancara yang telah dilakukan, mayoritas responden tidak mengetahui fasilitas kesehatan di daerahnya memberikan layanan kesehatan preventif ataupun kuratif khusus perempuan.
Selain itu, cukup banyak responden yang melaporkan tidak ada layanan kesehatan khusus perempuan di daerahnya. Partisipasi warga dalam kegiatan sosialisasi pengarusutamaan layanan kesehatan untuk perempuan juga masih rendah.
”Selain perlu meningkatkan sosialisasi informasi untuk layanan kesehatan perempuan, perlu juga mendorong kelompok perempuan untuk berpartisipasi. Jadi, perlu dua arah, yaitu meningkatkan sosialisasi dan mendorong partisipasi,” ujar Alfindra.
Hasil survei juga mencatat tren negatif lainnya, yakni mayoritas responden tidak mendapatkan informasi layanan kesehatan melalui sumber resmi pemerintah. Mayoritas responden juga tidak melayangkan pengaduan soal pelayanan kesehatan karena tidak mengetahui prosedur dan takut dipermasalahkan oleh pihak fasilitas pelayanan kesehatan.
Temuan terkait pandemi
Dalam survei tersebut diketahui juga bahwa mayoritas responden dan keluarganya tidak pernah melakukan tes Covid-19 karena tidak merasakan gejala klinis atau tanda-tanda terpapar. Adapun bagi responden yang pernah melakukan tes Covid-19, mayoritas menggunakan layanan tes cepat antibodi dan dilanjutkan antigen serta reaksi berantai polimerase (PCR).
”Pilihan menggunakan tes Covid-19 ini juga berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan. Mungkin biaya satu kali untuk PCR akan menghabiskan penghasilan mereka selama satu bulan. Ini sangat memberatkan, apalagi jika harus menjalani tes satu keluarga,” tutur Alfindra.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melakukan tes Covid-19, Alfindra menilai biaya tes PCR perlu diturunkan sehingga lebih terjangkau. Tingginya biaya tes Covid-19 yang akurat, seperti PCR, menjadi penghambat dalam mengetahui status kesehatan masyarakat.
Selain perlu meningkatkan sosialisasi informasi untuk layanan kesehatan perempuan, perlu juga mendorong kelompok perempuan untuk berpartisipasi.
Alfindra menekankan, temuan dari penelitian ini bisa dijadikan rujukan awal pengalaman kelompok rentan mengakses layanan kesehatan selama pandemi. Hasil penelitian juga menggambarkan pengalaman warga pada gelombang pertama pandemi dan tidak bisa disamaratakan dengan apa yang terjadi pada gelombang kedua.
Senior Program Officer Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) INFID Bona Tua mendorong pemerintah daerah memperkuat sistem kesehatan publik khususnya di enam daerah survei. Pemda juga perlu meningkatkan layanan kesehatan perempuan melalui mekanisme yang lebih mudah dan masif.
Bagi pemerintah pusat, kata Bona, salah satu upaya penguatan yang perlu dilakukan ialah merekrut 100.000-200.000 tenaga kesehatan selama tiga tahun ke depan untuk distribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Perlu juga mengalokasikan anggaran tambahan 1-1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk sektor kesehatan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka juga mendorong peningkatan pelayanan kesehatan perempuan selama pandemi. Sebab, pembatasan fisik dan sosial selama pandemi banyak diartikan juga sebagai pembatasan rutin layanan kesehatan. Akibatnya, layanan kesehatan, termasuk kepada perempuan dan ibu hamil, terganggu. Padahal, ibu hamil, khususnya yang mendekati persalinan, harus terus mendapat layanan kesehatan rutin bulanan.