Ketersediaan data terkait pemenuhan gizi pada remaja di Indonesia masih kurang. Hal ini menyebabkan intervensi yang dijalankan kurang maksimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data terkait gizi pada remaja di Indonesia belum komprehensif. Hal itu mengakibatkan program intervensi untuk mengatasi persoalan gizi menjadi kurang tepat. Target yang diharapkan pun sulit tercapai.
Kepala Unit Gizi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia Jee Hyun-rah, di Jakarta, Jumat (30/7/2021), menuturkan, kesenjangan data masih ditemui terkait kondisi gizi pada remaja di Indonesia. Dalam Riset Kesehatan Dasar, misalnya, kondisi gizi yang ditampilkan hanya pada rentang usia 15-24 tahun. Padahal, usia remaja 10-19 tahun.
”Masalah saat ini, kita kehilangan data penting untuk remaja. Ketika berbicara untuk remaja, seharusnya dari usia 10-19 tahun. Selain itu, data yang tersedia hanya untuk remaja putri, padahal persoalan gizi juga terjadi pada remaja laki-laki,” katanya.
Menurut dia, hal ini menyebabkan upaya penanganan persoalan gizi pada remaja di Indonesia tidak optimal. Indikator-indikator yang menentukan masalah gizi pada remaja juga belum disampaikan dalam data.
Karena itu, harmonisasi data menjadi amat penting. Pencapaian dalam intervensi gizi baru bisa ditentukan jika data yang dimiliki sudah lengkap dan komprehensif.
Jee menambahkan, masalah gizi pada remaja harus menjadi perhatian penting bagi semua penduduk. Kualitas gizi remaja menentukan kualitas generasi penerus bangsa. Pasalnya, remaja dengan gizi buruk berpotensi melahirkan anak dengan gizi buruk. Dampak ini bisa berlanjut pada generasi selanjutnya.
Selama masa pandemi Covid-19, kondisi gizi pada remaja cenderung semakin mengkhawatirkan. Sejumlah temuan yang dilakukan Unicef, sebanyak sepertiga remaja kurang mengonsumsi makanan yang bervariasi.
Hampir setengah dari remaja juga kurang mengonsumsi buah dan sayur. Bahkan, 40 persen remaja di antaranya lebih sering mengonsumsi makanan olahan yang tidak sehat, termasuk mi instan.
”Pada saat yang sama, lebih dari separuh remaja melaporkan bahwa mereka mengurangi aktivitas fisik karena pandemi. Jadi, praktik diet mereka benar-benar memburuk dengan kualitas asupan makanan yang menurun serta aktivitas fisik yang amat minim,” ucapnya.
Pada saat yang sama, lebih dari separuh remaja melaporkan bahwa mereka mengurangi aktivitas fisik karena pademi. Jadi, praktik diet mereka benar-benar memburuk dengan kualitas asupan makanan yang menurun serta aktivitas fisik yang amat minim.
Tiga beban
Pengajar Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rina Agustina menuturkan, sebelum masa pandemi, kondisi gizi remaja di Indonesia sudah buruk. Remaja di Indonesia mengalami tiga beban gizi, yakni kurang gizi termasuk stunting (tengkes) atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis, defisiensi gizi mikro terkait anemia, dan mengalami berat badan berlebih atau obesitas.
Menurut Rina, pemerintah mulai melakukan upaya besar untuk mengatasi persoalan gizi pada remaja. Itu meliputi antara lain dengan memasukkan indikator pencapaian gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, menetapkan strategi nasional percepatan pengurangan stunting, dan pemberian suplementasi asam folat besi mingguan untuk seluruh remaja putri.
”Namun, kesenjangan besar tetap ada dalam pemahaman masyarakat tentang berbagai masalah gizi remaja. Oleh sebab itu, butuh platform penyampaian informasi yang efektif untuk menjangkau kelompok remaja yang paling rentan. Selain itu, intervensi berbasis bukti yang inovatif yang didukung oleh penelitian dan evaluasi juga diperlukan,” ujarnya.
Wakil Dekan FKUI Dwiana Ocviyanti menyampaikan, kualitas gizi remaja merupakan langkah awal yang menentukan kualitas generasi masa depan. Hal ini ditambah dengan tingginya angka perkawinan pada usia dini.
Remaja yang mengalami malnutrisi berisiko melahirkan bayi dengan kondisi yang tidak prima. Bayi yang dilahirkan rentan memiliki berat badan lahir rendah. Risiko pendarahan dalam persalinan pun sangat tinggi.
”Kita harus membentuk remaja yang sehat. Dengan demikian, mereka menjadi orangtua yang sehat sehingga akan menghasilkan keturunan yang sehat semenjak dalam kandungan,” ucap Dwiana.