Diagnosis HIV pada diri seseorang hampir pasti akan membuat orang itu kaget. Mereka butuh dukungan untuk melewati masa-masa itu hingga masuk fase penerimaan diri dan rutin berobat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN/DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Remaja adalah masa yang penuh dengan mencoba hal-hal baru. Tak jarang, tanpa pikir panjang, mereka berbuat sesuatu yang sebenarnya berisiko yang tak sanggup mereka hadapi sendiri.
Seorang anak muda dari Sentani, Papua, SK (23), bercerita, dirinya sering bergonta-ganti pasangan dan setiap kali berhubungan seks sering tidak memakai kondom.
”Saya terpengaruh oleh lingkungan sekitar sehingga terjerumus ke dalam perilaku berisiko. Saya tahu risiko kesehatannya, tapi saya tidak bisa mengontrolnya,” kata SK saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/7/2021).
Setiap tiga bulan, SK akhirnya menjalani tes HIV di fasilitas kesehatan. Ketika tes HIV yang kelima, ia terdiagnosis HIV positif. ”Itu tahun 2019. Saya syok seharian. Tidak bisa tidur. Tidak nafsu makan. Kepikiran hasil tes,” ujarnya.
SK disarankan untuk pergi ke layanan HIV. Dokter di sana kemudian menenangkan dan menyemangati SK serta memberi tahu bahwa ada obat antiretroviral (ARV) untuk HIV. Sejak itulah SK mengonsumsi ARV secara rutin hingga sekarang viral load atau jumlah virus HIV dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi lagi (tersupresi).
Ia tidak bisa mengungkapkan statusnya itu kepada keluarga karena masih kuatnya stigma dan diskriminasi akibat keterbatasan pengetahuan mereka. Menurut SK, masyarakat sekitarnya masih menganggap setiap orang dengan HIV akan menularkan virusnya kepada orang lain. Padahal, jika virus HIV sudah tidak terdeteksi dalam tubuh, orang tersebut tidak bisa menularkan HIV kepada orang lain.
”Saya hanya cerita kepada teman dekat saja. Mereka sangat mendukung saya, mengingatkan untuk minum obat,” kata SK.
Kini, SK mendampingi sejumlah anak muda positif HIV di kotanya. Ia berharap pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan program pencegahan HIV yang menyasar anak muda dengan lebih serius.
Lain halnya kisah Sepi Maulana Ardiansyah, yang akrab disapa Davi, pemuda berusia 29 tahun asal Cianjur, Jawa Barat.
Ia pernah mengalami pelecehan seksual saat di bangku SMA, bahkan pernah menjadi pekerja seks sebelum didiagnosis HIV pada awal usia 20 tahunan. ”Setelah kasus di sekolah itu, saya kabur ke Jakarta,” ujarnya.
Pemahaman Davi akan HIV ketika itu sangat minim. Ia tidak mengerti apa arti status itu baginya. Yang ia tahu, setelah positif HIV paling meninggal.
Setelah positif HIV pun ia tidak langsung minum obat ARV. Baru tahun 2013 ia minum ARV setelah melihat banyak temannya yang positif HIV meninggal.
Kini, ia aktif di Inti Muda Indonesia mengedukasi banyak remaja dan anak muda tentang HIV agar mereka menghindari perilaku berisiko infeksi HIV.
Baik SK maupun Davi rutin mengonsumsi ARV hingga virus dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi lagi. Konsumsi ARV tidak hanya berperan dalam terapi, tetapi juga berfungsi sebagai pencegahan.
Itu tahun 2019. Saya syok seharian. Tidak bisa tidur. Tidak nafsu makan. Kepikiran hasil tes.
Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani (35) mengatakan, literasi terkait pengobatan HIV masih minim. Padahal, dengan pengobatan teratur, infeksi HIV bisa terkontrol.
Dengan kondisi viral load yang tersupresi, perempuan dengan HIV tetap bisa hamil tanpa harus menularkan HIV kepada anak yang dikandungnya.
Ayu kini menikah dengan laki-laki yang tidak terinfeksi HIV dan tidak juga menularkan HIV-nya.