Akses Obat Menentukan Keberhasilan Pengendalian HIV
Ketersediaan dan akses obat antiretroviral (ARV) sangat penting bagi orang dengan HIV. Lebih jauh, ARV juga sangat penting bagi pengendalian dan pencegahan HIV.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah bertekad mengakhiri epidemi HIV di Indonesia pada 2030. Namun, sejumlah capaian ke arah sana masih jauh dari target yang ingin dicapai, terutama terkait akses pelayanan dan pengobatan pada orang dengan HIV.
Mengadopsi target global, Indonesia menetapkan capaian akselerasi pelayanan HIV dengan 90-90-90 atau 90 persen orang dengan HIV tahu statusnya, 90 persen dari yang tahu statusnya menjalani pengobatan, dan 90 persen yang berobat, virus dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi lagi. Namun, saat ini baru 78,7 persen orang dengan HIV yang terdeteksi, 26,6 persen yang mendapatkan pengobatan, dan 7,7 persen yang virus di tubuhnya tidak terdeteksi.
”Capaian ini jauh dari negara-negara lain. Itu utamanya terjadi karena tingginya angka putus obat (lost to follow-up) pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV). Jika pengobatan tidak dilakukan, virus di dalam tubuh tidak terkontrol sehingga tetap bisa menularkan,” ujar Irwanto, Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta yang juga peneliti Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya, di Jakarta, Selasa (27/7/2021).
Karena itu, jika tidak ada upaya signifikan untuk meningkatkan akses pelayanan obat pada orang dengan HIV, pengendalian penyakit tersebut sulit dicapai. Sementara stigma dan diskriminasi pun masih terjadi, bahkan ditemukan di tingkat struktural pada kementerian dan lembaga.
Menurut dia, pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada 2016 merupakan bentuk diskriminasi pada penanganan HIV. Dengan dikembalikannya tugas dan fungsi KPAN ke Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh subdirektorat di kementerian tersebut, program yang dijalankan menjadi kurang optimal. Anggaran yang disediakan juga terbatas.
Capaian ini jauh dari negara-negara lain. Itu utamanya terjadi karena tingginya angka putus obat (lost to follow-up) pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV). Jika pengobatan tidak dilakukan, virus di dalam tubuh tidak terkontrol sehingga tetap bisa menularkan.
Di tengah pandemi Covid-19, penanganan HIV pun tambah berat. Orang dengan HIV semakin terbatas untuk mengakses pelayanan kesehatan dan pengobatan. Itu termasuk pada pengadaan obat untuk usia anak. Obat ini tidak hanya dibutuhkan oleh pasien, tetapi juga untuk melindungi orang lain dari potensi penularan.
”Masalah putus obat pada pengobatan pasien HIV/AIDS harus menjadi perhatian serius. Dukungan mental dan psikososial juga dibutuhkan kepada setiap orang dengan HIV/AIDS,” kata Irwanto.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan akses pelayanan dan pengobatan bagi orang dengan HIV. Lewat strategi test and treat, setiap orang yang terdiagnosis positif HIV langsung bisa mengakses obat ARV.
Obat ini juga bisa langsung diberikan ke populasi kunci dan ibu hamil. Dengan ketersediaan obat yang sudah memadai, orang dengan HIV bisa langsung mendapatkan obat pada hari yang sama dari hasil tes dikeluarkan.
Nadia mengatakan, layanan pengobatan untuk HIV juga akan diperluas. Saat ini baru ada 1.234 layanan yang tersedia, baik di puskesmas maupun rumah sakit. Hal ini menyebabkan sebagian pasien harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan pengobatan.
”Perluasan akan dilakukan untuk layanan pengobatan. Karena pandemi, perluasan sementara akan dilakukan secara daring, terutama untuk konsultasi dan pengiriman obat,” tuturnya.
Berdasarkan peta jalan penanganan HIV/AIDS, pengembangan layanan ditargetkan bisa mencapai 1.624 layanan pada 2022 dan terus meningkat menjadi 10.107 layanan pada 2024. Jumlah rujukan pemeriksaan viral load juga ditargetkan bisa mencapai 42 layanan pada 2022 dan 51 layanan pada 2024. Saat ini, rujukan pemeriksaan tersebut baru tersedia 20 layanan.