Minim Panduan Berujung Penyalahgunaan Antibiotik Hewan
Panduan yang minim dalam pemberian antibiotik memicu praktik penyalahgunaan bersemi di kalangan peternak ayam broiler. Praktik itu seakan lumrah dengan dalih mengejar target pertumbuhan ayam, tanpa menyadari risiko lain
JAKARTA, KOMPAS — Panduan yang minim dalam pemberian antibiotik memicu praktik penyalahgunaan di kalangan peternak ayam broiler. Penyalahgunaan antibiotik seakan lumrah dengan dalih mengejar target pertumbuhan ayam, tanpa menyadari risiko lain yang mengancam kesehatan hewan dan manusia.
Antibiotik yang tergolong obat keras sejatinya harus digunakan dalam pengawasan dokter. Pemberian yang tidak sesuai ketentuan berisiko bagi makhluk hidup yang mengonsumsi obat tersebut. Salah satu risiko itu adalah resistansi bakteri terhadap antibiotik di masa yang akan datang.
Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Andi Wijanarko mengatakan belum ada panduan spesifik terkait penatagunaan antibiotik di sektor peternakan. Pemberian antibiotik selama ini sangat bergantung pada penanggung jawab teknis atau technical service (TS) yang menawarkan obat kepada peternak. Dalam situasi itu, sangat mungkin TS bersiasat kepada peternak agar obatnya laku terjual.
Kondisi itu antara lain terjadi di kandang yang dikelola SO. Kepala kandang sebuah peternakan di Subang, Jawa Barat, ini menjalankan saran TS agar ayam diberi antibiotik setidaknya dua kali dalam tiap siklus panen ayam. Tiga jenis antibiotik yang dia gunakan antara lain Baytril yang mengandung enrofloksasin, Cosumix (sulphachloropyridazine dan trimetoprim), dan Linco Spectin (linkomisin).
SO menjadwalkan pemberian antibiotik pertama kali saat ayam berusia 8-10 hari lewat air minum. Pemberian antibiotik itu diulangi saat ayam berusia 14-16 hari. Hal tersebut dia lakukan rutin sekalipun ayam tidak bergejala penyakit.
SO menyebut pemberian obat itu sebagai upaya pencegahan penyakit. TS pun menyarankan ayam diberi antibiotik agar tidak stres menjelang masa penjarangan. Adapun penjarangan adalah proses mengurangi populasi ayam dengan cara mengklasifikasikan ayam berdasarkan bobot. Ayam dengan bobot terendah akan dipisahkan dari populasinya.
”Ada instruksi TS, (dikasih) umur sekian, umur sekian. Kayaknya kalau 3 hari mau penjarangan dikasih antibiotik biar ayam enggak stres. Kalau stres, kan, antara kematian tinggi sama bobot enggak mau naik. Itu kendalanya,” ungkap SO, saat ditemui pada pekan terakhir Mei 2021.
YN, pemilik peternakan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, juga biasa memberikan antibiotik pada saat ayam berusia 2-4 hari atas petunjuk dari TS perusahaan mitra. Dia memakai antibiotik merek Doxerin yang mengandung doksisiklin dan eritromisin.
Dalam pengaturan dosis antibiotik, YN hanya berpedoman pada selembar kertas panduan yang diberikan TS. Meski demikian, dia mengaku tidak terlalu terpaku pada panduan tersebut. Dia menyesuaikan dosis antibiotik berdasarkan kondisi ayam.
”Biasanya, kan, kami dikasih panduan berupa selembar aja lah. Usia sekian, pagi, siang, sore. Tapi kalau pemberiannya sih sesuai sama panduan itu. Tapi enggak 100 persen ngikutin dari itu,” ungkap YN.
Karena terbiasa, peternak pun menganggap pemberian antibiotik di kandang sebagai keharusan. HN, peternak di Bogor, misalnya, meyakini pemberian antibiotik untuk pencegahan sebagai praktik wajar.
”Kalau kami ngasih obat itu pas sudah ada gejala, enggak bakalan bisa sembuh. Justru malah lebih baik (diberikan) sejak awal, buat pencegahannya dulu. Nanti kalau sakit, dosisnya ditambah lagi,” ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko menyampaikan, antibiotik sebagai pencegahan penyakit telah menjadi hal biasa kendati sebenarnya dilarang. Kesadaran untuk mengurangi antibiotik baru muncul sekitar tahun 2018, tepatnya setelah ada sosialisasi terkait risiko bakteri resistan antibiotik dari Kementerian Pertanian. Hingga 2021, pemahaman risiko itu belum seragam di kalangan peternak hingga kini.
Antibiotik sebagai pencegahan penyakit telah menjadi hal biasa kendati sebenarnya dilarang. Kesadaran untuk mengurangi antibiotik baru muncul sekitar tahun 2018, tepatnya setelah ada sosialisasi terkait risiko bakteri resistan antibiotik dari Kementerian Pertanian.
Singgih mengakui masih ada peternak yang terus menggunakan antibiotik meski jumlah sekarang sudah jauh berkurang. Ada beberapa faktor yang memengaruhi penggunaan itu, antara lain karena kondisi kandang yang tidak higiene atau bibit ayam punya riwayat penyakit tertentu.
”Sebagian peternak masih pakai (antibiotik) karena terbiasa sejak dulu, masih terjebak paradigma lama untuk pencegahan. Padahal itu sudah enggak boleh. Peternak sekarang ditekankan untuk kurangi antibiotik dan lebih fokus pada protokol biosekuriti serta kebersihan kandang,” jelasnya.
Singgih memandang pemberian antibiotik untuk pencegahan selama ini tidak terlepas dari pengawasan petugas technical service (TS) dari perusahaan mitra ternak. TS umumnya adalah dokter hewan yang berkewajiban mendampingi peternak terkait kebutuhan obat dan perlengkapan biosekuriti di kandang. Pemberian obat dilakukan atas seizin TS.
Menurut Singgih, memang ada kemungkinan peternak yang bandel menyalahgunakan antibiotik. Namun, ada pula kemungkinan TS yang terus mendorong pemakaian antibiotik jenis tertentu di kandang. Praktik penggunaan antibiotik yang dianggap wajar di sektor peternakan masih abu-abu karena belum ada pedomannya.
Andi dari Asohi menambahkan, kondisi itu diperparah pemberian antibiotik hewan yang tidak begitu bergantung pada resep seperti halnya pada manusia. ”Pemberian resep seperti itu agak sulit berjalan di perunggasan karena hewannya berpopulasi ribuan. Hal tersebut baru berjalan untuk produk tertentu seperti pakan terapi, tetapi tidak untuk antibiotik yang dicampur dalam minuman hewan. Kami sedang menyusun pedoman terkait resep itu mungkin dalam waktu dekat,” katanya.
Andi menyebutkan, baru belakangan ini disusun pula pedoman terkait penatagunaan antimikroba atau antimicrobial stewardship (AMS) untuk sektor peternakan. Pedoman ini merespons situasi pemberian antibiotik yang masif dilakukan baik oleh peternak maupun TS perusahaan.
Pemberian resep seperti itu agak sulit berjalan di perunggasan karena hewannya berpopulasi ribuan. Hal tersebut baru berjalan untuk produk tertentu, seperti pakan terapi, tetapi tidak untuk antibiotik yang dicampur dalam minuman hewan.
Secara prinsip, seluruh pemangku kepentingan bertanggung jawab mengendalikan penggunaan antibiotik agar tidak terjadi kasus resistansi bakteri di peternakan. Cara ini ditempuh dengan pembinaan, mulai dari diagnosis penyakit hingga proses pemberian obat yang bijak pada hewan.
”Setelah terbitnya pedoman terbaru, diharapkan seluruh pemangku kepentingan bisa sepaham dalam menangani risiko resistansi antimikroba. Penanganan harus dimulai sejak dari penggunaan, pengawasan, sehingga risiko resistansi bakteri itu dapat dicegah,” katanya.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin mengatakan, pemerintah terus mengawasi penggunaan obat di sektor peternakan. Selain pengawasan secara langsung, terdapat pula sistem pelaporan terpadu lewat Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS). Nuryani mengklaim seluruh tindakan pengobatan antibiotik di peternakan terlapor melalui kanal iSIKHNAS.
”Saat ini masih ada kendala terkait pelaporan penggunaan obat di seluruh unit fasilitas kesehatan hewan yang belum terintegrasi, baik milik pemerintah maupun swasta. Ke depan, kami mengupayakan database unit fasilitas kesehatan hewan dan peternakan dalam satu payung pelaporan terintegrasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (6/7/2021).
Nuryani menekankan, penggunaan antibiotik tanpa diagnosis serta tidak tepat dosis telah dilarang dalam berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 51 Ayat 2 menyatakan, pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan. Pasal yang sama, Ayat 3, menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Pasal 16 Ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017 mengatur pelarangan antibiotik sebagai produk imbuhan pakan atau sebagai bahan baku obat yang dicampurkan ke dalam pakan. Pasal 15 Ayat 1 Huruf f menyatakan, pelarangan penggunaan obat hewan terhadap ternak yang produknya untuk konsumsi manusia bertujuan mencegah timbulnya resistensi mikroba patogen
”Menurut sejumlah regulasi yang ada, penggunaan obat hewan untuk memacu pertumbuhan yang diberikan secara terus-menerus dengan dosis rendah dalam jangka waktu tertentu sudah tidak boleh dipraktikkan di peternakan. Sejumlah obat hewan masih dibolehkan untuk keperluan terapi, tetapi itu pun dengan syarat resep dan pengawasan ketat dari dokter hewan,” kata Nuryani.