Antibiotik untuk hewan beredar bebas di toko daring dan luring. Peredaran minim pengawasan itu bisa berujung penyalahgunaan yang berbahaya bagi hewan dan manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Antibiotik yang tergolong sebagai obat keras untuk hewan ternak sejatinya tak boleh digunakan sembarangan. Meski begitu, obat tersebut ternyata beredar bebas di toko daring dan luring. Peredaran tanpa pengawasan ini bisa berujung pada penyalahgunaan yang berdampak bagi kesehatan hewan dan manusia nantinya.
Penelusuran Kompas selama Mei-Juli 2021 mengungkap betapa mudahnya orang mengakses antibiotik untuk ternak ayam broiler. Dari berbagai situs jual-beli daring, bermacam merek obat keras itu beredar luas tanpa teridentifikasi sebagai produk yang aman atau bukan.
Obat colistin, misalnya, yang dilarang penggunaannya oleh Kementerian Pertanian sejak 2019 ternyata masih beredar dalam situs jual-beli daring. Padahal, colistin termasuk antibiotik yang ketersediaannya kritis, bahkan bagi manusia sekalipun.
Colistin termasuk golongan highest priority critically important menurut WHO List of Critically Important Antimicrobials for Human Medicine. Colistin pada manusia adalah ”senjata pamungkas” jika saat menderita infeksi tidak mempan ditangani dengan beragam antibiotik.
Dari sejumlah merek colistin yang beredar di situs daring, Kompas berhasil membeli salah satu yang bermerek Colmix. Z, penjual obat itu, merespons permintaan transaksi dari kanal percakapan daring. Z yang mengaku sebagai penanggung jawab teknis obat dari suatu perusahaan atau technical service (TS) saat itu pun menawarkan sejumlah merek obat lain.
Betapa mudahnya orang mengakses antibiotik untuk ternak ayam broiler. Dari berbagai situs jual-beli daring, bermacam merek obat keras itu beredar luas tanpa teridentifikasi sebagai produk yang aman atau bukan.
Keaslian produk merek Colmix yang Z jual itu meragukan lantaran tidak ada nama produsen ataupun nomor izin edar. Namun, lewat kolom percakapan situs jual beli, Z meyakinkan produknya aman untuk mempercepat pertumbuhan ayam broiler.
”Peternak masih banyak yang pakai, tapi kami impor dari luar negerinya terbatas. Makanya cuma ada beberapa perusahaan yang punya colistin. Makanya kemarin saya tawarkan obat lain sekalian, untuk dipakai bergantian dengan colistin,” kata Z saat ditemui, Selasa (11/5/2021).
Selain lewat daring, Kompas juga membeli sejumlah jenis antibiotik yang berlabelkan ”harus dengan resep dokter hewan” di sebuah toko besar di daerah Parung, Bogor, Jawa Barat. Pegawai toko langsung memberikan obat merek Eridoksin, Roxine, dan Trimezyn-s tanpa menunjukkan resep dari dokter hewan. ”Enggak, enggak apa-apa. Yang lain juga enggak pakai (resep),” kata pegawai toko obat itu, Kamis (27/5/2021).
Dari kanal daring dan luring, sejumlah obat itu akhirnya sampai pula ke peternak. HW, peternak di Dramaga, Bogor, menggunakan obat berlabelkan ”AGP Starter” yang banyak ditemukan di kanal jual-beli daring. Obat berlabelkan AGP itu diyakini sebagai antibiotic growth promoter yang bisa memacu pertumbuhan ayam broiler.
Dalam kemasan AGP Starter itu tidak ditemukan daftar komposisi serta nomor registrasi obat hewan resmi dari Kementerian Pertanian. Terdapat sebuah nama produsen bertuliskan ”Inapharma” di kemasan obat. Namun, tidak ditemukan situs resmi atau domisili yang menjelaskan afiliasi produk dengan perusahaan tertentu.
Meski begitu, HW meyakini pemberian obat itu berhasil mempercepat pertumbuhan ayam di kandang. ”Ini (antibiotik) untuk daya tahan tubuh ayam, menghindari penyakit, nambah pertumbuhan juga bisa,”katanya saat ditemui pada pekan terakhir Mei 2021.
Minim pengawasan
Sejumlah pemangku kepentingan menyoroti peredaran antibiotik hewan di kanal daring dan luring yang minim pengawasan. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh menyebutkan, kanal daring terutama sudah lama menjadi sorotan karena terdapat sejumlah obat keras yang justru tidak diawasi pemerintah.
Munawaroh pun telah sering menyurati Kementerian Pertanian terkait peredaran sejumlah obat terlarang di kanal daring. ”Teknologi kadang memudahkan orang, tetapi juga membuat hal yang dilarang menjadi boleh. Siapa yang bisa melarang, ya, itu dari regulator (pemerintah),” katanya.
Begitu pula pada toko obat hewan, peredaran antibiotik tidak boleh sembarangan. Obat keras itu semestinya digunakan dengan resep dari dokter hewan dan mengacu pada diagnosis penyakit yang telah dilakukan. Ketentuan tersebut pun dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Andi Wijanarko mengatakan, penerapan kewajiban resep obat hewan untuk peternakan selama ini masih sulit berjalan karena belum ada pedoman resep untuk populasi hewan yang sangat banyak. Penerapan resep hanya berjalan pada produk imbuhan pakan terapi. Hal tersebut membuat antibiotik masih bisa dibeli secara bebas di toko obat.
Tenaga Fungsional Utama Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Catur Tjatur Rasa menyebutkan, peredaran bebas antibiotik masih terkendala dalam pengawasan. Pada kanal daring, misalnya, Kementerian Pertanian pernah mengundang seluruh penyedia situs jual-beli untuk berdiskusi. Persoalan itu kian pelik karena tidak mudah memastikan mana obat yang legal atau ilegal hanya lewat daring.
Fadjar menuturkan, Kementan berencana meminta sebagian pengawas obat hewan di berbagai daerah untuk memantau secara khusus peredaran obat di kanal daring. ”Kemungkinan dibuat konsep seperti itu. Karena memonitor produk di kanal daring tidak mudah, marketplace-nya ada banyak, jumlah barangnya jutaan. Belum lagi ada yang jualan di media sosial,” katanya.
Walakin, rencana itu terkendala jumlah total pengawas obat hewan se-Indonesia yang belum ideal. Hanya ada 536 dokter hewan berstatus pengawas obat yang bertugas di dinas kota/kabupaten hingga provinsi. Apabila ada yang ditugaskan khusus untuk pemantauan peredaran obat di dunia maya, maka sumber daya untuk pengawasan di sektor lain bakal berkurang.
Pendiri Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) Tri Satya Naipospos memandang kebuntuan persoalan hanya bisa dijebol dengan kemauan politik yang kuat dari pengambil kebijakan. Dia mencontohkan, di Denmark, Kementerian Pangan, Pertanian, dan Perikanan serta Kementerian Kesehatannya sejak 1995 membangun Danish Integrated Antimicrobial Resistance Monitoring and Research Programme (DANMAP).
Pemberian antibiotik di peternakan terawasi secara nasional karena dokter yang memeriksa hewan serta memberikan antibiotik melaporkannya secara daring ke DANMAP. ”Jadi, kalau terlihat ada peningkatan dan lain sebagainya itu sudah terawasi,” ujar Tri Satya.
Kunci sukses Denmark adalah ”perkawinan” penyediaan regulasi yang jelas dengan komitmen untuk penegakan aturan. Selain memberi sanksi pada yang melanggar, pemerintah juga menyediakan insentif bagi yang mengurangi konsumsi antibiotik di peternakan.