Lama dikenal sebagai obat cacing, belakangan ivermectin dinilai bisa mengatasi Covid-19. Obat murah dan tersedia di seluruh dunia tersebut kini diuji klinis di AS dan Inggris, juga di Indonesia.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Setelah obat malaria hidroksiklorokuin dicabut izin emergency use of authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat untuk Covid-19 oleh banyak negara termasuk Indonesia, kini muncul pro kontra obat murah lain yang digadang-gadang bisa mengobati Covid-19. Obat itu ialah ivermectin yang semula dikenal sebagai obat cacing, baik untuk manusia maupun hewan, serta obat luar untuk rosacea (gangguan kulit berupa kemerahan, berbintik-bintik, bisa berisi nanah), dan pembasmi kutu rambut.
Obat dengan nama dagang Mectizan itu oleh produsennya, Merck, bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dibagikan secara gratis sejak 1987 di 70 negara wilayah endemis cacing, terutama di Afrika. Meski sudah ada versi generiknya, sejak digunakan sebagai obat Covid-19, harga ivermectin melambung di pasar gelap.
Pro kontra ivermectin tak hanya di kalangan medis, tetapi merembet di masyarakat lewat berbagai media sosial sehingga membingungkan dan berpotensi membahayakan kesehatan.
Hal itu berawal dari laporan tim peneliti Australia, yakni Leon Caly dan kolega, dari Peter Doherty Institute (lembaga milik Universitas Melbourne dan Rumah Sakit Royal Melbourne), serta Monash Biomedicine Discovery Institute bahwa dalam 48 jam ivermectin mampu menghambat pertumbuhan SARS-CoV-2 dalam sel yang dikultur secara in vitro. Para peneliti menyatakan perlu uji klinis pada manusia untuk mendapatkan dosis yang efektif sekaligus aman bagi manusia. Hasil penelitian diterbitkan daring di jurnal Antiviral Research, 3 April 2020.
Merespons hal itu, uji klinis ivermectin dimulai di sejumlah negara. Karena umumnya dilakukan atas inisiatif dokter (doctor-initiated clinical trial) dengan dana terbatas, hasilnya dinilai kurang meyakinkan. Meski demikian, obat itu digunakan sebagian dokter serta orang-orang yang melakukan pengobatan sendiri di sejumlah negara, seperti Brasil, Bolivia, Peru, Afrika Selatan, India, dan Amerika Serikat (AS). Di AS, penggunaan ivermectin didukung oleh Frontline Covid-19 Critical Care Alliance (FLCCC Alliance).
Belum meyakinkan
Pedoman pengobatan Covid-19 dari Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) AS menyatakan, belum ada cukup bukti untuk mendukung atau menentang penggunaan ivermectin untuk Covid-19. Obat itu hanya diizinkan untuk uji klinis.
Badan Pengawas Makanan dan Obat (FDA) AS, 5 Maret 2021, mengeluarkan peringatan untuk tidak menggunakan ivermectin sebagai profilaksis (pencegahan) ataupun obat Covid-19. Peringatan serupa dikeluarkan Badan Pengawas Obat Eropa (EMA), akhir Maret.
Di AS, obat itu hanya disetujui untuk strongyloidiasis (infeksi cacing gelang Strongyloides stercoralis) dan onchocerciasis (infeksi cacing gelang Onchocerca volvulus), serta obat oles untuk gangguan kulit dan kutu rambut. Ivermectin juga terdaftar untuk mengatasi kecacingan pada hewan.
Menurut FDA, dosis terlalu besar dapat menyebabkan mual, muntah, diare, pusing, gangguan keseimbangan, hipotensi (tekanan darah rendah), reaksi alergi, kejang, koma, bahkan kematian.
Dalam keterangan tertulis, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara (2018-2020) Tjandra Yoga Aditama yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan, WHO hanya mengizinkan ivermectin sebagai obat Covid-19 dalam uji klinis. Hasil analisis panel ahli WHO menyatakan, bukti kurang meyakinkan akibat keterbatasan metodologi penelitian serta jumlah sampel. Di India, sejak 27 Mei 2021, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga mengeluarkan ivermectin dan hidroksiklorokuin dari panduan penatalaksanaan Covid-19.
Kajian Morimasa Yagisawa dan kolega dari Universitas Kitasato dan Universitas Keio, Jepang, di The Japanese Journal of Antibiotics, Maret 2021, memaparkan, uji klinis di negara-negara berkembang, semua diprakarsai dokter, bukan didanai perusahaan farmasi besar. Karena berskala kecil, hasilnya dinilai kurang meyakinkan.
Meski demikian, dokter yang terlibat dalam uji klinis berupaya keras menghindari bias dan serius menilai kemanjuran serta keamanan obat. Para dokter itu berjuang mengobati dan mencegah Covid-19 pada pasien secara nirlaba.
Untuk memperoleh konsentrasi yang dibutuhkan dalam darah agar bisa menghambat SARS-CoV-2, perlu dosis 15-30 kali lebih tinggi daripada dosis normal.
Banyak pendapat menilai, penelitian tim Australia tidak mungkin diterapkan pada manusia dengan dosis normal (200 mikrogram per kilogram berat badan). Untuk memperoleh konsentrasi yang dibutuhkan dalam darah agar bisa menghambat SARS-CoV-2, perlu dosis 15-30 kali lebih tinggi daripada dosis normal.
Penelitian in vivo yang dilakukan Institut Pasteur, Perancis, dapat menjadi penghubung penelitian in vitro dengan uji klinis. Institut Pasteur menggunakan hamster untuk menentukan dosis ekivalen yang dibutuhkan manusia.
Didapatkan, jumlah SARS-CoV-2 tidak berbeda antara kelompok yang diberi ivermectin dengan kontrol. Namun, ada penurunan signifikan rasio interleukin (IL)-6 dan IL-10 di paru kelompok yang diberi ivermectin. Diduga, ivermectin mampu menekan badai sitokin.
Juliana Cepelowicz Rajter dan kolega meneliti pasien Covid-19 di empat rumah sakit Pusat Kesehatan Broward di Florida, AS, secara retrospektif. Hasilnya dilaporkan dalam pracetak medRxiv, 9 Juni 2020. Setelah ditinjau sejawat, diterbitkan di jurnal Chest secara daring, 13 Oktober 2020.
Peneliti membandingkan 173 pasien dengan ivermectin dan 107 pasien tanpa ivermectin. Sebagian besar pasien kedua kelompok juga mendapat hidroksiklorokuin, azitromisin, atau keduanya. Hasilnya, angka kematian pada kelompok ivermectin 15 persen, sedangkan di kelompok kontrol 25 persen. Pada pasien dengan gangguan paru parah, tingkat kematian tercatat 38,8 persen pada kelompok ivermectin. Yang tanpa ivermectin, tingkat kematiannya 80,7 persen. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi temuan itu.
Masih terus diteliti
Hingga akhir Januari 2021, ada 55 uji klinis terdaftar di ClinicalTrials.gov dan 36 uji klinis lain terdaftar di situs WHO. Ke-91 uji klinis itu dilaksanakan di 27 negara.
Meta analisis hasil 18 uji klinis pengobatan ivermectin pada Covid-19 yang dilakukan Pierre Kory dan kolega dari FLCCC Alliance dan dimuat di American Journal of Therapeutics edisi Mei/Juni 2021 mendapatkan, ada penurunan tingkat kematian yang besar dan signifikan secara statistik. Demikian juga waktu untuk pemulihan dan hilangnya virus dari tubuh.
Para peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, menambahkan pengujian ivermectin pada penelitian Platform Randomised Trial of Treatments in the Community for Epidemic and Pandemic Illnesses (Principle Study). Akan dibandingkan panderita yang diberi terapi konvensional ditambah ivermectin dengan yang hanya mendapat terapi kovensional. Tujuannya untuk melihat apakah ivermectin bisa mengatasi gejala Covid-19 sehingga penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit.
Akhir Juni, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) untuk mendapatkan dosis ivermectin yang efektif dan aman. Penelitian berlangsung di sejumlah rumah sakit di Jakarta, Medan, dan Pontianak.
Sementara belum ada hasil uji klinis untuk dosis tepat, sebaiknya tidak sembarangan mengonsumsi ivermectin. Mengonsumsi ivermectin dalam dosis di luar anjuran klinis bisa mengakibatkan efek samping berbahaya bagi kesehatan.