Fasilitas Kesehatan Minim, Mitigasi Diri Saat Isolasi Kian Penting
Para pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri perlu membangun kewaspadaan diri. Ini penting untuk mengantisipasi risiko lebih lanjut di tengah terbatasnya fasilitas kesehatan.
Oleh
Deonisia Arlinta, Ahmad Arif, Atika Walujani Moedjiono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah sulitnya mencari kamar rumah sakit untuk pasien Covid-19, banyak masyarakat yang terkonfirmasi positif Covid-19 pada akhirnya harus memilih menjalani isolasi mandiri. Kemampuan memitigasi diri pada saat menjalani isolasi mandiri menjadi kebutuhan yang sangat urgen saat ini.
Data Kementerian Kesehatan per 8 Juli 2020 pukul 13.00 menunjukkan, persentase tingkat keterisian tempat tidur (BOR) untuk layanan Covid-19 di tingkat nasional mencapai 76 persen dengan rincian BOR isolasi 77 persen dan ICU (intensive care unit) 72 persen. Saat ini, BOR tertinggi di Banten (92 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (91 persen), Jawa Barat (87 persen), DKI Jakarta (85 persen), Jawa Tengah (83 persen), Jawa Timur (82 persen), dan Lampung (82 persen).
Dalam situasi keterbatasan ini, banyak pasien Covid-19 akhirnya harus menjalani isolasi mandiri. Sekretaris Jenderal Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Erlang Samoedro menyampaikan, pasien yang menjalani isolasi mandiri perlu waspada apabila tingkat saturasi oksigen dalam tubuh sudah sampai di bawah 92 persen. Selain itu, kewaspadaan juga perlu ditingkatkan jika frekuensi napas sudah lebih dari 25 kali dalam semenit.
”Jika saturasi oksigen sudah di bawah 92 persen dan frekuensi napas di atas 25 kali per menit, perlu langsung dibawa ke rumah sakit. Upaya pertolongan dengan proning bisa dilakukan, tetapi itu hanya sementara hanya menaikkan saturasi oksigen satu sampai dua tingkat. Karena itu, pertolongan lebih lanjut dengan bantuan oksigen perlu segera diberikan,” tuturnya.
Dalam Buku Panduan Isolasi Mandiri yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) disebutkan, pada kondisi normal, pasien Covid-19 dikatakan tanpa gejala apabila frekuensi napas terhitung 12-20 per menit dengan tingkat saturasi oksigen lebih dari 95 persen.
Sementara tingkat saturasi oksigen bisa diketahui melalui alat oksimeter. Karena itu, pasien yang menjalani isolasi mandiri perlu menyediakan oksimeter dan termometer untuk mengukur suhu tubuh dengan frekuensi pengecekan dua kali sehari, setiap pagi dan malam.
Pasien yang bisa menjalani isolasi mandiri ialah pasien yang tidak bergejala, gejala ringan, serta memiliki lingkungan rumah atau kamar yang memadai.
Terkait dengan pengobatan, pasien bisa mengonsumsi vitamin C, vitamin D, dan Zinc sesuai dengan anjuran dokter. Pasien tanpa gejala biasanya akan melakukan isolasi selama 10 hari sejak terkonfirmasi positif Covid-19 dan pada pasien gejala ringan melakukan isolasi selama 10 hari sejak timbul gejala dengan ditambah tiga hari berikutnya bebas gejala.
Untuk kegiatan harian, orang yang menjalani isolasi mandiri diharapkan membuka jendela kamar setiap hari agar matahari bisa masuk dan sirkulasi udara bisa baik. Pasien isolasi mandiri juga sebaiknya berjemur di bawah sinar matahari 10-15 menit antara pukul 10.00 dan 13.00.
Protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, selalu menggunakan masker, dan rutin mencuci tangan, tetap harus diperhatikan. Selain itu, lakukan olahraga rutin setidaknya tiga sampai lima kali seminggu dan secara teratur makan makanan dengan gizi seimbang.
Pada Selasa (6/7/2021), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menerbitkan panduan untuk terapi Covid-19. Di dalamnya disebutkan bahwa dua agen biologis, yaitu Tocilizumab dan sarilumab, dinilai mampu mengatasi respons kekebalan tubuh yang berlebihan atau dikenal sebagai badai sitokin pada penderita Covid-19 yang parah atau kritis.
Selain menipisnya tempat perawatan bagi pasien Covid-19, ketersediaan jumlah tenaga kesehatan (nakes) juga terus berkurang. Sebanyak 74 nakes meninggal dunia selama delapan hari di bulan Juli 2021.
”Kematian para nakes sangat mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian serius,” kata Koordinator Tim Bantuan Residen-Tim Mitigasi Dokter Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Jagadditho Probokusumo.
Menurut Jagadditho, sekalipun kebanyakan nakes saat ini sudah mendapatkan vaksin, seharusnya ada pertimbangan agar mereka yang memiliki komorbid untuk tidak dulu bertugas langsung menangani pasien. Tingkat paparan yang tinggi bisa berisiko meningkatkan infeksi dan kematian.
Data di Pusara Digital LaporCovid-19 menunjukkan, selama pandemi Covid-19, jumlah nakes yang meninggal sudah mencapai 1.133 orang. Tri Maharani, dokter spesialis emergensi sukarelawan Pusara Digital LaporCovid-19, mengatakan, selain faktor komorbid, keterbatasan alat perlindungan diri dan faktor kelelahan juga harus diperhitungkan.