Penularan Covid-19 Melaju, Kasus Capai Rekor Tertinggi
Pandemi Covid-19 makin tak terkendali. Jumlah kasus Covid-19 telah tembus dua juta orang dengan penambahan kasus harian mencatat rekor tertinggi sejak awal pandemi dan tingkat penularan makin tinggi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus Covid-19 di Indonesia telah melebihi dua juta orang dan penambahan kasus harian mencapai rekor tertinggi sejak awal pandemi. Lonjakan kasus yang sangat tinggi menyebabkan rumah sakit tak mampu menampung pasien. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro dinilai tidak akan cukup untuk menekan laju penularan.
Laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 pada Senin (21/6/2021) mencapai 14.536 orang, melebihi saat puncak kasus harian pada 30 Januari sebesar 14.518 orang. Dengan penambahan ini, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 2.004.445 orang.
Rekor penambahan kasus harian ini terjadi saat jumlah test positivity rate atau rasio tes positif dengan polimerase rantai ganda (PCR) sebesar 41,1 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata rasio tes positif dalam sepekan sebesar 37,39 persen, yang menunjukkan adanya tren peningkatan kepositifan.
Karantina wilayah
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban, di Jakarta, mengatakan, Indonesia membutuhkan karantina wilayah selama 14 hari dengan pengawasan ketat. Pada saat bersamaan, edukasi masif ke masyarakat mesti dilakukan agar menjalankan protokol kesehatan. ”Tutup dulu restoran dengan makan di tempat, tempat hiburan, dan pariwisata,” katanya.
Berikutnya, menurut Zubairi, rumah sakit wajib menambah tempat tidur untuk pasien Covid-19, tenaga kesehatan, alat perlindungan diri, dan oksigen. ”Stok obat harus dilengkapi, khususnya remdesivir,” katanya.
Selain itu, Zubairi mengingatkan agar tunggakan pembayaran untuk rumah sakit segera dilunasi. Sebab, selama ini banyak rumah sakit kesulitan biaya operasional karena tagihan perawatan pasien Covid-19 banyak belum dibayarkan pemerintah.
Setelah adanya pengetatan mobilitas, lanjut Zubairi, pengetesan dan pelacakan harus ditingkatkan dengan metode tes PCR (polymerase chain reaction) harian setidaknya 100.000 per hari. Sejuah ini, tes PCR yang dilakukan secara nasional masih sekitar 30.000 per hari. ”Penelusuran kontak harus ditingkatkan dan disediakan anggarannya,” tuturnya.
Ketua Umum IDI Daeng M Faqih meminta agar semua pemerintah daerah yang wilayahnya mengalami lonjakan kasus Covid-19 untuk menyempurnakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro dengan pengetatan pembatasan mobilitas dan aktivitas warga. ”Untuk mengendalikan kondisi darurat tingginya lonjakan kasus Covid-19 di daerah masing-masing dan mencegah kolapsnya pelayanan kesehatan,” tuturnya.
Penelusuran kontak harus ditingkatkan dan disediakan anggarannya.
Selain itu, Daeng juga pemerintah dan pemerintah daerah agar meningkatkan perlindungan kepada tenaga kesehatan yang membantu perawatan pasien Covid-19. Langkah berikutnya, meminta agar dilakukan percepatan vaksinasi.
Epidemiolog lapangan dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, Yudhi Wibowo, menuturkan, lonjakan kasus juga terjadi di Jawa Tengah, melebihi puncak kasus sebelumnya. ”Lonjakan kasus harian di Banyumas saat ini sudah melebihi puncak tertinggi pada Desember 2020. Demikian juga di Jawa Tengah sudah melebihi puncak kasus pada Januari-Februari 2021,” ujarnya.
Menurut Yudhi, lonjakan kasus juga menyebabkan tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien Covid-19 di sejumlah rumah sakit sudah penuh. Di Rembang, misalnya, telah mencapai 100 persen, Purwokerto 98 persen, dan Pati 97 persen.
Jika pembatasan yang dilakukan masih belum ketat seperti sekarang ini, laju penularan dikhawatirkan bakal semakin tinggi. ”Seharusnya ada PSBB ketat kembali. Tapi, ini kewenangan pusat, karena daerah hanya mengikuti pusat. Secara anggaran, daerah sudah kesulitan,” katanya.
Menurut Yudhi, dalam penegakan pembatasan, harus ada penegakan hukum bagi pelanggar aturan protokol kesehatan dan kerumunan, termasuk masyarakat yang menolak dilacak atau dites.
”Banyak kendala dalam tes dan lacak, padahal ini sangat penting, misalnya, sumber daya terbatas dan ternyata tidak insentif untuk mereka, padahal risikonya sangat tinggi. Selain itu, ada juga penolakan masyarakat dan keterbatasan reagen untuk tes,” katanya.
Kluster perkantoran
Lonjakan kasus Covid-19 saat ini mulai terjadi di desa-desa, di pinggiran kota. Eka Putri (23), bidan dari Program PUSPA dari kolaborasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang didukung oleh Center for Indonesia\'s Strategic Development Initiatives (CISDI), yang ditugaskan di Puskesmas Cimandala, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengatakan, lonjakan kasus mulai terjadi di wilayah tugasnya.
”Fenomenanya seperti gunung es. Di atas terlihat sedikit, tetapi saat tes dan penelusuran memang ketemu banyak kasus. Banyak kasus awalnya dari warga yang bekerja di perkantoran di Jakarta atau Kota Bogor, lalu menulari keluarga. Jujur saat ini sudah mulai overload,” ungkapnya.
Menurut Eka, keterbatasan sumber daya membuat upaya pelacakan tidak mudah dilakukan. Apalagi, ada masyarakat yang menghindari pelacakan karena ada kekhawatiran stigma. ”Tergantung pola pikirnya, ada yang takut dikucilkan. Kalau rata-rata, dari satu kontak kami bisa menemukan 5-7 orang,” katanya.
Sementara untuk pengetesan, dia sangat terbantu dengan tes antigen dari Program Puspa. ”Kalau tidak ada bantuan tes ini, akan sulit,” katanya. Eka berharap, laju penularan bisa dihentikan, di antaranya dengan mengurangi kegiatan perkantoran yang berisiko menularkan Covid-19 hingga ke desa-desa.