Warga Lansia Indonesia Mau Dibawa ke Mana?
Kebijakan pembangunan warga lanjut usia masih belum jelas. Padahal, populasi Indonesia mulai memasuki fase menua. Menempatkan warga lansia yang sebagian masih produktif di rumah saja bukan menjadi pilihan yang tepat.

Para warga lansia mengantre untuk menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum divaksin di halaman Kelurahan Kaligangsa, Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (10/6/2021). Di tempat tersebut, petugas menyuntikkan vaksin Covid-19 secara massal kepada 694 orang lansia. Untuk menghindari kerumunan, warga lansia dijemput dan diantar kembali ke rumah masing-masing sesuai nomor urutnya. Vaksinasi massal dilakukan untuk meningkatkan capaian vaksinasi warga lansia yang baru mencapai 27,80 persen dari target sasaran sebanyak 18.592 orang?
Indonesia mulai memasuki fase populasi menua. Lonjakan jumlah penduduk lanjut usia akan terus terjadi ke depan. Lantas, mau dibawa ke mana puluhan juta warga senior tersebut?
Mulai tahun ini, Indonesia dipastikan akan menjadi negara dengan populasi menua karena 10 persen lebih penduduknya adalah warga lanjut usia berumur di atas 60 tahun. Meski jumlahnya sangat besar dan sebagian besar masih produktif dan mandiri, arah pembangunan lanjut usia Indonesia masih belum jelas.
Penuaan adalah proses alami manusia. Namun, menjadi tua di Indonesia masih identik dengan penderitaan, ketidakberdayaan, dan hanya menunggu kematian. Stereotipe 5B pada warga lansia, yaitu budek (pendengaran berkurang), blawur (penglihatan kabur), beser (sulit mengendalikan buang air kecil), bingung (pikun), dan bablas (bisa meninggal setiap saat) masih kuat tertancap.
Pandangan negatif soal lansia itu tertanam kuat di pikiran banyak warga lansia, masyarakat, maupun pemerintah sebagai pengambil kebijakan. ”Seolah masalah warga lansia itu hanya seputar kesehatan dan ibadah. Upaya pemberdayaan dan pemenuhan hak-hak lansia masih jauh dari angan,” kata peneliti Elderly Rights, Advocacy and Treatments (ERAT) Indonesia Adityo Nugroho, Sabtu (12/6/2021).
Sensus Penduduk 2020 menyebut, jumlah lansia mencapai 26,84 juta jiwa atau 9,93 persen dari 270,2 juta penduduk Indonesia. Jumlah lansia Indonesia ini lebih besar dari jumlah seluruh penduduk Australia. Sesuai dengan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, jumlah warga lansia akan mencapai 33,69 juta orang pada 2025 dan 48,19 juta pada 2035.
Baca juga: Mewaspadai Lonjakan Jumlah Penduduk Lanjut Usia
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) yang juga Direktur Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (Ce-FAS) Universitas Respati Indonesia Sudibyo Alimoeso mengatakan, besarnya jumlah warga lansia itu akan sangat menentukan arah dan kebijakan investasi Indonesia, baik di sektor kesehatan, ekonomi, hingga pengembangan sumber daya manusia.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, 74,3 persen warga lansia masih mandiri, 22 persen punya ketergantungan ringan serta 3,7 persen memiliki ketergantunagn sedang, berat, dan total. Itu berarti, sebagian besar warga lansia sebenarnya masih produktif, bisa diberdayakan sesuai umur mereka, tidak selemah gambaran umum masyarakat soal warga lansia.
”Jika warga lansia yang mandiri itu bisa dijaga kesehatannya, potensi mereka masih bisa dimanfaatkan untuk membantu masyarakat ataupun mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya. Namun, warga lansia produktif, sehat, dan mandiri itu tidak datang tiba-tiba. Butuh proses panjang dan kebijakan pendukung yang kuat untuk mewujudkannya.

Utomo, seorang warga lanjut usia yang tetap bugar dan masih mampu bekerja melayani pembeli di toko yang dikelola anak-anaknya di pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (29/5/2021). Setiap 29 Mei diperingati sebagai Hari Lanjut Usia Nasional.
Di tengah pesimisme kemampuan Indonesia meraih manfaat dari era bonus demografi pertama akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah dan pandemi Covid-19 yang terjadi di puncak bonus demografi, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo berharap warga lansia yang produktif bisa jadi tumpuan Indonesia meraih bonus demografi kedua.
Paradigma
Meski jadi harapan, situasi warga lansia Indonesia saat ini tidak baik-baik saja. Tema Hari Lanjut Usia Nasional 29 Mei 2021, ”Lanjut Usia Bahagia Bersama Keluarga”, menurut Adityo, sebenarnya menggambarkan imajinasi pemerintah tentang warga lansia. Tema ini seolah menunjukkan tempat yang tepat bagi warga lansia adalah di keluarga.
Padahal, banyak warga lansia yang justru jadi korban diskriminasi keluarganya sendiri. Banyak mereka yang keberadaannya justru dianggap aib hingga ditempatkan dalam kamar-kamar sempit dan gelap di belakang rumah. Betapa banyak warga lansia hanya didiamkan dan hanya diajak bicara seperluanya saja dalam keluarga akibat kesenjangan komunikasi antargenerasi.
Baca juga: Jaga Warga Lansia dalam Keluarga
Di sisi lain, persoalan warga lansia sering kali disederhanakan hanya terkait masalah kesehatan. Proses degeneratif manusia memang membuat warga lansia akan mengalami penurunan status kesehatan.
Statistik Penduduk Lanjut Usia (SPLU) 2020 menyebut 48,1 persen warga lansia punya keluhan kesehatan, baik fisik atau psikis dan 24,35 persen warga lansia sakit. Data itu menunjukkan banyak warga lansia masih sehat dan produktif. Warga lansia sehat ini, tambah Sudibyo, harus dijaga agar tetap sehat atau diperlambat proses penurunan kesehatannya. Upaya ini bisa membuat mereka tetap produktif dan mengurangi risiko perawatan jangka panjang yang mahal.

Nyatanya, membuat warga senior sehat dan produktif tidaklah mudah. Upaya itu hanya bisa dicapai dengan mendorong mereka tetap aktif berkegiatan bahkan tumbuh dan berkembang sesuai usianya dalam berbagai bidang. Cita-cita itu tidak bisa diwujudkan selama anggapan warga lansia di rumah saja adalah cara terbaik memuliakan warga lansia masih dipegang. Pandangan yang lebih mengedepankan aspek kasihan itu justru akan membuat mereka makin merasa lemah dan tidak dibutuhkan lagi.
Namun, mendorong warga lansia beraktivitas di luar rumah, dalam situasi normal bukan pandemi dan di tengah terbatasnya sarana publik yang layak dan ramah pada lansia sama saja denga menjerumuskan mereka dalam beban psikis serta fisik yang berat. Bertahun-tahun upaya mewujudkan sarana dan fasiitas publik yang ramah lansia masih menjadi tantangan berat. Situasi itu bahkan mudah ditemukan di kota-kota pensiun alias daerah dengan jumlah lansia yang besar.
Jika warga lansia yang mandiri itu bisa dijaga kesehatannya, potensi mereka masih bisa dimanfaatkan untuk membantu masyarakat maupun mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selama ini, selain tempat ibadah atau posyandu warga lansia, sarana yang sering dijadikan lansia bersosialisasi adalah pasar tradisional. Di Indonesia, belum ada pusat-pusat aktivitas yang bisa digunakan warga lansia untuk berkarya dan berkembang seperti di negara maju. Di pasar tradisional itulah, lanjut Adityo, banyak warga senior yang masih bisa menemukan dunianya, bercengkerama dengan sesamanya, dan tidak khawatir dianggap ketinggalan zaman.
Mengharapkan warga lansia bisa menikmati jalan-jalan pada hari tuanya seperti di negara-negara berpendapatan tinggi sepertinya masih sulit. Sebanyak 8 dari 10 warga lansia pada 2020 tidak bepergian alias berwisata atau menginap di tempat komersial selama setahun terakhir. Kendala fisik dan finansial jadi persoalan utama.
Meski 1 dari 2 warga lansia masih bekerja, sebanyak 85,83 persen bekerja di sektor informal. Pendidikan yang rendah dan tidak tersedianya lapangan kerja bagi warga lansia, membuat banyak lansia harus bekerja di sektor yang minim perlindungan. Bahkan, 14,01 persen warga lansia bekerja tanpa dibayar atau menjadi pekerja keluarga.
Baca juga: Memuliakan Orang Lansia, Memuliakan Kita
Studi Adityo yang dipublikasikan di Journal of Urban Sociology No 2, Oktober 2019, menemukan, hanya 51 persen anak muda yang memandang warga lansia masih perlu bekerja. Pandangan anak muda itu sebenarnya mewakili pandangan masyarakat yang menilai warga lansia seharusnya tidak perlu bekerja dan lebih baik fokus menjaga kesehatan atau beribadah.
Padahal, ”Kerja bagi lansia bukan semata soal materi, tapi aktualisasi diri," tambah Sudibyo. Dengan bekerja, pikiran dan fisik lansia tetap aktif serta mereka tetap terhubung dengan lansia lain atau masyarakat umum. Selain itu, hak lansia untuk bekerja dan meningkatkan keterampilan juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia.
Arah pembangunan
Karena menjadi lansia bermartabat bukanlah proses instan, maka upaya itu harus disiapkan jauh hari sebelum seseorang menjadi lansia, bahkan sebelum memasuki usia pralansia 45-59 tahun. Lansia sehat, mandiri, dan produktif hanya bisa diwujudkan jika sejak muda telah memiliki gaya hidup sehat, lahir dan batin, serta tercukupi kesejahteraannya.
Baca juga: Tantangan Menjadikan Lansia Berkualitas Besar
”Lansia sudah harus menyiapkan diri menghadapi masa lansia sebelum saat itu tiba,” kata psikolog klinis peneliti lansia yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Latifah Hanum. Namun, menyiapkan lingkungan sekitar warga lansia juga penting karena lingkungan atau keluarga yang tak siap menghadapi masa warga lansia seseorang justru menjadi penekan bagi warga lansia.

Backpacker Jakarta mengunjungi para warga lansia di Panti Jompo Dinas Sosial Jakarta Barat, Minggu (12/5/2019).
Menurut Sudibyo, pembangunan warga lansia yang dilakukan pemerintah dan masyarakat harus mampu membuat mereka mempertahankan kemampuan fungsionalnya hingga kepandaian, kompetensi dan pengalamannya tetap bisa dimanfaatkan dan dihargai masyarakat. Karena itu, hubungan antargenerasi perlu diperkuat dengan membangun hubungan yang saling memahami.
Kerja bagi warga lansia bukan semata soal materi, tetapi aktualisasi diri.
Kapasitas fisik dan mental warga lansia perlu terus dijaga guna menghindari sakit yang membutuhkan perawatan jangka panjang. Olahraga teratur dan menjaga aktivitas fisik serta melakukan kegiatan rutin yang merangsang otak untuk senantiasa bekerja, seperti bermain catur atau mengisi teka-teki silang, bisa menghambat penurunan fungsi kognitif warga lansia.
Baca juga: Warga Lansia Makin Tersisih
Selain itu, ”Perlu diciptakan lingkungan yang ramah warga lansia guna mengurangi ketidaksetaraan lansia dan memastikan lansia menua secara aman dan tepat,” katanya.
Untuk bisa mewujudkan semua itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir bangsa Indonesia tentang lansia. ”Selama pola pikir masyarakat, pemerintah dan lansia tentang lansia masih seperti sekarang, kondisi lansia Indonesia hingga beberapa tahun mendatang masih akan sama seperti sekarang,” tambah Adityo.
Selain itu, lanjut Sudibyo, perlu dilakukan penyelarasan berbagai kebijakan yang menyangkut warga lansia sesuai dengan apa yang dibutuhkan lansia. Selama ini, sejumlah program untuk warga lansia dibuat dengan ukuran mereka yang bukan lansia sehingga lansia sulit mengakses program tersebut. Kesesuaian itu untuk memastikan agar investasi negara untuk warga lansia tepat sasaran hingga memperbesar peluang tercapainya bonus demografi kedua.