Tingkat keterisian tempat tidur bagi pasien Covid-19 di rumah sakit di sejumlah daerah makin tinggi, bahkan banyak rumah sakit yang telah penuh. Karena itu, pembatasan kegiatan masyarakat mesti diperketat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mengingatkan, kapasitas rumah sakit untuk menampung pasien Covid-19 hampir penuh, terutama di Jawa. Karena itu, Persi meminta pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar dengan pengawasan ketat, terutama untuk daerah merah dan oranye.
Sekretaris Jenderal Persi Lia G Partakusuma dalam temu media daring bertajuk ”Kesiapan Rumah Sakit (RS) Pada Lonjakan Covid-19 Gelombang Kedua di Indonesia”, Minggu (20/6/2021), mengatakan, lonjakan penderita Covid-19 menunjukkan angka signifikan.
Dari data harian di kurun 15-19 Juni 2021, lonjakan signifikan dari 8.000-an kasus hingga lebih dari 12.000 kasus per hari. ”Itu kenaikan yang harus dicermati. Kami menganggap ini sebagai lonjakan kedua dari masa Indonesia mengalami Covid-19,” kata Lia.
Berdasarkan data di RS Online, ada 3.039 rumah sakit. Yang memiliki Surat Keputusan RS Rujukan Covid-19 oleh Departemen Kesehatan dan Pemerintah Provinsi sebanyak 904 RS, tetapi yang mengirimkan klaim Covid-19 lebih dari 2.000 RS. Penambahan ini dinilai membantu.
Menurut Lia, akibat lonjakan jumlah pasien Covid-19, kapasitas RS dilaporkan menipis, bahkan banyak RS yang jumlah pasiennya mencapai 100 persen dari kapasitas. Berdasarkan data RS Online dan paparan Direktorat Yankes Kemenkes per 19 Juni 2021, keterisian tempat tidur isolasi dan intensif Covid-19 atau bed occupancy rate (BOR) RS ada yang merah, yakni di atas 80 persen.
Di DKI Jakarta sudah mencapai 84 persen dan Jawa Barat 81 persen. Untuk angka kuning, sudah dialami di Banten dan Jawa Tengah masing-masing 79 persen, serta Daerah Istimewa Yogyakarta 74 persen. Selebihnya bervariasi di kisaran 59 persen untuk Kalimantan Barat, 58 persen di Kepulauan Riaua, Jawa Timur 57 persen, dan Lampung 52 persen. Terendah 37 persen.
”Kita tidak bisa melihat per provinsi, sebaiknya per kota/kabupaten. Lonjakan bisa terus terjadi,” kata Lia.
Jika dilihat dari BOR isolasi atau ruang rawat biasa, yang merah terjadi di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta (84 persen) dari 11.682 dan BOR intensif (ICU) sudah 79 persen atau hampir mendekati merah. Jawa Barat (82 persen) dan Jawa Timur (81 persen) juga hampir penuh.
Adapun BOR intensif di Pulau Jawa di atas 50 persen dari kapasitas tiap daerah. Selain DKI Jakarta, yang tertinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (77 persen), Banten (77 persen), Jawa Barat (75 persen), Jawa Tengah (67 persen), dan Jawa Timur (52 persen).
Jika dirinci hingga ke kota/kabupaten, yang masuk zona merah, untuk BOR intensif banyak yang sudah 100 persen. Hal ini, antara lain, terjadi di Jawa dan Bali, seperti Serang, Bandung Barat, Majalengka, Pangandaran, Banjar, Tasikmalaya, Pekalongan, Rembang, dan Jepara.
Tingkat keterisian tempat tidur isolasi dan perawatan intensif pasien Covid-19 di RS yang tinggi juga terjadi. Ada juga di Sumatera, seperti Ogan Komerin Ulu, Musi Rawas, Belitung Timur, dan Tulang Bawang. Di Kalimantan terjadi di Kotawaringin Timur, serta di Maluku terjadi di Halmahera Utara. Adapun BOR isolasi juga sudah hampir 100 persen.
”Sebetulnya RS menyediakan kapasitas bagi yang terpapar Covid-19, tetapi ada keterbatasan. Untuk daerah yang fasilitas sedikit, tetapi kasus banyak, sudah mulai kewalahan. Apalagi kini zona kuning juga makin banyak,” kata Lia.
Jangan sampai penuh
Menurut Lia, memang benar jika adakalanya terjadi antrean panjang sehingga pasien harus mengantre untuk bisa masuk ke dalam ruang isolasi. Secara umum, kenaikan angka ini tinggi. Tidak bisa dimungkiri sejak 13 Mei 2021 Indonesia mendapat angka terendah, sekarang perlahan naik.
Lia menambahkan, meski secara nasional belum memenuhi 81.174 tempat tidur dari kapasitas ruang isolasi, kapasitas ini terus-menerus terisi dan mesti dilihat bahwa di tiap provinsi datanya akan berbeda-beda. Ruang isolasi terpakai mencapai 50.394 tempat tidur, sedangkan yang isolasi intensif sudah terpakai 4.705 dari total 8.4.85 tempat tidur.
Sebetulnya RS menyediakan kapasitas bagi yang terpapar Covid-19, tetapi ada keterbatasan. Daerah yang fasilitas sedikit, tetapi kasus banyak, mulai kewalahan. Apalagi kini zona kuning makin banyak.
Menurut Lia, dampak pada di RS ialah menunda sementara pelayanan elektif atau terencana. Jumlah pasien juga turun karena stigma tentang Covid-19 atau pembatasan mobilitas. BOR untuk kamar pasien non-Covid-19 tersedia 10-20 persen dari kondisi normal sehingga cashflow terganggu.
Lia mengatakan, RS saat ini berusaha hanya untuk menerima pasien Covid-19 dengan gejala sedang, berat, dan kritis supaya RS jangan penuh sehingga tetap bisa menerima pasien baru. Untuk yang ringan, dianjurkan isolasi mandiri yang terpantau, dan lapor ke RT/RW.
”Masyarakat jangan panik sehingga tidak harus langsung ke RS kalau tidak bergejala. Namun, harus tahu kapan ke RS jika sudah mulai muncul gejala sesak napas, lemah tidak tertahankan, atau batuk sesak,” kata Lia.
Lia mengatakan, Persi berharap agar PSBB daerah merah dan oranye diberlakukan. Upaya mengurangi penumpukan ke RS dengan menyiapkan tempat isolasi mandiri untuk pasien tanpa gejala dengan paket obat standar, serta mengoptimalkan puskesmas atau fasilitas layanan kesehatan ataupun tempat lain untuk merawat pasien dengan gejala ringan.
Persi juga meminta agar sistem rujukan dengan dukungan lintas sektor diperkuat melalui komunikasi yang baik dan menjaga kepercayaan dan mempercepat vaksinasi. Selain itu, juga memerangi hoaks atau disinformasi terkait Covid-19. Dukungan terhadap operasionalisasi RS dalam masa pandemi ini dalam segala sektor juga dibutuhkan.
Lia mengatakan, ada laporan dari daerah tentang kekurangan oksigen, obat, hingga insinerator untuk mengolah limbah medis. Yang tak kalah penting juga soal sumber daya manusia. Persi terus berkoordinasi untuk bisa membantu RS mendapatkan dukungan dan solusi.
Lia mengatakan, upaya serius mencegah penyebaran Covid-19 harus dilakukan. Sebab, penambahan tempat tidur untuk menurunkan BOR bisa dilakukan dengan mengonversi kamar, tetapi pasien non-Covid yang membutuhkan juga jadi korban.
”Yang mengkhawatirkan kalau lonjakan terjadi bersamaan, itu yang sulit. Kalau jumlah bertambah mendadak dan melampaui kapasitas, sulit. Kita akan merawat dan bertahan yang ada di RS. Kasihan yang tidak bisa masuk RS. Padahal, RS sudah menambah kapasitas. Dari data dua tahun lalu sebelum Covid-19, ruang isolasi bertambah 3-5 kali lipat,” kata Lia.
Ketua Persi Jawa Barat Nina Susana Dewi mengatakan, Jabar sejak kemarin merah. Pihak RS tetap diminta berhati-hati dengan lonjakan kasus sehingga RS harus siap dengan perencanaan.
Menurut Nina, semua RS yang mempunyai fasilitas harus mau bersama-sama. Semua pihak juga bekerja sama. Sebab, BOR tidak menjamin semua penyelesaian lonjakan, harus dengan strategi. Berbagai koordinasi harus dilakukan agar BOR 40 persen bisa dilakukan RS. Setelah BOR 40 persen ternyata tetap kekurangan, harus ada strategi lain, bisa menambah tempat isolasi mandiri terpadu atau RS menambah fasilitas tenda. (ELN)