Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak di Provinsi Tujuan Mudik
Data rata-rata tujuh harian (seven day moving average) 16-22 Mei 2021 menunjukkan bahwa DKI Jakarta hanya menemukan 4,1 kontak erat per kasus. Sementara itu, upaya pelacakan kontak erat di Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada angka 3,5; Jawa Barat 2,4; Jawa Timur 1,1; dan Sulawesi Selatan 1,0. Bahkan, sejumlah provinsi bahkan tercatat 0; seperti, Kalimantan Tengah, Jambi, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi Tenggara.
Dengan angka serendah itu, sebanyak 33 provinsi dikategorikan Kemenkes memiliki kapasitas respons ”Terbatas”. Hanya Sumatera Utara yang disebut memiliki kapasitas respons ”Sedang”; dengan angka kontak erat per kasus 5,1 kontak erat.
Kategori ”Terbatas” digunakan untuk provinsi yang kapasitas pelacakan kontak eratnya kurang dari 5; ”Sedang” untuk 5-9 kontak erat per kasus; dan ”Memadai” untuk lebih dari 9 kontak erat per kasus.
Secara garis besar, selama tiga bulan terakhir, jumlah kontak erat yang dilacak per kasus cenderung turun. Bali, misalnya, pada tiga bulan lalu, rata-rata bisa melampaui 5 kontak erat per kasus. Namun, kini telah menurun hingga menjadi 0,8.
Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Aceh bahkan sempat menembus angka 10 kontak erat per kasus sebelum terus menurun pada tiga bulan terakhir menjadi 2,5.
Tertinggal
Lalu dari aspek pemeriksaan, sejak Januari 2021, Indonesia telah memenuhi standar WHO, yakni 1.000 orang per 1 juta penduduk per pekan atau sekitar 270.000 orang per pekan. Namun, dengan beberapa pekan seperti pada Februari dan pertengahan Mei, angka ini drop karena adanya libur nasional.
Kompas menganalisis rasio jumlah tes harian per kasus untuk melihat seberapa banyak orang yang diperiksa untuk menemukan setiap kasus positif. Semakin besar angkanya menunjukkan semakin luas upaya yang dilakukan untuk menemukan orang yang terpapar.
Menggunakan metrik ini, Indonesia berkisar pada angka 2,4-12,2 tes per kasus. Senin (7/6/2021), Indonesia berada pada angka 9,3 orang yang diperiksa per kasus positif.
Bandingkan dengan pemeriksaan di Korea Selatan. Data Our World in Data berkisar pada angka 20,5 sampai dengan 1.876,5 orang kontak erat per kasus; dengan rata-rata 155,4 orang kontak erat per kasus setiap harinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal di dua aspek preventif penanganan pandemi Covid-19, yakni tes dan pelacakan. Padahal, sejak Agustus 2020, kedua hal ini sudah diidentifikasi oleh Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Daermawan sebagai titik lemah penanganan Covid-19 Indonesia (Kompas, 26/8/2020).
Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan, ia khawatir bahwa ledakan kasus tidak bisa terpantau secara baik dengan adanya penurunan upaya tracing.
Semakin luas upaya tracing dilakukan, masyarakat yang terpapar Covid-19 akan dapat terdeteksi lebih cepat. Virus pun dapat dihambat penyebarannya. ”Dengan data seperti ini, bisa jadi terjadi ledakan kasus seakan tiba-tiba; tiba-tiba rumah sakit tidak mampu menangani. Saya takut orang bisa telantar,” kata Miko.
Preventif
Pelacakan menjadi hal yang krusial harus dilakukan untuk menghambat penyebaran virus di tengah proses vaksinasi sedang berjalan. Saat ini cakupan vaksinasi dinilai belum mencapai tingkat yang mencukupi untuk memberikan dampak positif di masyarakat.
Hingga Senin (15/6/2021) pukul 12.00, vaksinasi yang sudah dimulai di Indonesia sejak pertengahan Januari lalu baru menyentuh 32,6 juta dosis dengan rincian 20,9 juta orang untuk dosis vaksin pertama dan 11,7 juta untuk dosis kedua.
Jika penerimaan dosis kedua digunakan sebagai parameter kekebalan terbaik yang bisa dimiliki, artinya baru 4,33 persen populasi Indonesia yang sudah dilindungi vaksin secara penuh.
Baca juga: Jalan Panjang Vaksin Kurangi Kematian
Sejumlah pakar mengatakan bahwa dampak berkurangnya tingkat kematian akibat vaksin baru akan terlihat jika cakupan vaksin telah mencapai 40-50 persen populasi atau sekitar 100 juta orang penduduk Indonesia.
Melalui analisis data, fluktuasi angka kematian pasien Covid-19 dan angka CFR belum terlihat memiliki korelasi dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang telah menerima vaksin.
Tiga provinsi dengan cakupan vaksin terbesar, DKI Jakarta (17,7 persen); Bali (15,9 persen); dan Daerah Istimewa Yogyakarta (10,0 persen), belum menunjukkan korelasi yang tepat antara vaksin dan tingkat kematian kasus (case fatality rate/CFR).
Seharusnya, semakin luas vaksin akan berdampak pada penurunan angka CFR. Artinya, relasi kedua variabel tersebut berbanding terbalik atau -1 dalam koefisien korelasi Pearson. Jika angka mendekati 1, artinya cakupan vaksin dan CFR justru bergerak beriringan. Namun, perlu diingat bahwa korelasi tidak serta-merta menunjukkan hubungan kausalitas.
Koefisien DKI Jakarta hingga 19 Mei adalah 0,32; Bali 0,90; dan DIY 0,86. Pada kasus Bali dan Yogyakarta bahkan angka koefisien yang mendekati 1 menunjukkan tingkat kematian masih terus meningkat meskipun cakupan vaksin juga kian luas.
Korelasi yang kecil ini menunjukkan bahwa cakupan vaksin yang masih terlalu rendah belum dapat memberikan dampak yang diinginkan, yakni mengurangi kematian akibat Covid-19. ”Sekarang vaksin belum berpengaruh karena jumlahnya masih sedikit,” kata Miko.
Pandemi Covid-19 telah memasuki tahun kedua dan kini Indonesia mulai mengalami kenaikan kasus imbas Lebaran. Belajar dari setahun lalu, penguatan intervensi nonfarmasi, seperti pelacakan dan pembatasan mobilitas, harus diperkuat.