Batasi Mobilitas Masyarakat di Wilayah Kesatuan Epidemiologis
Lonjakan kasus Covid-19 membutuhkan strategi tepat agar penularan bisa ditekan. Pembatasan mobilitas warga perlu disertai peningkatan pemeriksaan dan pelacakan serta percepatan vaksinasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan mobilitas penduduk perlu dilakukan sampai 70 persen di seluruh sektor kegiatan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menekan potensi transmisi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 kian meluas. Bersamaan dengan itu, upaya pemeriksaan dan pelacakan, peningkatan kapasitas rumah sakit, serta perluasan vaksinasi perlu ditingkatkan.
Epidemiolog yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengatakan, upaya pemeriksaan dan pelacakan kasus Covid-19 di Indonesia masih terbatas, sementara penularan yang terjadi semakin cepat. Karena itu, kemampuan deteksi harus ditingkatkan dengan memberlakukan restriksi mobilitas masyarakat.
”Restriksi (pembatasan) mobilitas ini setidaknya dilakukan pada 70 persen populasi masyarakat dan diberlakukan selama tiga minggu atau dua kali periode infeksius dari virus penyebab Covid-19. Luas restriksi ini dilakukan dalam satu satuan epidemiologis,” ujarnya dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Rabu (16/6/2021).
Riris mengatakan, wilayah dalam satu kesatuan epidemiologis tersebut dilihat dari pergerakan masyarakat di suatu wilayah. Itu seperti kawasan Jakarta Raya (Jabodetabek) dan kawasan Yogyakarta-Sleman-Bantul. Kawasan tersebut perlu memiliki intervensi dan kebijakan yang sama.
Aturan restriksi ini juga harus diawasi secara ketat. Implementasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro tidak efektif karena tidak disertai pengawasan. Akibatnya, pelaksanaannya tidak optimal dan target penurunan kasus tidak tercapai. Kenyataannya kasus justru terus meningkat.
Kondisi itu, menurut Riris, justru dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah. Pemberlakuan PPKM mikro terus diperpanjang sehingga masyarakat menilai aturan tersebut tidak berdampak signifikan untuk menekan transmisi virus. Kasus yang tidak kunjung terkendali juga membuat masyarakat menjadi jenuh.
Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Andreas Meliala, menambahkan, pembatasan mobilitas penduduk juga diperlukan agar sistem pelayanan kesehatan tidak terganggu. Sebelum pandemi, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia terbebani dengan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit tidak menular dan penyakit infeksi lain.
”Dengan adanya pandemi, sistem pelayanan kesehatan harus bisa lebih diperkuat. Kita harus bisa mewujudkan resiliensi pada sistem kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Resiliensi sistem kesehatan itu meliputi kepemimpinan, pembiayaan kesehatan, ketersediaan obat dan vaksin, informasi kesehatan yang baik, sumber daya kesehatan mumpuni, serta pelaksanaan pelayanan kesehatan yang optimal.
Secara terpisah, Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran Tugas Ratmono mengatakan, tingkat keterisian tempat tidur di wisma atlet saat ini mencapai 75,05 persen atau terisi 5.551 tempat tidur. Ketersediaan tempat tidur di rumah sakit darurat itu sudah ditambah 1.400 tempat tidur saat lonjakan kasus setelah libur Lebaran.
”Satu minggu ini, rata-rata jumlah pasien yang masuk 500-600 pasien per hari. Jika terus bertambah, kita bisa hitung berapa lama lagi (RSDC Wisma Atlet) akan penuh. Jadi harus ada rem di hulu di masyarakat agar penularan bisa diputus,” katanya.
Tugas mengatakan, kasus yang dirawat di RSDC Wisma Atlet merupakan pasien dengan gejala ringan hingga sedang. Sebagian besar pasien merupakan pasien tanpa gejala. Dari survei epidemiologi yang dilakukan, penularan yang terjadi pada pasien banyak yang ditemukan dari kluster keluarga.
Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sonny Harry B Harmadi menilai, upaya menekan laju penularan di masyarakat merupakan hal terpenting dari upaya penanggulangan pandemi. Seberapa besar jumlah fasilitas kesehatan yang ditambah, itu tidak akan mampu menampung pasien jika kasus terus melonjak.
Terdapat tiga strategi yang saat ini akan dijalankan oleh pemerintah. Pertama, menegakkan protokol kesehatan di masyarakat. Pengetahuan masyarakat soal protokol sudah baik, tetapi kepatuhannya sangat kurang.
Karena itu, setiap kepala daerah diminta untuk memastikan masyarakat bisa mematuhi protokol kesehatan, terutama terkait penggunaan masker, larangan adanya kerumunan, dan memastikan fasilitas cuci tangan mudah diakses.
Kedua, membatasi mobilitas masyarakat. Strategi ini diperlukan karena dari data yang ada menunjukkan, peningkatan mobilitas disertai dengan penurunan kepatuhan protokol kesehatan menyebabkan kasus penularan meningkat.
Seberapa besar jumlah fasilitas kesehatan yang ditambah, itu tidak akan mampu menampung pasien jika kasus terus melonjak.
Ketiga, membatasi aktivitas masyarakat. Sesuai dengan aturan, wilayah yang masuk di zona merah harus memastikan aktivitas bekerja di kantor maksimal hanya 25 persen dari kapasitas.
”Dukungan masyarakat pun amat penting untuk mendukung keberhasilan pengendalian pandemi. Terbukti, jika protokol kesehatan masyarakat meningkat, kasus bisa lebih terkendali,” kata Sonny.
Vaksinasi Covid-19
Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Julitasari Sundoro menyampaikan, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 juga perlu ditingkatkan dalam upaya pengendalian pandemi. Semakin besar jumlah penduduk yang divaksinasi akan makin melindungi masyarakat dari penularan Covid-19.
Vaksin Covid-19 yang ada saat ini pun tetap dapat melindungi masyarakat dari varian baru SARS-CoV-2. Itu termasuk pada varian Delta yang sudah ditemukan di Indonesia.
Karena itu, masyarakat diharapkan tidak memilih jenis vaksin yang akan diterima. Pemberian vaksinasi pun perlu tetap memprioritaskan kelompok rentan, seperti petugas kesehatan, warga lansia, dan petugas pelayanan publik. Namun, masyarakat di wilayah yang sudah membuka layanan vaksinasi untuk umum bisa turut mendaftarkan diri agar segera divaksinasi.
”Apa pun jenisnya, semua vaksin sudah terbukti efektif dan aman. Berbagai pengujian telah dilakukan pada jenis vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan di Indonesia. Jika mengalami efek samping setelah divaksinasi, diharapkan langsung lapor ke nomor petugas kesehatan yang ada di kartu vaksinasi atau bisa ke fasilitas kesehatan terdekat,” katanya.
Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah penerima vaksinasi dengan dosis lengkap sekitar 11,8 juta orang atau 29,28 persen dari target yang ditetapkan. Jumlah itu meliputi 1,3 juta petugas pelayanan kesehatan, 7,9 juta petugas publik, dan 2,4 juta warga lansia.
Sementara dari data yang diakses pada laman ourworldindata.org, jumlah penduduk yang divaksinasi di Indonesia 11,92 per 100 penduduk. Itu masih lebih rendah dari rata-rata dunia 31,48 per 100 penduduk serta rata-rata di negara lain, seperti China (64,19 per 100 penduduk), Brasil (37,76 per 100 penduduk), India (18,50 per 100 penduduk), Laos (15,42 per 100 penduduk), dan Malaysia (15,15 per 100 penduduk).