Mengejar Target Vaksinasi Lansia
Lansia adalah kelompok prioritas dalam vaksinasi Covid-19. Jika target vaksinasi lansia ini tidak bisa dicapai, maka akan ada banyak lagi lansia yang berisiko mengalami perburukan kondisi dan kematian akibat Covid-19.
Jika tertular Covid-19, warga lanjut usia berisiko lebih besar mengalami perburukan kondisi dibanding kelompok populasi lain. Bahkan, tingkat kematian mereka akibat Covid-19 mencapai 19,5 kali lebih besar dibanding penduduk berumur kurang dari 30 tahun. Karena itu, lansia jadi prioritas vaksinasi Covid-19 guna mengurangi risiko perburukan, kematian, maupun menularkan ke orang lain.
Nyatanya, tidak mudah mendorong lansia agar mau divaksin. Semula, Kementerian Kesehatan menargetkan mampu memvaksinasi 21,5 juta lansia sejak akhir Februari hingga Juni 2021. Namun hingga Jumat (28/5/2021), baru 2,16 juta lansia atau 10,04 persen dari lansia sasaran yang sudah mendapat dosis kedua vaksin Covid-19.
“Kalau sampai Juni (target vaksinasi lansia), kita tidak terlalu optimis. Karena itu, prioritas vaksinasi lansia akan tetap diperpanjang,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi. Karena itu, menyambut Hari Kelanjutusiaan Nasional yang diperingati tiap 29 Mei, perlu didorong percepatan vaksinasi Covid-19 bagi lansia.
Dari 34 provinsi, capaian target vaksinasi dosis kedua di 26 provinsi masih lebih rendah dibanding capaian nasional. Provinsi dengan capaian vaksinasi dosis kedua terendah adalah Aceh sebanyak 0,46 persen, Sulawesi Barat (1,05) dan Papua (1.15). Sedangkan capaian tertinggi vaksinasi kedua dicapai Jakarta Raya (57.79), DI Yogyakarta (29,84), dan Bali (28,3).
Sebagai ibukota negara, Jakarta yang punya jangkauan dan akses layanan kesehatan terbaik serta pendidikan warganya juga lebih baik, tetap banyak kendala ditemukan demi memvaksin lansia.
Ragu divaksin
Pantauan Kolaborator Ahli Lapor Covid-19 yang juga dosen psikologi sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Pelupessy mengatakan di tengah gencarnya sosialisasi, penyebaran informasi dan pemberitaan soal vaksinasi, masih banyak lansia di Jakarta yang khawatir soal kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), ragu kemanjuran vaksin, dan mempertanyakan kehalalan vaksin.
"Di Jakarta saja masih banyak ditemukan persoalan akibat kurangnya informasi terkait vaksin Covid-19, apalagi di daerah," katanya.
Kasus KIPI sebenarnya sangat sedikit dibanding jumlah orang yang divaksin. Alih-alih menjelaskan secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi, pemerintah justru sering menyangkal dan terkesan menutupi kasus KIPI dengan berlindung di balik jargon vaksin aman dan sudah diuji.
Masyarakat sebenarnya tahu bahwa vaksin lebih banyak manfaatnya. Namun, ketiadaan penjelasan atas KIPI yang terjadi secara cepat dan tepat akhirnya justru mengikis kepercayaan mereka atas kemanfaatan vaksin. Bahkan, sejumlah lansia akhirnya tidak mengikuti vaksin kedua karena khawatir dengan KIPI yang dialami walau bisa jadi gejala KIPI yang timbul hanya akibat kecemasan akibat vaksinasi semata.
Berbedanya kehalalan atas dua vaksin yang digunakan juga membingungkan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia menyatakan vaksin Sinovac yang digunakan pertama kali dalam program vaksinasi Covid-19 halal dan boleh digunakan, sedangkan vaksin Astra Zeneca yang digunakan belakangan haram namun boleh digunakan karena keadaan darurat. "Perbedaan informasi ini membingungkan banyak orang," tambah Dicky.
Di sisi lain, psikolog klinis peneliti lansia yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Latifah Hanum menambahkan hoaks soal vasin Covid-19 di kalangan lansia sangat kencang. Informasi keliru itu beredar di antara orang-orang yang dekat dengan kalangan lansia, baik itu teman atau tokoh-tokoh yang didengar lansia, seperti tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Baca juga: Capaian Vaksinasi untuk Warga Lansia di Kalteng Masih Sangat Rendah
Hoaks itu antara lain vaksin bisa mengubah asam deoksiribo nukleat (DNA) manusia hingga yang terbaru soal bekas suntikan vaksin menjadi bersifat magnet. Pemerintah sebenarnya sudah berupaya meluruskan berita bohong itu, namun informasi itu tidak mampu menjangkau kanal-kanal informasi yang biasa digunakan lansia.
Informasi yang beredar di lingkungan pertemanan lansia itu lebih dipercaya lansia.(Latifah Hanum)
"Informasi yang beredar di lingkungan pertemanan lansia itu lebih dipercaya lansia," katanya. Tak jarang, lansia lebih percaya informasi tentang vaksin dari teman atau orang dekatnya dibanding informasi dari anaknya yang seorang dokter sekalipun.
Pemerintah memang banyak menyebarkan informasi soal vaksin melalui media sosial. Namun, cara ini hanya cocok bagi anak muda. Banyak lansia tidak lancar menggunakan gawai. Bahasa untuk lansia dengan untuk anak muda pun berbeda, komunikasi dengan bahasa ibu mungkin lebih cocok bagi lansia.
Selain itu, dalam banyak kasus, keputusan lansia untuk vaksin adalah keputusan keluarga. Pandangan keluarga, baik pasangan ataupun anak sangat penting. Keluarga bisa mendorong lansia agar mau divaksin atau justru meminta lansia untuk tidak vaksin. Karena itu, pemahaman soal vaksin penting juga disampaikan pada keluarga, bukan hanya kepada lansia saja.
Ubah paradigma
Model komunikasi pemerintah yang justru membuat masyarakat ragu atas informasi yang disampaikan itu sebenarnya sudah terjadi sejak awal pandemi. Karena itu untuk mendorong makin banyak lansia dan keluarganya mengikuti vaksinasi Covid-19, maka sejumlah terobosan perlu dilakukan.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, pelaksanaan vaksinasi oleh pemerintah harus diubah dari pasif menjadi aktif. Selama ini, vaksinasi lansia dilakukan dengan meminta lansia mendaftar secara daring. Padahal, pengetahuan dan kemampuan lansia menggunakan teknologi masih rendah.
Untuk vaksinasi, lansia juga diminta datang ke sentra-sentra vaksinasi yang umumnya ada di pusat kota. Meski petugas di sentra vaksinasi sangat membantu, tapi tidak semua lansia punya akses atau alat transportasi yang bisa membawa mereka ke sentra vaksinasi. Belum lagi, lansia umumnya punya keterbatasan mobilitas, bahkan mengalami disabilitas.
“Persoalan ini jadi hambatan khususnya bagi lansia yang tinggal jauh dari pusat kota dan tinggal tidak didampingi anak atau keluarga dekat," katanya.
Untuk pendaftaran vaksinasi, data kependudukan yang dimiliki tiap daerah bisa dimanfaatkan. Bahkan, lanjut Dicky, pengurus rukun tetangga, rukun warga (RW), tim Penggerak Pemberdayaan Keluarga (PKK), kader dasa wisma, kader posyandu atau anggota Satuan Tugas Covid-19 yang selama ini aktif memantau kasus korona di wilayahnya bisa diberdayakan untuk mendata lansia di sekitarnya. Pelibatan kader dan tokoh masyarakat itu bisa mengurangi beban tenaga puskesmas yang sudah sangat berat dalam mengatasi pandemi.
Setelah itu, vaksinasi bisa dikoordinasikan dengan petugas puskesmas terdekat hingga bisa dilakukan di lingkungan terdekat lansia, mulai dari posyandu lansia, balai RW, atau tempat ibadah terdekat. Cara ini akan membuat jumlah lansia yang divaksin jadi lebih sedikit hingga menghindarkan mereka dari antrean panjang vaksinasi serta mengurangi ketidaknyamanan.
Guna mengatasi KIPI, lansia dan keluarganya juga perlu dijelaskan tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi setelah divaksin, bukan hanya 30 menit observasi setelah divaksin. Pengetahuan akan risiko vaksinasi yang bisa muncul hingga beberapa hari berikutnya itu membuat lansia dan keluarganya bisa bersiap dan tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi KIPI.
"Ini bukan inovasi yang kompleks. Pola vaksinasi harus diubah menjadi jemput bola," katanya.
Sementara itu, untuk sosialisasi tentang vaksin, Hanum mendorong dilibatkannya tokoh agama dan tokoh masyarakat di tingkat lokal yang dipercaya lansia. Tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu diajak membangun pemahaman yang benar tentang vaksin.
"Sosialisasi vaksin juga bisa dilakukan melalui tayangan-tayangan televisi yang diminati lansia, dan keluarga seperti pengajian atau sinetron," katanya. Upaya ini sukses dilakukan di sejumlah negara, seperti Vietnam untuk meluruskan informasi keliru soal Covid-19 atau vaksin.
Namun di Indonesia upaya ini seringkali menghadapi kendala dan dianggap sulit. Karena pandemi ini adalah bencana, seharusnya ada itikad baik semua pihak untuk bisa mendukung penanganan Covid-19 yang lebih progresif.
Baca juga: Perlu Lebih Aktif Kejar Target Vaksinasi Warga Lansia
Bagaimanapun, lansia adalah kelompok prioritas dalam vaksinasi Covid-19. Jika target vaksinasi lansia ini tidak bisa dicapai, maka akan ada banyak lagi lansia yang berisiko mengalami perburukan kondisi dan kematian akibat Covid-19. Jika lansia terlindungi dari Covid-19, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh lansia, tetapi juga keluarga, masyarakat, hingga tenaga kesehatan dan garda depan penanganan Covid-19.