Terapi kanker selama ini dirasakan cukup menyiksa dan berpotensi mengganggu fungsi organ vital seperti hati, jantung, dan ginjal. Para peneliti terus berupaya menemukan terapi yang lebih aman dan efektif.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·3 menit baca
Kabar baik bagi penderita kanker. Di masa depan, mereka tidak perlu lagi mengalami mual, muntah, dan rambut rontok akibat kemoterapi ataupun radiasi.
Para peneliti rekayasa biomedis dan kedokteran dari Universitas Minnesota, Amerika Serikat, sedang mengembangkan imunoterapi, yakni memanfaatkan sel imun penderita, untuk melawan kanker. Jika terwujud dan bisa diterapkan, terapi ini bisa mengubah kualitas hidup dan meningkatkan kesintasan jutaan penderita kanker di seluruh dunia.
Imunoterapi, menurut laman Institut Kanker Nasional (NCI) Amerika Serikat, adalah jenis pengobatan kanker yang membantu sistem imun melawan kanker. Sebagaimana diketahui, sistem imun membantu tubuh melawan infeksi dan penyakit lain. Itu terdiri dari berbagai jenis sel darah putih serta jaringan sistem getah bening. Imunoterapi merupakan salah satu jenis terapi biologis.
Jenis imunoterapi yang digunakan untuk mengobati kanker adalah immune checkpoint inhibitors (obat yang memblokir pos pemeriksaan kekebalan sehingga meningkatkan respons sel imun terhadap kanker), terapi transfer sel T (meningkatkan kemampuan alami sel T untuk melawan kanker), antibodi monoklonal (menggunakan protein sistem imun yang dibuat di laboratorium untuk mengikat target tertentu pada sel kanker). Selain itu, ada terapi vaksin (untuk meningkatkan respons sistem imun terhadap kanker) dan modulator sistem imun yang meningkatkan respons imun terhadap kanker.
Sejumlah imunoterapi tersebut telah digunakan untuk mengatasi berbagai jenis kanker antara lain kanker kandung kemih, payudara, serviks, kolorektal, esofagus, ginjal, leukemia, hati, paru, limfoma, prostat, dan kanker kulit.
Rekayasa sel T
Menurut laman Universitas Minnesota, penelitian yang dikerjakan Erdem D Tabdanov dan kolega yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, 14 Mei 2021, itu merekayasa sel T sitotoksik, salah satu jenis sel darah putih. Tujuannya, meningkatkan kinerja dalam mencari dan menghancurkan target berupa sel kanker atau tumor.
Para peneliti merekayasa sel T sitotoksik agar lebih kuat untuk menembus kepadatan massa tumor.
Sejauh ini sel T telah digunakan untuk imunoterapi pada kanker darah, tetapi belum dimanfaatkan untuk tumor padat. Masalahnya, di dalam massa tumor yang padat, gerak sel imun melambat dua kali lipat. Karena itu, para peneliti merekayasa sel T sitotoksik agar lebih kuat untuk menembus kepadatan massa tumor.
”Kami mengidentifikasi beberapa elemen struktural dan pensinyalan di mana kami dapat merekayasa sel-sel T agar mampu bergerak lebih cepat dan efektif melawan sel kanker,” kata Paolo Provenzano, Guru Besar Rekayasa Biomedis dan peneliti pada Pusat Kanker Masonic Universitas Minnesota yang menjadi penulis senior hasil penelitian.
Jika sel imun dapat mengenali dan mencapai sel kanker, mereka dapat menghancurkan tumor. Para peneliti menggunakan teknologi pengeditan genom untuk mengubah DNA sel T sehingga lebih mampu mengatasi berbagai jenis penghalang tumor. Dengan cara itu, daya tembus sel imun ditingkatkan sehingga mampu memperlambat perkembangan sel kanker.
Menurut Provenzano, peneliti terus mempelajari sifat mekanis sel untuk lebih memahami bagaimana sel imun dan sel kanker berinteraksi. Hal itu dilakukan dengan mempelajari sel imun yang direkayasa pada tikus percobaan. Selanjutnya akan dilakukan uji klinis pada manusia.
Penelitian awal difokuskan pada kanker pankreas, tetapi teknik tersebut dapat digunakan pada banyak jenis kanker. ”Menggunakan pendekatan rekayasa sel untuk melawan kanker adalah bidang yang relatif baru,” kata Provenzano. ”Memanfaatkan sel tubuh sendiri untuk melawan kanker bisa berdampak besar bagi kesehatan manusia di masa depan.”
Meski diyakini lebih aman dan efektif, imunoterapi tidak bebas dari efek samping. Laman Cancer.net menyebut, efek samping itu bisa berupa reaksi kulit (sensitif, kemerahan, melepuh, ataupun kekeringan), gejala mirip flu (lelah, lemas, demam, pusing, batuk, pilek, nyeri tubuh), tekanan darah tinggi atau rendah, sesak napas, pembengkakan kaki, sakit kepala, dan diare. Karena itu, penting untuk mengikuti petunjuk dokter yang merawat agar terapi berhasil dengan baik.