Gejala Infeksi Varian Baru Virus Korona Tak Beda
Saat ini beredar berbagai varian baru dari virus korona. Meski gejalanya sama, kemampuan menular dan keganasannya bisa jadi berbeda. Penelitian genomik dan disiplin penerapan protokol kesehatan diperlukan.
Gejala infeksi varian baru SARS-CoV-2 tidak jauh berbeda dari strain awal virus korona baru. Antara lain, demam, sakit tenggorokan, batuk, kehilangan kemampuan mengecap atau menghidu.
“Tidak ada perbedaan gejala klinis. Semua seperti gejala infeksi virus pada umumnya, seperti flu,” kata Menaldi Rasmin, Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-RSUP Persahabatan, Jumat (21/5/2021).
Hal serupa dinyatakan mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO SEARO) Tjandra Yoga Aditama yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan,“Belum ada bukti ilmiah bahwa infeksi Covid-19 yang ditimbulkan virus varian baru gejalanya berbeda.”
Beberapa waktu lalu, Kementerian Kesehatan mengumumkan, sejumlah varian baru virus korona, yakni varian India (B.1.617), Inggris (B.1.1.7) dan Afrika Selatan (B.1.351) telah masuk ke Indonesia. Kasus ditemukan di sejumlah daerah dan telah terjadi transmisi (penularan) lokal.
Baca juga: Mari Belajar dari Kengerian akibat Covid-19 di India
Tak lama kemudian beredar di media sosial, unggahan mengenai gejala infeksi varian baru SARS-CoV-2. Disebutkan, misalnya infeksi varian baru tidak menimbulkan demam, virus langsung menyerang paru. Gejala yang ada hanya diare. Tes usap antigen maupun PCR (reaksi rantai polimerase) hasilnya negatif, hanya CT scan paru yang bisa mendeteksi. Penderita biasanya sesak napas dan 1-2 hari kemudian meninggal dunia.
Meski tidak sepenuhnya benar, unggahan tersebut menurut Menaldi bisa meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan 5M (mencuci tangan, mengenakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Di Inggris, sebagaimana diberitakan The Independent, 18 Mei 2021, gejala utama infeksi varian India sub tipe 2 (B.1.617.2) sama dengan infeksi virus Covid-19 biasa, yakni batuk terus-menerus, demam tinggi, serta hilangnya kemampuan indra untuk mengecap ataupun menghidu.
Gejala infeksi varian Inggris pun, menurut The Times of India, 25 Februari 2021, dan HuffPost, 28 Januari 2021, tak jauh beda. Berupa gejala klasik, infeksi seperti flu, demam, batuk atau kehilangan penciuman. Sejumlah penderita mengalami gejala lain seperti lesu dan lelah. Hal itu merupakan efek dari sitokin yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap infeksi.
Gejala lain yang dirasakan adalah nyeri otot dan nyeri tubuh. Penyebabnya, virus menyerang serat otot dan lapisan jaringan vital. Peradangan yang meluas dapat menyebabkan nyeri serta kelemahan selama infeksi.
Jika mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan yang tidak biasa, seperti pusing, sakit kepala, nyeri otot, lemas, lesu, nyeri tubuh, diare, sebaiknya Anda melakukan tes Covid-19.
Jadi, jika mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan yang tidak biasa, seperti pusing, sakit kepala, nyeri otot, lemas, lesu, nyeri tubuh, diare, sebaiknya Anda melakukan tes Covid-19. Tanda-tanda ini bisa muncul dalam urutan apa pun, bersamaan dengan gejala klasik (sakit tenggorokan, demam, batuk) ataupun tanpa gejala.
Hal serupa dianjurkan Menaldi. “Kalau merasakan gejala, sesegera mungkin periksa ke dokter. Jangan lewah pakai (over use) atau salah pakai (misuse) obat dan pemeriksaan. Lakukan yang sepatutnya dilakukan,” katanya.
Penelitian genomik
Kompas.id, 5 Mei 2021, memberitakan kasus di Medan, di mana ada penderita mengalami gejala demam, batuk, dan sesak napas. Namun, tes usap antigen dan dua kali tes PCR hasilnya negatif. Hasil CT scan menunjukkan parunya berkabut. Dokter mendiagnosis Covid-19, memberi obat dan meminta penderita isolasi mandiri di rumah.
Setelah dua minggu, kondisinya membaik. Tes PCR baru menunjukkan hasil positif. Sejauh ini, belum ada pemeriksaan resmi terkait jenis virus yang menginfeksi.
Baca juga: Sumut Antisipasi Varian Baru Covid-19
Terkait kasus tersebut, Menaldi menyatakan, bisa jadi saat tes PCR, jumlah virus belum cukup untuk \'tertangkap\' pada pengambilan sampel. Meski jumlah virus cukup, positive rate PCR adalah 63 persen, berarti masih ada 37 persen false negative.
“Saat sembuh, tapi PCR positif, bisa jadi itu adalah serakan \'bangkai virus’. Harus dilihat CT (cycle threshold) value-nya, supaya bisa dinilai itu virus aktif atau bangkai. Dengan munculnya varian baru, perlu genomic sequencing utk menilai varian yang mana yang menginfeksi,” papar Menaldi.
Tjandra berpendapat, kalau CT scan menunjukkan kelainan, penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit. “Sudah ada sedikitnya tiga laporan kasus seperti ini di Finlandia, Perancis dan India. Tetapi karena data belum terlalu valid, maka belum mempengaruhi kebijakan,” ujarnya.
Pernyataan WHO pada 15 Januari 2021 menyebutkan, kalau klinis mendukung dan PCR negatif, maka PCR perlu diulang dengan sampel lebih akurat, misalnya broncho alveolar lavage, yakni bilas bronkoalveolar dari bronkoskopi.
Menurut Tjandra, situasi ini disebut sebagai kejadian tidak biasa (unusual event). Perlu dilakukan whole genome sequencing untuk mendeteksi ada tidaknya varian baru serta analisis rinci. Sehingga pada varian B.1.617 misalnya, dapat diketahui apakah termasuk sub tipe B.1.617.1, B.1.617.2 dan B.1.617.3. Ini penting untuk menetapkan kebijakan.
“Masing-masing sub tipe berbeda perangai dan kemungkinan bahayanya bagi manusia. Di Inggris, jumlah B.1.617.2 meningkat dua kali lipat, mulai dari 1.313 kasus pada Kamis, 13 Mei, menjadi 2.323 kasus pada Senin, 17 Mei 2021,” kata Tjandra.
Sejumlah penelitian mendapatkan, varian Inggris, varian Afrika Selatan, dan varian India lebih mudah menular. Belum dipastikan apakah lebih mematikan.
Namun, hasil penelitian Robert Challen dan kolega dari Universitas Exeter serta Universitas Bristol, Inggris, pada kasus di Inggris yang dimuat di BMJ, 10 Maret 2021, menunjukkan, varian Inggris bisa 64 persen lebih mematikan.
Perlindungan vaksin
Terkait kemampuan varian-varian baru lolos dari antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin, dokumen WHO tentang Emergency Use of Listing (EUL) pada 10 Februari 2021 menyebut, vaksin AstraZeneca masih punya efektivitas tinggi terhadap varian B.1.1.7 (Inggris), namun kurang efektif pada varian B.1.351 (Afrika Selatan).
Universitas Oxford mengumumkan, berupaya mengadaptasi vaksin untuk memastikan bisa melindungi dari varian Afrika Selatan serta varian lain. Dijanjikan, suntikan penguat (booster) tersedia pada musim gugur 2021.
Penelitian laboratorium yang belum dikaji sejawat dari Isabella Ferreira dari Cambridge Institute of Therapeutic Immunology & Infectious Disease, Cambridge, dan Fakultas Kedokteran Universitas Cambridge, Inggris, bersama sejumlah peneliti lain dari Inggris, India, Jepang, dan Afrika Selatan, yang terbit 9 Mei 2021, mendapatkan, antibodi yang diproduksi sebagai respons vaksin Pfizer-BioNTech mungkin kurang efektif terhadap varian B.1.617 (India).
Penelitian sama terhadap 33 kasus Covid-19 pada petugas kesehatan di New Delhi yang telah menerima dua dosis vaksin AstraZeneca, menemukan, 19 kasus disebabkan oleh varian B.1.617. Namun, tidak ada kasus Covid-19 yang parah. Ini menunjukkan, vaksin korona yang ada masih memberi perlindungan.
Penelitian lain menunjukkan, vaksin Pfizer/BioNTech dan AstraZeneca menawarkan tingkat perlindungan yang baik terhadap varian Inggris.
Baca juga: Varian Baru Bisa Menginfeksi Orang yang Sudah Divaksinasi8