Pencapaian target penurunan tengkes di tengah pandemi tak mudah dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melibatkan semua pihak, termasuk swasta, untuk mencapai target penurunan tengkes.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memiliki target yang ambisius dalam menurunkan angka tengkes di Indonesia. Karena itu, semua pihak, termasuk swasta, harus bekerja keras untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Kolaborasi dan kemitraan yang kuat pun menjadi kunci penanganan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, intervensi untuk menuntaskan masalah tengkes atau stunting harus dijalankan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Upaya penanganannya pun tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak.
”Persoalan stunting sudah menjadi isu prioritas pemerintah. Kolaborasi dan kemitraan menjadi keharusan dalam upaya penanganan stunting. Oleh sebab itu, pemerintah pun berupaya untuk lebih melibatkan banyak pihak, termasuk pihak swasta,” ujarnya di Jakarta, Selasa (4/5/2021).
Hasto mengatakan, penanganan tengkes harus dimulai sejak dini, yakni sejak usia remaja, khususnya pada remaja putri yang akan menjadi ibu. Edukasi harus terus diberikan agar para remaja lebih sadar akan pentingnya pemenuhan nutrisi.
Ketika nutrisi belum terpenuhi, berbagai risiko bisa terjadi ketika kelak memiliki anak. Selain berisiko mengalami gangguan dalam kehamilan dan persalinan, kualitas anak yang dilahirkan juga tidak optimal. Risiko anak mengalami tengkes juga amat tinggi.
”Kegiatan posyandu di banyak daerah terhenti karena pandemi. Padahal, selama ini posyandu berperan besar sebagai langkah awal pengawasan gizi anak. Karena itu, edukasi bagi para kader juga harus dilakukan agar upaya pemantauan gizi anak bisa tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19,” ucap Hasto.
Indonesia menargetkan prevalensi anak balita tengkes bisa menurun dari 27,6 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2024. Target ini tidak mudah dicapai di tengah situasi pandemi yang justru membuat banyak anak kesulitan untuk memenuhi gizi seimbang. Jika tidak ada intervensi yang berarti, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi angka tengkes bisa meningkat menjadi 16 persen pada 2030.
Direktur Bina Akses Pelayanan Keluarga Berencana BKKBN Zamhir Setiawan menambahkan, angka tengkes di Indonesia masih lebih tinggi dari batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni kurang dari 20 persen. Untuk mengejar hal itu, swasta menjadi bagian yang akan terus dilibatkan, terutama dalam upaya edukasi untuk mencegah tengkes di masyarakat.
”Edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman bagaimana mempersiapkan ketahanan kesehatan keluarga untuk mencegah stunting, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, dan menurunkan angka kematian bayi,” tuturnya.
Zamhir menyampaikan, kerja sama dengan swasta telah terwujud melalui program ”Smart Sharing”. Program yang sudah dimulai sejak April 2021 ini merupakan bentuk kolaborasi yang dijalankan BKKBN, Kalbe Nutritionals, dan Klikdokter. Selain kerja sama dalam edukasi masyarakat, studi observasional dan program intervensi gizi juga akan dilakukan dalam program ini.
Terdapat tiga kelompok yang akan disasar, yaitu ibu hamil dengan usia kandungan 4-6 bulan, ibu menyusui dengan bayi usia 0-3 bulan, dan bayi usia 6-9 bulan. Menurut rencana, program Smart Sharing akan berlangsung di Godean, Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta) dan Kota Madiun.
President Director Kalbe Nutritionals berharap, program yang dilakukan ini dapat secara efektif memperbaiki gizi ibu hamil, wanita usia subur, serta bayi yang menjadi sasaran intervensi. Program yang dilakukan ini juga bisa menjadi percontohan bagi daerah lain agar tengkes bisa lebih cepat dituntaskan.