Ketersediaan Darah untuk Pasien Talasemia Terbatas
Penyandang talasemia sangat bergantung pada transfusi darah seumur hidupnya. Sayangnya, ketersediaan darah untuk mereka di tengah pandemi Covid-19 semakin terbatas. Banyak donor yang takut mendonorkan darahnya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang talasemia mayor membutuhkan transfusi darah seumur hidupnya. Kondisi pandemi saat ini membuat ketersediaan darah menjadi terbatas. Butuh strategi untuk meningkatkan jumlah donor agar pelayanan bagi pasien talasemia tetap berjalan.
”Setidaknya satu pasien talasemia butuh enam donor. Kondisi pandemi saat ini membuat jumlah donor berkurang karena mayoritas takut untuk datang mendonorkan darah. Karena itu, kita harus himpun para donor agar kebutuhan darah tetap bisa tercukupi,” kata Ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Talasemia Indonesia (Popti) Ruswandi dalam webinar peringatan Hari Talasemia Sedunia di Jakarta, Rabu (5/5/2021). Hari Talasemia Sedunia diperingati setiap 8 Mei.
Ia mengatakan, selama pandemi tidak ada kendala berarti yang ditemui selain ketersediaan darah untuk transfusi yang terbatas. Meski begitu, bagi pasien yang tinggal jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, kekhawatiran akan penularan Covid-19 cukup tinggi.
Jumlah rumah sakit yang khusus menangani pasien talasemia di Indonesia saat ini hanya 97 rumah sakit. Sementara data Popti menunjukkan jumlah penyandang talasemia mayor di Indonesia pada 2020 mencapai 10.647 orang.
Dari tahun ke tahun, jumlah pasien talasemia terus meningkat. Pada 2014, jumlah pasien talasemia yang tercatat sebanyak 6.647 orang. Kemudian bertambah menjadi 7.711 orang pada 2016, lalu naik lagi menjadi 9.028 orang pada 2018, dan 10.515 orang pada 2019. Lima provinsi dengan persentase pasien talasemia terbanyak adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Banten.
”Dengan 10.647 penyandang talasemia di Indonesia, kebutuhan darah dalam satu tahun lebih dari 24,3 juta cc atau sekitar 261.000 kantong darah. Biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan darah ini bisa lebih dari Rp 93 miliar. Jika kelahiran talasemia mayor tidak terkendali, kondisi ini bisa semakin membebani,” kata Ruswandi.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) Tubagus Djumhana Atmakusuma menuturkan, koordinasi dengan Palang Merah Indonesia (PMI) sudah dilakukan agar penyediaan darah untuk pasien talasemia tetap bisa terpenuhi. Untuk daerah dengan tingkat penularan Covid-19 yang rendah, pelaksanaan donor darah diharapkan bisa lebih masif.
Dengan 10.647 penyandang talasemia di Indonesia, kebutuhan darah dalam satu tahun lebih dari 24,3 juta cc atau sekitar 261.000 kantong darah. Biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan darah ini bisa lebih dari Rp 93 miliar.
Pelaksanaan donor plasma konvalesen yang cukup banyak dilakukan juga bisa sekaligus didorong untuk sekalian menyumbangkan darahnya untuk pasien talasemia. ”Distribusi darah ini penting dilakukan karena masa simpan darah pun tidak terlalu lama, hanya sekitar 14 hari. Sebenarnya ada teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk menyimpan darah dalam waktu lama. Namun, memang harganya masih mahal,” ucapnya.
Talasemia merupakan penyakit kelainan darah merah yang diturunkan dari orangtua pembawa sifat talasemia (talasemia minor). Pasien talasemia tidak mampu memproduksi rantai protein pembentuk sel darah merah sehingga sel darah merah mudah pecah. Itu menyebabkan pasien rentan mengalami anemia. Transfusi darah secara rutin harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi.
Tubagus menyampaikan, orang dengan talasemia minor tidak mengalami gejala ataupun perubahan fisik. Namun, ia akan berisiko memiliki anak dengan talasemia mayor jika pasangannya juga memiliki talasemia minor. Karena itu, upaya yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka pasien talasemia mayor adalah dengan mencegah pernikahan antarorang dengan talasemia.
Orangtua yang membawa sifat talasemia berpotensi memiliki anak pembawa sifat talasemia sebanyak 50 persen, anak sehat 25 persen, dan anak dengan talasemia mayor 25 persen. Apabila salah satu orangtua membawa sifat, kemungkinan lahir anak sehat 50 persen dan 50 persen kemungkinan membawa sifat. Sementara jika salah satu orangtua talasemia mayor, semua anak yang dilahirkan membawa sifat.
”Skrining (penapisan) sejak dini menjadi amat penting untuk mendeteksi adanya potensi seseorang dengan talasemia. Setiap pasangan yang berencana memiliki anak sebaiknya melakukan pemeriksaan talasemia. Jika memutuskan tetap menikah, disarankan untuk tidak memiliki anak,” tuturnya.
Seseorang dengan talasemia mayor rentan mengalami kelebihan zat besi lantaran terlalu sering melakukan transfusi darah. Kondisi itu dapat merusak organ tubuh lainnya, seperti hati, jantung, paru, otak, dan kulit. Sejumlah negara berhasil menekan kasus talasemia dengan mencegah pernikahan antarorang dengan talasemia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menyampaikan, pemerintah sedang berupaya agar penapisan dini talasemia bisa dilakukan secara lebih masif. Diharapkan, penapisan talasemia bisa difasilitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. Biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk pelayanan talasemia pada 2020 mencapai lebih dari Rp 581 miliar. Itu termasuk penyakit nomor lima yang paling membebani BPJS Kesehatan.