Perkawinan Anak Tingkatkan Risiko Penyakit dan Kematian
Perkawinan anak menghambat pengentasan kemiskinan, akses terhadap pendidikan, pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak, dan peningkatan kesehatan ibu. Ada berbagai cara untuk mengakhiri.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·6 menit baca
Di luar kemajuan teknologi dan informasi yang memberikan wawasan serta kesadaran mengenai kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, perkawinan anak masih terjadi. Hal ini terutama terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC), tak terkecuali Indonesia. Padahal, selain melanggar hak anak, perkawinan terlalu dini mengancam kehidupan anak beserta keturunan mereka.
Perkawinan anak didefinisikan sebagai perkawinan di mana salah satu pasangan berusia di bawah 18 tahun. Laman Plan Kanada menyebutkan, setiap tahun sekitar 12 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Artinya, hampir setiap 3 detik ada satu gadis menikah. Plan Kanada merupakan bagian dari Plan Internasional, gerakan global nirlaba yang mempromosikan keadilan sosial bagi remaja dan keluarganya pada lebih dari 65 negara berkembang di sejumlah benua.
Menurut Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kependudukan (UNFPA), pandemi Covid-19 memengaruhi semua aspek kehidupan, termasuk mengganggu upaya untuk mengakhiri perkawinan anak. Situasi ini berpotensi menambah 13 juta perkawinan anak secara global sepanjang tahun 2020-2030.
Menikah pada usia dini pada anak membuat kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan menyadari potensi penuhnya akan berkurang. Hal itu menghilangkan kemampuan pengambilan keputusan dalam hal berhubungan seks, hamil, dan keseluruhan jalan hidup mereka. Pernikahan terlalu muda juga meningkatkan risiko kekerasan, penyakit, dan bahkan kematian bagi perempuan. Anak rentan mengalami kekerasan fisik atau seksual dari pasangannya dibandingkan perempuan yang menikah setelah usia 18 tahun.
Lauren Rumble dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia dan kolega di jurnal BMC Public Health, 27 Maret 2018, menyatakan, komplikasi saat melahirkan dan kehamilan merupakan salah satu penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan. Penelitian yang di lima LMIC menemukan, anak-anak dari ibu berusia 19 atau kurang berisiko 20-30 persen lebih tinggi mengalami kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, serta gangguan kesehatan neonatal parah. Bayi-bayi tersebut umumnya berkembang menjadi anak kurang gizi dan stunting. Pada gilirannya, memiliki kecerdasan kurang dan berisiko mengalami masalah kesehatan di sepanjang hidupnya.
Perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki kemungkinan lima kali lebih besar untuk meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan di usia 20 tahunan.
Menurut Plan Kanada, perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki kemungkinan lima kali lebih besar untuk meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan di usia 20 tahunan. Data Unicef, sekitar 50.000 anak perempuan meninggal selama kehamilan per tahun, kebanyakan di LMIC. Kematian bayi dalam kandungan dan kematian bayi baru lahir 50 persen lebih tinggi pada ibu di bawah usia 20 tahun dibandingkan pada perempuan yang hamil di usia lebih tua.
Ancaman penyakit
Perkawinan anak dapat meningkatkan risiko terinfeksi HIV dan penyakit penular seksual lain. Penyebabnya, anak yang dinikahkan umumnya di daerah miskin atau terpencil di mana akses ke perawatan kesehatan serta informasi tentang layanan dan hak kesehatan seksual terbatas. Selain itu, anak perempuan sering kali dinikahkan dengan pria lebih tua yang telah dan mungkin memiliki banyak pasangan seksual sehingga meningkatkan risiko setidaknya penyakit menular seksual. Di Afrika, AIDS menjadi penyebab utama kematian di kalangan remaja berusia 10-19 tahun, terutama akibat perkawinan anak.
Perkawinan terlalu muda juga membuat anak lebih rentan terhadap cedera terkait kehamilan dan persalinan. Laporan Aleksandra Perczynska dari Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) terkait perkawinan anak di Nepal menyebutkan, banyak risiko kesehatan yang dihadapi perempuan ketika menikah sebelum berusia 18 tahun. Mereka diharapkan mulai aktif secara seksual dan melahirkan anak sebelum tubuhnya dewasa sepenuhnya.
Salah satu masalah umum di Nepal terkait kelahiran anak terlalu dini adalah prolaps uteri, kondisi di mana otot menjadi lemah, tidak mampu menyangga rahim sehingga kandungan turun. Prolaps uteri dapat disebabkan oleh jarak kehamilan dan kelahiran terlalu sering dan dekat, serta kurang istirahat setelah melahirkan. Gejalanya dapat berupa nyeri panggul, sering buang air kecil, inkontinensia urine, nyeri saat berhubungan seksual, perdarahan vagina, infeksi saluran reproduksi dan saluran kemih, sembelit, keputihan, kesulitan berjalan, sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari.
Di negara lain, prolaps uteri biasanya ditemukan pada perempuan dewasa. Namun, di Nepal, remaja perempuan juga menderita kondisi ini. Sebuah penelitian menemukan, 14 persen kasus terjadi pada perempuan Nepal sebelum mereka mencapai usia 20 tahun.
Risiko lain yang cukup tinggi adalah fistula obstetri. Kondisi ini dapat terjadi jika kepala dan/atau bahu bayi terlalu besar untuk panggul ibu. Hal ini sering mengakibatkan persalinan terhambat yang berlangsung beberapa hari. Tanpa pertolongan tenaga terampil, persalinan terhambat dapat menyebabkan kematian janin dan robekan pada dinding vagina. Secara global, 65 persen kasus fistula obstetri terjadi pada anak perempuan di bawah 18 tahun.
Ahli obstetri dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Eugenius Phyowai Ganap, Sabtu (17/4/2021), menyatakan, prolaps uteri umumnya terjadi pada perempuan yang hamil dan melahirkan terlalu banyak. Adapun fistula obstetri adalah robekan jaringan sehingga terbentuk celah antara vagina dengan rektum atau vagina dengan kandung kemih. Hal ini akibat organ reproduksi yang belum matang serta adanya kesulitan dalam proses persalinan.
Situasi Indonesia
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mendapatkan, 17 persen anak perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara itu, Survei Penduduk Antar Sensus 2015 menunjukkan, angka kematian ibu (AKI) Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah terjadi penurunan dari periode 1991-2015 yang 390 per 100.000 kelahiran hidup, angka itu masih tiga kali lipat dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut Unicef, peringkat Indonesia berada di tengah untuk negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik terkait pernikahan sebelum usia 18 tahun. Laos dan Kepulauan Solomon menempati urutan tertinggi, masing-masing 37 persen dan 28,3 persen. Sementara Mongolia dan Vietnam menempati peringkat terendah, masing-masing 6,2 persen dan 12,3 persen.
Laporan Biro Pusat Statistik dan Unicef Indonesia 2016, pernikahan anak dikaitkan dengan tempat tinggal perdesaan, kondisi perumahan miskin, dan rumah tangga dengan tingkat pengeluaran rendah. Prevalensi perkawinan anak berkisar dari yang tinggi (36 persen) di Papua hingga terendah di Yogyakarta (6 persen). Ada 18 daerah memiliki tingkat perkawinan anak di atas 20 persen dengan prevalensi tertinggi di Papua, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah.
Perkawinan anak menghambat pengentasan kemiskinan, akses terhadap pendidikan, pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak dan peningkatan kesehatan ibu. Selain itu, melanggar beberapa hak yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak, termasuk hak atas pendidikan (Pasal 28), dilindungi dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau pelecehan, termasuk pelecehan seksual (Pasal 19), dari semua bentuk eksploitasi seksual (Pasal 34), perlindungan terhadap semua bentuk eksploitasi yang memengaruhi segala aspek kesejahteraan anak (Pasal 36), serta hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 24).
Mengakhiri perkawinan anak merupakan salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan agenda global 2030. Bagi Indonesia, menurunkan angka perkawinan anak menjadi 6,94 persen pada tahun 2030 merupakan salah satu target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pemerintah perlu melakukan upaya lebih keras untuk mewujudkan.
Unicef menyarankan, Pemerintah Indonesia, sektor swasta, dan mitra masyarakat sipil harus memprioritaskan pendidikan menengah untuk semua anak perempuan dan laki-laki, serta memastikan pembiayaan perlindungan sosial cukup untuk menjangkau rumah tangga miskin di mana anak perempuan yang rentan tinggal.
Pemerintah bersama para pihak, termasuk pemuka agama dan tokoh masyarakat, dapat memprakarsai kampanye kesadaran publik dan menggerakkan keterlibatan masyarakat untuk menyebarkan pesan tentang hak-hak anak, ketidaksetaraan jender, dan bahaya pernikahan anak.