Pemberian Antibiotik Marak, Waspadai Ancaman Bakteri Super pada Makanan
Konsumen memiliki hak mendapatkan keamanan dan keselamatan selama menggunakan produk. Industri peternakan yang memanfaatkan zat-zat terlarang dalam mengembangkan produknya telah melakukan pelanggaran hak konsumen.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian antibiotik yang tidak sepatutnya kepada hewan ternak dapat memicu resistensi mikroba sehingga muncul bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Bakteri resisten tersebut dapat menular kepada manusia melalui makanan ataupun lingkungan.
Juru Kampanye World Animal Protection Indonesia Rully Prayoga mengatakan, banyak peternak menggunakan antibiotik untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan hewan. Padahal, antibiotik untuk hewan hanya boleh digunakan untuk kepentingan medis dan kritis.
”Selain untuk kesehatan, juga untuk membuat hewan doyan makan dan mempercepat pertumbuhannya,” katanya dalam acara media briefing ”Bakteri Berbahaya bagi Manusia”, di Jakarta, Senin (5/4/2021).
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan disebutkan bahwa antibiotik merupakan jenis obat yang dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan hewan. Antibiotik hanya boleh digunakan untuk keperluan terapi, maksimal selama 7 hari. Penggunaan juga harus di bawah pengawasan dokter.
Jika disalahgunakan, pemberian antibiotik kepada hewan ini dapat menyebabkan resistensi mikroba atau antimicrobial resistance (AMR) yang menjadikan bakteri kebal terhadap antibiotik. Bakteri super atau super bug ini juga bisa menjangkiti manusia dengan berbagai cara. Salah satunya lewat makanan.
”Resistensi mikroba pada manusia bisa terjadi melalui tiga hal, yakni melakukan kontak dengan penderita lain, mengonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi, dan kontak langsung dengan hewan dan lingkungan yang terkontaminasi,” tutur Rully.
Masifnya penggunaan antibiotik ini dibuktikan oleh World Animal Protection lewat hasil riset terbaru mereka. Dari hasil pengambilan sampel pada saluran air di sekitar peternakan babi di Thailand, Kanada, Amerika Serikat, dan Spanyol, ditemukan adanya kandungan antibiotik dan bakteri resisten di sana.
Asumsinya, kontaminasi hanya bisa terjadi jika ada penyalahgunaan antibiotik di peternakan. ”Di Thailand ditemukan kandungan antibiotik prioritas tinggi, yakni ciprofloxacin dan colistin. Ciprofloxacin juga ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, dan Spanyol,” kata Rully.
Meskipun riset yang sama belum dilakukan di Indonesia, kecenderungan penggunaan antibiotik pada hewan cukup kentara. Rully sempat memberikan contoh sebuah percakapan dalam komunitas pencinta ayam di media sosial. Salah satu anggota resah karena ayamnya tidak nafsu makan. Anggota lain dengan entengnya menyarankan amoxilin dan colistin.
”Di Indonesia bisa lebih parah karena (antibiotiknya) sudah beredar ke mana-mana,” katanya.
Antibiotik ini hingga Senin siang masih dapat ditemui di sejumlah platform e-dagang. Salah satu penjual, misalnya, memasang iklan dengan judul Amox LA Amoxilin Injeksi Hewan. Dalam deskripsi produk tertulis, antibiotik dapat digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit.
Dalam hal ini, Rully merekomendasikan agar semua industri peternakan menggunakan antibiotik secara bertanggung jawab. Industri harus menunjukkan transparansinya kepada konsumen.
Sunandar dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) mengatakan, hasil studi terbaru yang dia lakukan menujukkan adanya temuan resisteni mikroba secara konsisten pada broiler. Resistensi mikroba tersebut dia temukan di peternakan, rumah potong, dan gerai penjualan broiler.
”Kami juga menemukan resistensi antibiotik ini di gerai penjualan yang langsung berhubungan dengan konsumen,” ucapnya.
Menurut dia, pelanggaran ini juga akan memberikan dampak bagi lingkungan jika tidak ditangani secara serius. Terlebih, limbah dari gerai penjualan tidak diolah terlebih dulu, tetapi dibuang langsung ke pembuangan umum.
”Hal ini dapat meningkatkan laju perkembangan resistensi dari mikroba,” katanya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Pribadi mengatakan, konsumen memiliki hak untuk keamanan dan keselamatan selama menggunakan produk. Industri peternakan yang memanfaatkan zat-zat terlarang dalam mengembangkan produknya telah melakukan pelanggaran hak konsumen.
”Konsumen harus mendapatkan pangan yang sehat dan aman. Aman dari intervensi antibiotik,” ujarnya.
Menurut Tulus, pengetahuan konsumen mengenai pelanggaran antibiotik ini tergolong awam. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peranan penting. Aturan yang sudah disusun perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat.
”Meski sudah dilarang, kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan antibiotik untuk hewan ini,” katanya.
Kendati demikian, Tulus tetap mengajak konsumen agar mulai kritis dalam memilih bahan pangan, khususnya daging. Konsumen perlu mengenali identifikasi-identifikasi tertentu dalam kemasan, selain tanggal kedaluwarsa dan logo halal.
”Misalnya di dalam (kemasan) telur dan daging ada nomor kontrol veteriner (NKV) atau tidak. Kalau tidak ada, patut kita ragukan,” ungkapnya.