Temuan Kasus Menurun, Pelacakan Kasus TB dengan Covid-19 Perlu Terintegrasi
Temuan kasus tuberkulosis mengalami penurunan karena keterbatasan petugas kesehatan yang kini fokus menangani pandemi Covid-19. Integrasi pelacakan TB dan Covid-19 bisa menjadi solusi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan tuberkulosis yang sempat terhenti selama satu tahun di masa pandemi perlu dikejar melalui perencanaan serta pelaksanaan program yang matang. Penemuan kasus baru pun perlu lebih masif dilakukan melalui integrasi dengan upaya deteksi kasus Covid-19.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah pasien tuberkulosis (TB) yang ditemukan dan diobati pada 2019 mencapai 67 persen dari total estimasi kasus sebesar 845.000 orang. Artinya, masih ada 283.000 orang dengan TB yang belum ditemukan dan diobati sehingga berisiko menjadi sumber penularan. Hal itu semakin mengkhawatirkan karena jumlah kasus TB yang ditemukan pada 2020 menurun menjadi hanya 41,4 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, penemuan kasus TB yang rendah tersebut disebabkan terhambatnya investigasi kontak penularan akibat pemberlakuan pembatasan sosial selama masa pandemi. Selain itu, sebagian petugas kesehatan yang bertugas melacak kasus TB kini lebih fokus dalam upaya penanganan Covid-19.
”Selama pandemi ini, kita mencoba beradaptasi untuk memastikan layanan TB tetap berjalan. Presiden sendiri telah mencanangkan gerakan melawan tuberkulosis dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan penanganan Covid-19 dengan pengendalian tuberkulosis. Jadi, secara bersamaan, selain melacak kasus kontak Covid-19, juga melakukan screening gejala tuberkulosis,” tuturnya dalam kegiatan konferensi pers terkait peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia di Jakarta, Selasa (23/3/2021). Hari Tuberkulosis Sedunia diperingati setiap 24 Maret.
Dari hasil survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan, sebanyak 73 persen tenaga kesehatan menyatakan adanya pengalihan alat pelindung diri untuk pasien TB untuk penanganan Covid-19. Sebanyak 43 persen responden juga menyampaikan monitoring pengobatan pasien TB terganggu selama pandemi. Bahkan, ada sekitar 33 persen responden yang mengatakan pemberian enabler untuk pasien TB resisten obat terhenti.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang tubuh manusia, khususnya paru-paru. Biasanya, orang yang terinfeksi tuberkulosis menunjukkan gejala seperti batuk dan deman yang tidak kunjung sembuh, serta penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Sebagian petugas kesehatan yang bertugas melacak kasus TB kini lebih fokus dalam upaya penanganan Covid-19.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama yang juga pernah menjabat Direktur Penyakit Menular WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) Asia Tenggara menuturkan, kasus tuberkulosis di dunia diperkirakan semakin meningkat selama masa pandemi. Tingkat kematiannya pun diperkiaran meningkat dari 1,4 juta kematian pada 2018 menjadi 1,8 juta kematian pada 2020.
Menurut dia, intervensi yang serius perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tubekulosis ini. Setidaknya pemerintah harus menyiapkan rencana jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, upaya untuk mengejar kembali capaian program yang tidak berjalan pada awal pandemi harus segera dilakukan. Itu terutama pada upaya untuk penemuan kasus baru. Layanan esensial yang sebelumnya terhenti juga perlu dijalankan lagi.
Sebagai intervensi jangka panjang, pemerintah harus bisa mengadopsi inovasi dalam penanganan tuberkulosis. Hal itu, antara lain, dengan menjarangkan lama kunjungan pasien ke rumah sakit dengan memperpanjang jumlah obat yang diberikan.
”Salah satu inovasi lain yang juga bisa dijalankan ialah melalui penanganan terpusat antara TB dan Covid-19. Misalnya pada masyarakat yang memiliki gejala batuk dan demam yang ketika diperiksa negatif Covid-19 sebaiknya langsung dilanjutkan diperiksa untuk TB. Jadi keduanya bisa berjalan bersama-sama sehingga penanggulangan TB di masa pandemi tidak terhenti,” ucap Tjandra.