Tidurlah demi Kesehatan Jiwa dan Ragamu
Pandemi Covid-19 mengubah aktivitas manusia. Perubahan itu memicu lonjakan kasus insomnia di seluruh dunia. Inilah alarm bahwa mental warga dunia sedang tidak baik-baik saja.
Situasi yang menekan selama pandemi Covid-19 berlangsung membuat kesehatan tidur masyarakat dunia memburuk. Ketakutan akan paparan korona yang memaksa manusia mengurung diri di rumah memorakporandakan rutinitas mereka. Pupusnya berbagai rencana dan bayang-bayang ketidakpastian masa depan membuat orang semakin cemas hingga sulit tidur.
”Stressor kehidupan yang seolah tak berhenti-henti memicu munculnya gangguan tidur,” kata konsulen kedokteran jiwa yang juga Kepala Divisi Geriatri, Departemen Psikiatri, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Martina Wiwie S Nasrun dalam webinar menyambut Hari Kesehatan Tidur Dunia, Jumat (19/3/2021).
Selain berbagai masalah psikososial yang memicu gangguan tidur, meningkatnya konsumsi kafein, rokok, dan alkohol selama pandemi juga mengganggu kesehatan tidur. Kondisi itu bertambah rumit pada mereka yang sebelum pandemi sudah mengalami gangguan fisik yang bisa memicu gangguan tidur, seperti sesak atau asma, penyakit jantung, hingga kencing manis.
Insomnia memang menjadi gangguan tidur paling umum terjadi selama pandemi di seluruh dunia hingga disebut coronasomnia atau Covid-somnia. Dikutip dari BBC, 25 Januari 2021, penderita insomnia di Inggris melonjak dari satu per enam penduduk jadi satu dari empat penduduk. Di China, selama puncak karantina wilayah (lockdown), angka insomnia naik dari 14,6 persen jadi 20 persen.
Otak sulit membedakan kapan saatnya bekerja atau istirahat sehingga siang hari selalu mengantuk dan kurang bersemangat, sementara malam yang seharusnya tidur justru senantiasa terjaga.
Di Italia dan Yunani, hampir 40 persen responden yang disurvei mengaku insomnia pada Mei 2020. Sementara pencarian kata insomnia di Google naik 58 persen dibandingkan dengan waktu yang sama sebelum pandemi.
Situasi di Indonesia tidak jauh berbeda. Dokter ahli tidur di Klinik Gangguan Tidur dan Mendengkur RS Mitra Keluarga Kemayoran, Jakarta, Andreas Prasadja, mengatakan, sebelum pandemi, perbandingan pasien insomnia dan henti napas (obstructive sleep apnea/OSA) relatif sama. Namun, selama pandemi, pasien insomnia melonjak hingga rasionya 70 persen dan sisanya kasus henti napas.
Isolasi menjadi penyebab utama munculnya insomnia. Meski teknologi bisa menghubungkan masyarakat dengan orang lain, perubahan pola kegiatan masyarakat benar-benar mengubah rutinitas mereka hingga memicu gangguan tidur dan stres.
”Manusia itu makhluk berirama. Isolasi mengubah irama sirkadian tubuh, mengurangi paparan sinar matahari, dan membuat semua hal dikerjakan di rumah, bahkan di ruang yang sama,” katanya.
Situasi ini banyak dialami pasien dewasa muda yang tinggal di rumah kos atau apartemen tipe studio, yaitu berkegiatan bekerja, belajar, bermain hingga tidur dilakukan di satu tempat. Akibatnya, otak sulit membedakan kapan saatnya bekerja atau istirahat sehingga siang hari selalu mengantuk dan kurang bersemangat, sementara malam yang seharusnya tidur justru senantiasa terjaga.
Namun, rendahnya kesadaran soal kesehatan tidur membuat banyak orang kurang waspada dengan gangguan ini. Saat ke dokter, mereka umumnya hanya mengeluh capek, mengantuk saat siang hari, jenuh, pola hidup yang monoton, atau kurang motivasi. Mereka kurang sadar jika semua persoalan itu bersumber dari buruknya kualitas tidur malam mereka.
Selama pandemi ini, berbagai gangguan tidur yang muncul perlu segera ditangani. Tidur tidak hanya meningkatkan daya tahan tubuh yang penting dalam melawan Covid-19, tetapi juga mendorong manfaat vaksin lebih besar. Mereka yang memiliki tidur berkualitas akan membuat peningkatan antibodi dalam melawan Covid-19 berlangsung lebih cepat dan lebih banyak.
Inisiasi otak
Konsulen saraf dan Ketua Tim Gangguan Tidur RSCM Manfaluthy Hakim mengingatkan pentingnya kesehatan tidur. Tidur merupakan proses aktif yang diinisiasi oleh otak. Tidur dibangkitkan oleh beberapa bagian otak yang kemudian diikuti perubahan fisiologis di seluruh tubuh.
Aktivitas di otak itu akan mendorong tubuh menghasilkan melatonin, hormon yang memicu tidur, serta menyebabkan penurunan kesadaran dan semua fungsi tubuh, termasuk melambatnya denyut jantung, pernapasan, dan metabolisme tubuh.
”Tidur sangat penting karena berfungsi untuk meregenerasi sel tubuh, memberi waktu bagi organ tubuh untuk beristirahat dan menurunkan fungsinya, serta meningkatkan imun tubuh,” katanya. Tidur yang baik penting bagi kesehatan dan produktivitas manusia.
Mereka yang mengalami insomnia, lanjut Martina, umumnya ditandai oleh kesulitan seseorang untuk memulai tidur dan mempertahankan tidurnya. Kesulitan sebagian orang untuk cepat tertidur itu karena otaknya masih aktif. Mereka yang stres dan cemas umumnya akan mengalami gangguan ini akibat otak sulit tenang dan mengkhawatirkan berbagai hal.
Baca juga: Tingkatkan Imunitas Tubuh dengan Tidur Berkualitas
Sementara yang mengalami depresi, umumnya akan sulit tidur nyenyak, terbangun saat dini hari, dan tidak tahu akan berbuat apa. ”Cemas membuat seseorang sulit tertidur. Sebaliknya, sulit tidur juga membuat orang semakin cemas karena memikirkan kesehatannya,” katanya.
Karena itu, Martina menyarankan bagi mereka yang kurang jam tidur pada malam sebelumnya tidak perlu terlalu memikirkan hal itu, apalagi berusaha mengonversi atau menambah jam tidur yang kurang tersebut pada siang hari. Cukup tidur pada jam yang sama di malam berikutnya demi mempertahankan ritme tidur sehari-hari agar otak tidak bingung.
”Orang dengan gangguan tidur dan memiliki kecemasan memiliki risiko mengembangkan berbagai gangguan fisik, seperti hipertensi, jantung, stroke, dan diabetes,” tambahnya.
Terapi bagi mereka yang memiliki gangguan tidur tidak selalu menggunakan obat. Dengan mengatur kesehatan atau higiene tidur atau memperbaiki cara pandang atau pola pikirnya mampu mengurangi kecemasan yang mereka alami hingga membuatnya lebih mudah untuk tertidur.
Selain insomnia, gangguan tidur yang paling sering ditemui di masyarakat adalah henti napas atau OSA. Gangguan ini ditandai dengan mendengkur dan kemudian terdiam seperti tersedak atau tercekik hingga mengalami henti napas dan menghambat pasokan oksigen dalam tubuh.
Kondisi itu sering kali membuat penderitanya terbangun dari tidur karena sesak. Namun, mereka umumnya tidak menyadari kondisi itu hingga akhirnya tidur lagi.
Gangguan ini bisa dialami semua kelompok umum, termasuk anak-anak. Bahkan, kasus termuda henti napas saat tidur ditemukan pada bayi usia delapan bulan. Selain membahayakan, gangguan ini pada anak juga akan menghambat tumbuh kembang mereka.
Selama pandemi, lanjut Andreas, jumlah pasien henti napas relatif stabil. Namun, umumnya datang dalam kondisi sudah cukup parah akibat khawatir berobat dan menunda-nunda memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit. Dalam sejumlah kasus yang ditemuinya, henti napas itu bisa berlangsung selama 30 detik, 1 menit, hingga 3 menit.
”Bagi ras Asia, OSA ini rata-rata karena bawaan orangtua, sedangkan ras Kaukasia karena kegemukan atau obesitas yang dialaminya,” katanya.
Konsulen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM-FKUI Tirza Z Tamin mengatakan, terapi bagi penderita OSA bisa dilakukan dengan operasi untuk menghilangkan sumbatan yang terbentuk di saluran napas atau melebarkan jalan napasnya. Namun, OSA juga bisa diatasi dengan tindakan non-operasi melalui sejumlah latihan untuk mengurangi gejala.
Baca juga: Kenali Faktor Penyebab Gangguan Tidur
”Latihan yang disusun berdasarkan rehabilitasi medik ini bisa mengurangi keparahan OSA, mengurangi kantuk di siang hari, memperbaiki metabolisme tubuh, hingga meningkatkan kualitas hidup mereka,” katanya. Bentuk latihan yang diberikan bisa berupa kegiatan aerobik, peregangan otot, senam mulut, hingga relaksasi.
Dengan penanganan lebih awal, berbagai gangguan tidur itu bisa diatasi lebih baik. Namun, kurangnya pemahaman soal manfaat kesehatan tidur membuat gangguan tidur sering diremehkan.
Padahal, tidur pada waktu yang tepat dengan durasi dan kedalaman yang baik tidak hanya penting bagi kesehatan fisik di masa depan, tetapi juga kesehatan mental, kualitas sumber daya manusia, dan produktivitas bangsa.