Menjaga Kualitas Tidur, Menjaga Kesehatan Mental Remaja
Selama pandemi, remaja menjadi kelompok populasi yang paling terabaikan. Namun banyak yang tak menyadari, remaja adalah kelompok yang paling menderita jiwanya gara-gara korona.
Selama pandemi, remaja menjadi kelompok populasi yang paling terabaikan. Mereka sering dituding susah diatur, sulit menaati protokol kesehatan, hingga abai dengan kesehatan diri dan orang di sekitarnya. Namun banyak yang tak menyadari, remaja adalah kelompok yang paling menderita jiwanya gara-gara korona.
Di masa peralihan dari anak-anak menjadi orang dewasa, remaja seharusnya banyak berkumpul bersama teman. Membangun hubungan, meluaskan pengetahuan, mematangkan emosi dan pikiran, hingga menyiapkan masa depan mereka. Namun pandemi justru mengurung mereka dalam rumah dengan penuh ketidakpastian.
Memburuknya ekonomi dan melonjaknya pengangguran membuat mereka bertanya-tanya akan nasib mereka di masa depan. Hilangnya pembelajaran (learning loss) memunculkan keraguan atas kesiapan mereka menghadapi persaingan yang pasti akan makin ketat seiring terbatasnya lapangan kerja.
Kebosanan tinggal di lingkungan yang sama dalam waktu panjang, tidak punya kamar pribadi, keuangan keluarga yang terganggu, hingga konflik dalam rumah tangga membuat sebagian remaja turun ke jalan. Selama pandemi, banyak remaja bersepeda keliling kota, adu lari di jalanan, hingga nongkrong tanpa tujuan sampai dinihari.
Dampak buruk dari kurang tidur sudah sangat mapan, mulai dari kecenderungan menarik diri dari teman dan keluarga, motivasi rendah, hingga mudah tersinggung.
Mereka yang bertahan di rumah pun menghadapi situasi yang tak kalah menekan. Menumpuknya tugas sekolah memaksa mereka berjaga hingga larut malam. Sulitnya memahami pelajaran yang disampaikan secara daring membuat mereka makin terbebani hingga mengacaukan jadwal tidurnya.
Namun banyak yang melampiaskan stres mereka dengan mengakrabi gawai yang tanpa disadari bisa memicu stres baru. Bermain video gim daring, mengakses media sosial, atau bergabung di forum obrolan daring sampai lewat tengah malam hingga makin merusak jam biologis tubuh mereka.
Hilangnya keteraturan hidup dan berkurangnya waktu tidur pada ujungnya justru membuat banyak remaja makin mudah stres, cemas, dan mengalami depresi yang memengaruhi suasana hati, kemampuan belajar dan produktivitas mereka. Konsumsi rokok dan alkohol yang meningkat selama pandemi, makin memperburuk kesehatan mereka.
Kurang tidur
Bagi remaja, tidur malam yang cukup adalah investasi penting bagi kesehatan mental dan fisik mereka saat ini dan di masa depan. Remaja umur 12-18 tahun disarankan tidur 8-10 jam per malam, sedikit lebih banyak dibanding penduduk dewasa umur 18-64 tahun yang diharapkan tidur 7-9 jam semalam.
Remaja umumnya baru tertidur jelang tengah malam. Akibatnya, bangun mereka pun lebih lambat. Kondisi itu, seperti dikutip dari The Raising Children Network, Australia, terjadi karena remaja mengeluarkan melatonin, hormon yang mengatur pola tidur, menjelang tengah malam hingga berdampak pada jam biologis atau irama sirkadian tubuh mereka. Selain itu, pematangan otak selama masa pubertas juga membuat mereka terjaga lebih lama.
Namun pandemi mengacaukan waktu tidur mereka hingga membuat remaja rentan mengalami gangguan kecemasan, stres, dan depresi. Survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat yang dipublikasikan Agustus 2020 menunjukkan 62,9 persen orang dewasa muda berumur 18-24 tahun di negara itu mengalami kecemasan dan depresi, paling tinggi di antara kelompok populasi lain.
Baca juga: Ayo Tidur Satu Jam Lagi
Di Indonesia memang belum ada analisis gangguan mental selama pandemi berdasar kelompok umur. Namun, data swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia April-Oktober 2020 menunjukkan 68 persen responden mengalami masalah psikologis selama pandemi, berupa kecemasan, depresi, dan trauma psikologis.
Gejala paling umum depresi pada remaja adalah sulit tidur tepat waktu dan waktu tidur yang kurang. Gejala ini juga berlaku pada orang dewasa. Seperti dikutip dari BBC, 8 Maret 2021, sebanyak 92 persen orang dewasa yang depresi mengeluh sulit tidur. Namun yang sering tidak disadari, sulit tidur bisa membuat depresi makin parah.
Situasi itu membuat gangguan tidur dan depresi saling berkelindan. Selelah apapun fisik seseorang, jika pikiran dan suasana hatinya tidak tenang dan diliputi berbagai kekhawatiran, mereka tetap akan sulit untuk memulai tidur dan tidur dengan pulas.
Bagi remaja yang mental dan pikiran mereka masih dalam proses pematangan, situasi itu akan berdampak besar bagi kesehatan mereka. Studi Faith Orchard dan rekan di Journal of Child Psychology and Psychiatry, Oktober 2020 menemukan remaja umur 15 tahun yang memiliki kualitas tidur buruk tetapi tidak mengalami depresi, berpeluang lebih besar mengalami kecemasan dan depresi saat berumur 17 tahun, 21 tahun, dan 24 tahun dibanding rekan mereka yang tak punya masalah tidur.
Situasi serupa juga terjadi pada orang dewasa. Studi meta-analisis dari 34 studi terhadap 150.000 responden yang dilakukan Liqing Li dan kawan-kawan di BMC (BioMed Central) Psychiatry, 5 November 2016, menunjukkan orang yang memiliki masalah tidur berpotensi mengalami depresi dua kali lebih besar dibandingkan yang tidurnya cukup.
Tentu tidak semua orang yang insomnia akan mengalami depresi di masa depan. Namun orang insomnia umumnya memiliki kekhawatiran dengan kondisi mereka di masa depan hingga memicu terjadinya kecemasan, stres, dan depresi.
Karena itu, persoalan kurang tidur harus menjadi perhatian serius. Dampak buruk dari kurang tidur sudah sangat mapan, mulai dari kecenderungan menarik diri dari teman dan keluarga, motivasi rendah, hingga mudah tersinggung. Semua itu berdampak pada kualitas hubungan sosial seseorang hingga meningkatkan risiko depresi yang lebih besar.
Secara biologis, kurang tidur juga meningkatkan peradangan dalam tubuh yang memicu sejumlah gangguan mental. Menurut Russel Foster, ahli saraf di Universitas Oxford Inggris, gangguan tidur tidak hanya ditemukan pada orang depresi, tapi juga pada penderita gangguan bipolar dan skizofrenia.
Baca juga: Ingat, Tubuh Butuh Istirahat Cukup
Mereka umumnya mengalami gangguan irama sirkadian tubuh yang membuatnya tidur dan bangun pada waktu yang tak menentu. Gangguan ini bisa membuat penderitanya terjaga sepanjang malam dan tertidur saat hari terang.
Psikolog Universitas Oxford Daniel Freeman berharap masalah tidur diberikan prioritas tertinggi dalam perawatan kesehatan mental. Gangguan tidur ini umum ditemukan pada berbagai penderita gangguan mental, namun seringkali kurang diperhatikan meski kurang tidur relatif mudah ditangani.
Saling terkait
Meski saling terkait, hubungan antara kesehatan tidur dan kesehatan mental juga sangat komplek. Studi Shirley Reynolds dan kawan-kawan di Journal of Affective Disorders, 1 Februari 2020, menemukan saat depresi berhasil ditangani, nyatanya tidak otomatis gangguan tidurnya pun teratasi. Karena itu, gangguan tidur dan depresi harus ditangani berbeda dan terpisah.
Perawatan psikologis yang mengurangi pikiran negatif dan memberikan rasa tenang bisa membuat seseorang lebih mudah tidur dan memiliki tidur yang berkualitas. Upaya itu bisa didukung sengan sejumlah kegiatan lain seperti memaparkan diri dengan sinar matahari pagi, mengatur jam olahraga dan makan hingga beberapa jam sebelum tidur, atau menciptakan kamar tidur yang nyaman dan menenangkan.
Sering munculnya gangguan tidur dan gangguan mental secara bersamaan terjadi karena keduanya memiliki penyebab yang sama. Kedua gangguan itu bisa dipicu oleh pengalaman traumatis, berpikir berlebihan, hingga faktor genetik yang memengaruhi produksi serotonin (hormon yang memberi rasa nyaman dan tenang) dan dopamin (hormon yang memicu rasa senang).
Insomnia dan kesehatan mental juga bisa saling memperburuk. Perasaan tertekan membuat seseorang susah tidur. Sebaliknya ketika terjadi gangguan tidur maka seseorang merasa lebih tertekan. Namun bisa jadi pula gangguan tidur bukanlah penyebab depresi, tetapi sinyal awal atas kondisi mental yang tidak baik-baik saja.
Karena itu, gangguan masalah tidur yang terus menerus pada remaja dan orang dewasa perlu ditangani serius demi menjaga kesehatan mental mereka. Intervensi tidur dianggap jauh lebih mudah dan memiliki peluang berhasil yang lebih besar dibanding penanganan gangguan mental. Intervensi itu tidak hanya membantu mereka tidur lebih nyenyak, tapi juga mengurangi risiko atau mencegah potensi gangguan mentalnya.
Untuk itu, pandangan yang masih menyepelekan insomnia atau gangguan tidur perlu segera di atasi. Dalam budaya timur di kalangan masyarakat Asia, anggapan makin kurang jam tidur makin hebat dan makin banyak jam tidur makin malas masih tertanam kuat. Edukasi kesehatan tidur perlu terus dilakukan karena tidur sama pentingnya dengan pola makan dan minum yang sehat.
Baca juga: "Why We Sleep": Hidup Panjang Dimulai dari Tidur Panjang
Memang tidur dengan waktu yang cukup tidak akan serta-merta menyelesaikan berbagai persoalan mental yang terjadi. Namun, dengan tidur yang lebih baik pada remaja, dampaknya tidak hanya meningkatkan kuliats sumber daya manusia, tetapi juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mengurangi beban penyakit fisik dan mental di kemudian hari, dan pastinya membuat masyarakat lebih bahagia.