Percepatan Vaksin Covid-19 Domestik Tetap Penuhi Kaidah dan Standar Penelitian
Dukungan pada pengembangan vaksin dari dalam negeri agar tetap berpegang pada kaidah penelitian dan pengujian vaksin. Keamanan, mutu, dan efikasi dari vaksin yang dikembangkan tetap diutamakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan vaksin Covid-19 domestik perlu didorong lebih cepat, baik pada proses vaksin Merah Putih maupun vaksin Nusantara. Meski ada percepatan, kaidah penelitian dan pengujian vaksin tetap harus dipenuhi guna memastikan keamanan, mutu, dan efikasi dari vaksin tersebut.
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, vaksin dalam negeri, baik vaksin Merah Putih maupun vaksin Nusantara, diharapkan bisa menjadi kebanggaaan di tengah berbagai kesulitan dalam menangani pandemi Covid-19. Melalui kedua vaksin itu, RI bisa membuktikan kedaulatan serta kemandirian bangsa di bidang kesehatan.
”Yang sudah berkembang saat ini adalah vaksin Nusantara, tetapi mengapa sepertinya Badan POM tidak ada keinginan untuk mengeluarkan PPUK (persetujuan pelaksanaan uji klinik) tahap kedua,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR bersama Menteri Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, dan peneliti dari RSUP Dr Kariadi, Rabu (10/3/2021) di Jakarta.
Apakah pada Januari 2020 itu di Amerika sudah ada virus SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) yang masuk? Sementara pandemi saja baru mulai. (Lucia Rizka Andalucia)
Menurut Emanuel, kemauan politik dari semua pihak, terutama Badan POM, harus kuat untuk mendukung pengembangan vaksin dalam negeri. Jangan sampai Indonesia tidak ramah pada penelitian dalam negeri, sementara produk dari luar negeri dipermudah untuk masuk ke Tanah Air.
Independensi Badan POM
Kepala Badan POM Penny K Lukito menuturkan, dukungan penuh akan diberikan pada seluruh penelitian yang dikembangkan peneliti dalam negeri. Meski begitu, seluruh penelitian harus tetap memenuhi kaidah dalam proses penelitian, termasuk kaidah uji klinik serta aspek etika pada penelitian. Ia memastikan independensi BPOM dalam menentukan pendampingan dan review atas penelitian di luar negeri ataupun dalam negeri.
Terkait dengan vaksin Nusantara, Penny menilai, belum diterbitkannya PPUK tahap kedua disebabkan masih adanya data yang belum dipenuhi para peneliti vaksin tersebut. Sebelumnya, PPUK tahap pertama sudah diberikan meskipun belum ada uji praklinik pada hewan yang dilakukan di Indonesia. Karena itu, PPUK tahap pertama diberikan dengan syarat dilakukan pemantauan ketat dengan batasan subyek peneliti hanya tiga orang.
”Data yang diserahkan peneliti ke Badan POM itu berubah-ubah. Tentu itu bisa memengaruhi aspek validitas dari suatu penelitian. Kami pun sudah meminta para peneliti segera menyelesaikan data yang dibutuhkan. Direncanakan pula pada 16 Maret (2021) akan dilakukan hiring antara Badan POM dan para peneliti vaksin Nusantara,” papar Penny.
Vaksin Nusantara diteliti oleh tim peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, RSUP Dr Kariadi Semarang, Universitas Diponegoro, dan AIVITA Biomedical dari Amerika Serikat. Pendanaan dari penelitian vaksin berbasis sel dendritik ini didukung oleh Balitbangkes dan AIVITA.
Pemrakarsa vaksin Nusantara yang juga mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuturkan, hasil uji praklinik pada binatang mengenai vaksin dendritik ini sudah dilakukan pihak ketiga di AS. Karena itu, uji praklinik tersebut tidak lagi dilakukan di Indonesia karena hal itu sudah dikerjakan dan terbukti keamanannya. Hasilnya pun sudah dikirimkan ke BPOM.
Meski begitu, Direktur Registrasi Obat BPOM Lucia Rizka Andalusia menyampaikan, hasil uji praklinik diterima pada 26 Februari 2021. Sementara uji klinik tahap pertama sudah dilakukan pada 23 Desember 2020 dengan adanya PPUK tahap pertama.
”Namun, yang dipertanyakan pengujian pada hewan yang dilakukan di Amerika itu dilakukan pada Januari 2020. Apakah pada Januari 2020 itu di Amerika sudah ada virus SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) yang masuk? Sementara pandemi saja baru mulai,” tuturnya.
Selain itu, Penny menuturkan, ada sejumlah data yang perlu dikaji lebih dalam. Dari 28 subyek penelitian, dua subyek mengalami kenaikan titer antibodi, sementara delapan subyek justru mengalami penurunan titer antibodi dan lainnya stabil.
”Karena itu, kami mempertanyakan bagaimana pengukurannya sehingga dari sisi validitas itu perlu dipertanyakan. Selain itu, juga terkait data efek samping yang juga berubah-ubah,” ucapnya.
Kesalahan data
Anggota tim peneliti vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, mengatakan, perubahan data mengenai efek samping disebabkan adanya kesalahan pada data yang dikirimkan pertama kali karena ternyata tidak semua yang dilaporkan merupakan efek samping dari vaksin. ”Data itu terus kami perbaiki agar bisa sesuai dengan yang dibutuhkan,” katanya.
Kepala LBM Eijkman Amin Soebandrio menilai, persoalan komunikasi serta perbedaan persepsi antara BPOM dan para peneliti dari vaksin Nusantara menjadi penyebab belum disepakatinya kelanjutan uji klinis tahap kedua.
Karena itu, pertemuan klarifikasi yang mempertemukan kedua pihak amat dibutuhkan. Penyerahan data dan dokumen dari para peneliti ke BPOM juga harus diserahkan sesuai dengan protokol yang harus dijalani.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menuturkan, dukungan penuh diberikan pada seluruh pengembangan vaksin dalam negeri, termasuk vaksin Nusantara. Dia berharap pula seluruh proses untuk pengujian bisa dilakukan secara optimal dan sesuai kaidah yang berlaku.
”Kami akan mendukung vaksin ini 100 persen apabila nanti di fase kedua berjalan sesuai dengan kaidah. Namun, jika kemudian tidak berjalan karena tidak adanya persetujuan dari Badan POM, pengeluarannya untuk pembiayaan bisa dihentikan,” ujarnya.