Relawan Informasi Pandemi Tanpa Tanda Jasa
Di tengah derasnya informasi keliru di media sosial terkait pandemi Covid-19, terdapat orang-orang yang rela menyisihkan waktu dan energi demi meluruskan informasi dan memerangi hoaks. Mereka berjibaku tanpa pamrih.
Betapa runyam penanganan pandemi di era post-truth ini. Benar dan salah kabur oleh sentimen politik, agama, etnis, hingga kepentingan ekonomi. Sejumlah orang pun merasa terpanggil untuk menjernihkan informasi, bersih dari beragam kepentingan pribadi.
Orang-orang itu datang dengan berbagai kapasitas dan keahlian, mulai dari ibu rumah tangga, dokter ahli, praktisi teknologi informasi, hingga mahasiswa perantauan di negeri orang. Mereka tak patah arang menghadapi berbagai tantangan bahkan serangan.
Salah satu yang hadir untuk menjernihkan informasi mengenai pandemi adalah situs KawalCovid19.id. Situs ini menjadi pionir portal informasi khusus Covid-19 di negeri ini. Bahkan, lebih dulu muncul sebelum situs resmi pemerintah. Ainun Najib (35) membuat situs berbasis data dan fakta itu bersama rekan-rekannya yang pernah bersama-sama menggagas KawalPemilu.org pada 2019. Saat itu pemilu juga menjadi ladang subur bagi hoaks.
Saat gagasan KawalCovid19.id itu lahir, lelaki kelahiran Gresik, Jawa Timur, itu sudah 17 tahun bermukim di Singapura sebagai praktisi teknologi informasi. Ia tergerak membuat situs KawalCovid19.id karena di awal pandemi, Januari 2020, belum ada sumber informasi utama untuk Covid-19 di Indonesia. Bahkan, masih banyak pihak yang meragukan pandemi itu akan sampai ke Tanah Air. Misi utamanya adalah menjernihkan informasi dan menyampaikan data dan fakta obyektif soal pandemi Covid-19.
Tanpa dukungan dana dari pihak lain, Ainun sempat menanggung biaya operasional situs itu secara pribadi. Bahkan, ia menerima tagihan kartu kredit hingga sekitar Rp 100 juta selama enam bulan pertama situs itu beroperasi.
Baca juga : Narasi Antivaksin di Medsos Diduga Terkoordinasi
Ia mengatakan, hal itu terjadi akibat keteledorannya lalai dalam mengurus fasilitas gratis awan penyimpanan digital (cloud) yang dia peroleh dari Microsoft. Kelalaian ini tak lepas dari banyaknya kesibukan untuk pengoperasian KawalCovid19.id di awal pandemi.
Karena tidak memungkinkan lagi menanggung biaya sebesar itu, Ainun mengajukan proposal bantuan pembiayaan operasional situs KawalCovid19.id yang kemudian diterima Indika Foundation. Hal ini cukup melegakan beban finansial keluarganya.
Mendapat tekanan
Tantangan berat lain muncul dalam bentuk serangan fitnah dan perundungan digital. Di awal tahun 2020, misalnya, ketika pandemi baru mulai, Ainun sudah jadi sasaran fitnah dengan dituding sebagai makelar alat pengetesan Covid-19. Padahal, saat itu ia hanya berusaha memberikan informasi ketersediaan alat uji Covid-19 di Singapura agar dapat digunakan di Indonesia.
”Dulu, kan, alat tes Covid-19 itu sempat sulit dicari di awal pandemi. Saya berusaha mencari informasi di Singapura ini mungkin ada karena saat itu informasinya Singapura memproduksi. Nah, saya dapat informasi dan saya teruskan informasi itu, tetapi kemudian saya dan rekan-rekan di Singapura ini disebut makelar alat uji Covid,” ujar Ainun Najib, dari Singapura, Rabu (17/2/2021).
Tingginya tekanan memaksa Ainun tak lagi vokal bersuara seperti awal 2020. Ia bahkan mengunci akun Twitter miliknya selama beberapa bulan. Saat ini, akun itu telah ia buka kembali. Meski begitu, ia kemudian memilih untuk tidak terlalu banyak bersuara. ”Ada tekanan, saya tidak mau bilang tekanan itu dari siapa. Sekarang saya pilih twit emoticon saja,” kata Ainun.
Baca juga: Ratusan Berita Hoaks Dilaporkan Pascavaksinasi Covid-19 Perdana di Jabar
Koordinator sukarelawan KawalCovid19.id, Elina Ciptadi (44), mengatakan, saat ini, dari sekitar 20 sukarelawan, jumlah sukarelawan KawalCovid.com terus berkembang menjadi 700 orang dalam satu bulan. Mereka terdiri dari beragam profesi, seperti ahli epidemiologi, jurnalis, penulis, hingga para dokter yang meluangkan waktu dan tenaga di tengah kesibukan harian mereka di perantauan. Seperti Elina yang meluangkan waktu di tengah kesibukannya bekerja di bidang teknologi informasi dan mengurus keluarga di Singapura.
Dalam menjalankan KawalCovid19.id, ada satu tim khusus yang setiap hari memelototi data Covid-19 dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pekerjaan yang tidak mudah karena begitu banyak data yang harus diolah.
Di Semarang, Jawa Tengah, ibu rumah tangga, Margaretha Diana (40), bergabung sebagai sukarelawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) memanfaatkan ”the power of emak-emak” untuk memerangi hoaks. Eta, demikian ia dipanggil, meyakini bahwa ibu rumah tangga atau ”emak-emak” punya peran besar dalam pencegahan hoaks. Selain memiliki suara yang pasti didengar di ruang keluarga, emak-emak juga punya pergaulan luas dan dinamis dalam keseharian.
”Emak-emak itu, kan, ngobrol di pasar, di tukang sayur, antar jemput anak di sekolah, arisan, pengajian. Kalau informasi yang diperolehnya hoaks, yang dijadikan bahan obrolan hoaks juga. Tetapi kalau diedukasi dan dilatih, obrolan mereka nanti jadi positif,” kata Eta.
Baca juga : Menolak Vaksin karena Percaya Hoaks
Ia terus aktif mematahkan hoaks meskipun kadang mendapat respons tak bersahabat. ”Ada yang marah, tersinggung, ada yang ngatain saya keminter (sok pintar). Ada yang merasa sudah senior karena usianya lebih tua jadi merasa lebih tahu. Ya, tetapi kalau mereka menyebarkan hoaks masa tidak kita tegur? Kan agar itu tidak dia sebarkan lagi,” kata Eta.
Beragam reaksi buruk sudah pernah ia terima. Eta pernah dikucilkan di lingkungannya karena beberapa tetangga membuat grup Whatsapp tanpa mengundangnya. Ada juga tetangga yang menyuruh anak-anak mereka menjauhi anak-anak Eta karena tersinggung saat ditegur soal hoaks. Namun, Eta tak menyerah untuk tetap memperjuangkan informasi yang benar.
Terpanggil
Sementara itu, dari Jepang, Adam Prabata (29), kandidat Ph.D di Kobe University, juga tak lelah menyuarakan informasi yang benar di tengah kesibukannya menyelesaikan kuliah di ”Negeri Sakura”. Dokter yang pernah bertugas di RS Permata, Depok, itu aktif membuat konten edukasi kesehatan soal Covid-19 di akun Instagram pribadinya, @adamprabata.
Kontennya didominasi diagram dan gambar serta bahasa yang mudah dipahami. Ia memulai hal itu pada 4 Maret 2020, dua hari setelah ada kasus positif perdana di Indonesia. Saat ini di akunnya sudah ada 224 konten dengan pengikut 138.000 akun.
Adam menceritakan, ia merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu ketika melihat rekan-rekannya dokter dan tenaga kesehatan berjibaku di garis terdepan di berbagai rumah sakit dalam pandemi ini. ”Di Jepang, saya merasa tidak bisa ngapa-ngapain, sementara teman-teman di Indonesia bisa langsung turun tangani pasien. Terus saya mencari apa yang bisa saya lakukan dan yang bisa dijangkau dari Jepang ini, ya, dari media sosial,” kata Adam.
Ketika kontennya tak senada dengan pernyataan resmi pemerintah, dia dianggap sebagai oposisi dan diserang warganet pembela pemerintah. Sebaliknya, saat sepakat dengan kebijakan pemerintah, ia akan diserang kubu yang berseberangan dengan pemerintah. ”Kalau masalah dituduh-tuduh saya sudah kenyang. Dari dibilang anggota elite global, suruhan WHO, itu sudah banyak banget. Antek vaksin dan antek Bill Gates. Wah, sudah enggak kehitung,” ucap Adam.
Baca juga : Hoaks Merajalela di Masa Pandemi
Namun, ia tak patah arang. Berpegang pada informasi dari sumber-sumber resmi dan kredibel, antara lain Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), dan berbagai jurnal ilmiah tentang kesehatan, Adam tak berhenti membagikan informasi.
Menurut Adam, pemerintah sudah cukup responsif menyediakan informasi resmi soal edukasi kesehatan dan penangkalan hoaks di berbagai situs resmi lembaga negara. Namun, hal itu belum memadai di tengah banjir informasi atau infodemi ini.
Mafindo mencatat, jumlah hoaks dan informasi menyesatkan pada 2020 sebanyak 2.298 konten yang didominasi oleh hoaks terkait Covid-19. Jumlah ini menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah media digital di Indonesia Di tengah kian buramnya kebenaran karena masifnya hoaks, para sukarelawan ini hadir tanpa tanda jasa.