Uji Acak Evaluasi Terapi Pengobatan Covid-19 Akan Dilakukan di Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bergabung dalam penelitian internasional untuk bersama-sama melakukan penelitian uji acak evaluasi terapi pengobatan Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan melakukan penelitian uji acak evaluasi terapi Covid-19 untuk menguji keamanan dan efikasi klinis pengobatan Covid-19. Hasil dari studi berskala internasional ini diharapkan dapat menjadi upaya keterlibatan Indonesia untuk pengembangan obat ataupun penanganan Covid-19 di dunia.
Uji acak evaluasi terapi Covid-19 (the randomised evaluation of Covid-19 therapy/ Recovery) ini dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Oxford University. Studi yang sama juga telah dilakukan di Inggris dengan melibatkan 37.000 pasien dari 178 lokasi di Inggris dan Nepal.
Peneliti utama studi Recovery di Indonesia, Erni Juwita Nelwan, mengemukakan, belum ditemukannya obat yang tepat dalam penanganan Covid-19 menjadi latar belakang dilakukannya studi Recovery di dunia. Tujuan utama studi ini, yaitu untuk menguji keamanan dan efikasi klinis pengobatan Covid-19 dengan menggunakan obat yang sudah ada ataupun yang baru ditemukan.
Kementerian Kesehatan menyambut baik upaya yang dilakukan untuk menemukan alternatif terbaik dalam penatalaksanaan pasien Covid-19 di Indonesia. (Slamet)
”Penelitian ini bersifat pragmatis dan adaptif sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu membebani fasilitas pelayanan kesehatan di lokasi penelitian. Sementara pada saat bersamaan, bisa juga merekrut pasien dalam jumlah yang besar,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (19/2/2021).
Studi Recovery memiliki sejumlah kriteria kelayakan subyek, antara lain pasien telah terkonfirmasi positif Covid-19, menjalani rawat inap, dan tidak memiliki riwayat medis yang membahayakan. Jumlah subyek yang direncanakan sebanyak 350 pasien di tiga lokasi uji klinis, yaitu RS Metropolitan Medical Centre (Jakarta) dan RSU Martha Friska (Medan). Sementara satu lokasi lainnya di RS Hasan Sadikin (Bandung) saat ini masih dalam proses peninjauan oleh Komite Etik FKUI.
Adapun sejumlah hal yang diamati, yaitu penyebab kematian pada hari ke-28 setelah randomisasi, lama rawat inap, kebutuhan dan durasi untuk ventilasi, terapi penggantian fungsi ginjal, serta kardiak aritmia atau keabnormalan denyut jantung.
Erni menjelaskan, studi Recovery yang sebelumnya dilakukan di Inggris telah menghasilkan rekomendasi penting untuk penanganan ataupun perawatan Covid-19. Rekomendasi tersebut juga digunakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi lainnya.
Rekomendasi itu, di antaranya, yakni pengobatan Covid-19 dengan deksametason dan tocilizumab—yang keduanya merupakan obat radang—dapat menurunkan risiko kematian pada pasien rawat yang membutuhkan saturasi oksigen. Sebaliknya, obat-obatan, seperti hidroksiklorokuin, lopinavir-ritonavir, azitromisin atau pemberian terapi plasma konvalesen tidak menurunkan risiko kematian.
Memperbaiki layanan kesehatan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Balitbang Kemenkes) Slamet mengatakan, keikusertaan Indonesia dalam uji Recovery merupakan salah satu langkah memperbaiki upaya pelayanan kesehatan dan menurunkan angka kematian Covid-19 di Indonesia.
”Kolaborasi uji klinis juga sangat penting untuk membuat kita turut berkontribusi. Kementerian Kesehatan menyambut baik upaya yang dilakukan untuk menemukan alternatif terbaik dalam penatalaksanaan pasien Covid-19 di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Slamet, saat ini Balitbang Kemenkes juga tengah melakukan sejumlah rangkain uji klinis terkait efikasi pengobatan untuk pasien Covid-19. Sejumlah kelompok obat yang digunakan dalam terapi Covid-19, yaitu obat antiviral, imunomodulator, interleukin inhibitor, dan obat dari produk darah, seperti plasma konvalesen, IVIG, serta hiperimunoglobulin.
”Dengan banyaknya penelitian ini tentu kita berharap dapat meningkatkan penemuan atau metode dalam mengatasi Covid-19. Hal ini dalam rangka mencari obatan-obatan baru yang benar-benar cocok dan sesuai dengan bukti obat terbaik.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, BPOM selalu mendukung berbagai penelitian, terutama uji klinis terkait obat dan vaksin menanggulangi pandemi Covid-19. Studi Recovery oleh FKUI juga menjadi upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan penelitian dan uji klinis.
”Diharapkan, ini menjadi pengembangan untuk meningkatkan industri farmasi kita sehingga akses obat ataupun vaksin dapat semakin luas dan mandiri. Studi yang bersifat internasional ini juga menjadi keterlibatan bangsa kita untuk pengembangan obat di dunia. Semakin banyak studi yang dilakukan akan meningkat pula kualitas uji klinis dan penelitian kita,” katanya.