Pemberian terapi konvalesen telah menjadi gerakan di Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa terapi ini masih berupa uji klinis yang membutuhkan kehati-hatian agar tidak membahayakan pasien dan menimbulkan mutasi virus.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Plasma penyembuhan telah menjadi gerakan solidaritas dan pemberi harapan melawan Covid-19. Namun, selain manfaatnya yang masih menjadi perdebatan, riset terbaru menunjukkan, pemberian terapi ini yang tidak tepat bisa memicu mutasi virus korona jadi lebih menular.
Penggunaan plasma konvalesen atau plasma penyembuhan dalam pencegahan dan pengobatan infeksi penyakit menular telah dilakukan lebih dari 100 tahun. Garroud O dan tim dalam kajiannya di jurnal Transfussion Clinique et Biologique edisi Januari 2016 menyebutkan, plasma penyembuhan telah digunakan saat pandemi flu Spanyol (H1N1) pada 1917–1918 dan diterapkan ketika epidemi virus mengancam populasi rentan, seperti saat wabah Ebola di Afrika Barat pada 2013-2015.
Dengan reputasi ini, donor plasma darah penyintas yang sudah sembuh dicoba untuk menyembuhkan pasien Covid-19. Terapi ini pun menjadi salah satu harapan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Bahkan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah meresmikan Gerakan Nasional Donor Plasma Konvalasen pada 18 Januari 2021, sebagai salah satu cara untuk pengobatan pasien Covid-19.
Belum ada negara yang menyatakan ini sebagai terapi standar. Di Indonesia, kita masih uji klinis sejak April 2020 dan masih butuh sampel lebih banyak.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah mengeluarkan izin pengembangan plasma penyembuhan ini sejak Juni 2020. Demikian halnya, Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat (FDA) mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk plasma penyembuhan ini pada Agustus 2020 lalu.
Akan tetapi, sejumlah kajian terbaru menunjukkan efektivitas plasma penyembuhan mulai diragukan, terutama bagi pasien dengan kondisi berat atau kritis. Misalnya, uji klinis plasma penyembuhan di Argentina yang dipublikasikan di jurnal The New England Journal of Medicine (NEJM) pada 25 November 2020 menyimpulkan, tidak ada perbedaan signifikan dalam status klinis atau kematian antara pasien yang diobati plasma penyembuhan dan mereka yang menerima plasebo. Dalam kajian ini, pasien yang menjalani terapi dalam kondisi berat.
Kajian terpisah oleh Anup Agarwal, dari Clinical Trial and Health Systems Research Unit, Indian Council of Medical Research, India, dan tim di jurnal British Medical Journal (BMJ) pada 22 Oktober 2020 juga menyimpulkan, uji klinis penggunaan plasma pemulihan juga tidak menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 yang parah.
Martin Landray, kepala penyelidik dan profesor kedokteran dan epidemiologi di Nuffield Department of Population Health, University of Oxford, yang melakukan uji klinis plasma penyembuhan di Inggris, seperti dikutip BBC, juga mengatakan, sejauh ini hasil penyelidikan tidak menunjukkan manfaat signifikan dari plasma konvalesen untuk pasien.
Bahkan, terapi plasma penyembuhan yang diberikan secara tidak tepat terbukti bisa memicu mutasi baru SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Ini, misalnya, dilaporkan Steven A Kemp, peneliti infeksi dan imunologi dari University College London dan tim di jurnal Nature pada 5 Februari 2021. Disebutkan, seleksi yang kuat terhadap SARS-CoV-2 di tubuh pasien selama terapi plasma penyembuhan telah memicu munculnya varian virus baru.
Pasien merupakan penderita kanker yang juga terkena Covid-19 dan berjuang selama 102 hari sebelum akhirnya meninggal. Selama 57 hari pertama, pasien ini mendapat terapi remdesivir sebelum kemudian mendapatkan donor plasma penyembuhan.
Varian virus baru yang terbentuk setelah pemberian plasma penyembuhan itu memiliki ciri penghapusan asam amino ΔH69/ΔV70 di bagian protein paku (spike protein) yang menjadikannya dua kali lebih menular dibandingkan dengan virus aslinya.
”Meskipun plasma penyembuhan tampaknya tidak membahayakan pasien, itu tidak memberikan manfaat jelas,” kata penulis senior paper ini, Ravindra Gupta, profesor mikrobiologi klinis di Cambridge Institute of Therapeutic Immunology and Infectious Disease. Karena itu, Gupta menyarankan, terapi ini harus digunakan dengan sangat hati-hati, terutama kepada orang dengan kondisi kekebalan kronis. Ini karena penggunaan plasma darah yang disumbangkan dari penderita Covid-19 telah memberi tekanan virus untuk berubah.
Hati-hati
Menurut Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono, terdapat juga studi yang menunjukkan adanya manfaat dari plasma konvalesen ini. Misalnya, studi yang dipublikasikan di NEJM pada 6 Januari 2021.
Dalam studi ini disebutkan, pemberian plasma konvalesen terhadap pasien Covid-19 dewasa tua dengan gejala ringan mengurangi risiko keparahan. Syaratnya, donor plasma ini harus diberikan pada 72 jam pertama menggunakan plasma yang memiliki titer tinggi.
”Pada 4 Februari 2021, FDA juga telah menyempitkan EUA-nya, yaitu hanya boleh diberikan kepada pasien di awal gejala menggunakan donor plasma dengan titer tinggi,” kata David dalam diskusi, Kamis (11/2/2021).
Dalam keputusan FDA ini disebutkan, pembaruan EUA didasarkan pada evaluasi menyeluruh atas bukti ilmiah yang tersedia saat ini tentang produk medis. ”Plasma pemulihan Covid-19 yang digunakan sesuai dengan EUA yang direvisi mungkin memiliki kemanjuran dan manfaat yang diketahui dan potensinya lebih besar daripada risiko yang diketahui dan potensialnya,” tulis FDA.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan RI Rita Rogayah mengatakan, sekalipun sudah ada izin penggunaan plasma konvalesen oleh BPOM melalui EUA, ini belum menjadi terapi standar. ”Belum ada negara yang menyatakan ini sebagai terapi standar. Di Indonesia, kita masih uji klinis sejak April 2020 dan masih butuh sampel lebih banyak,” katanya.
Menurut Rita, pemberian plasma konvalesen ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena ada beberapa kontra indikasi, misalnya tidak boleh untuk pasien dengan riwayat alergi, ibu hamil, dan gagal jantung. ”Tidak dengan mudah memberikan terapi plasma. Harus hati-hati, selain melihat sumber daya manusianya, juga fasilitas kesehatannya,” ucapnya.
David mengatakan, berdasarkan kajian di beberapa negara dan hasil sementara uji klinik fase pertama dan kedua di Indonesia, antibodi Covid-19 pada penyintas yang menjadi donor plasma konvalesen lebih tinggi pada penyintas derajat sedang dan berat dibandingkan dengan penyintas derajat ringan. Oleh karena itu, tidak direkomendasikan donor plasma dari penyintas dengan gejala ringan, apalagi asimptomatis.
Berikutnya, efektivitas plasma konvalesen lebih baik pada penderita Covid-19 derajat sedang dibandingkan dengan yang berat atau kritis. Selain itu, beberapa pasien yang dirawat dalam jangka lama juga sudah memiliki antibodi titer tinggi sebelum mendapat terapi plasma karena sudah membentuk antibodi endogen. Karena itu, plasma konvalesen tidak direkomendasikan untuk pasien berat atau yang telah dirawat dalam jangka waktu lama.
David juga mengingatkan, perlunya dibuat protokol lebih lanjut berdasarkan uji klinik. Selain itu, penting dilakukan upaya merekrut penyintas sebagai donor dan menyiapkan gudang untuk stok plasma. ”Seleksi calon donor dan jejaring plasma guna menyukseskan uji klinik nasional,” katanya.
Namun, hingga uji klinik selesai dan hasilnya diketahui, pemberian plasma konvalesen ini harus belum bisa dianggap sebagai terapi standar. Karena itu, harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan spesifik. Pemberiannya yang keliru, bukan hanya tidak bermanfaat, malah bisa membahayakan pasien dan berisiko memicu mutasi baru SARS-CoV-2.