Sejumlah studi telah menunjukkan, plasma konvalesen tidak efektif menyembuhkan pasien Covid-19. Sebaliknya, riset juga menunjukkan, terapi ini malah berisiko memicu terjadinya mutasi SARS-CoV-2 menjadi lebih menular.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah studi telah menunjukkan, plasma konvalesen tidak efektif menyembuhkan pasien Covid-19. Sebaliknya, riset juga menunjukkan, terapi ini malah berisiko memicu terjadinya mutasi SARS-CoV-2 menjadi lebih menular.
Temuan tentang risiko terjadinya mutasi SARS-CoV-2 akibat terapi plasma konvalesen atau plasma penyembuhan ini dilaporkan oleh Steven A Kemp, peneliti infeksi dan imunologi dari University College London dan tim di jurnal Nature pada 5 Februari 2021. Disebutkan, seleksi yang kuat terhadap SARS-CoV-2 di tubuh pasien selama terapi plasma penyembuhan telah memicu munculnya varian virus baru.
Pasien merupakan penderita kanker yang juga terkena Covid-19 dan berjuang selama 102 hari sebelum akhirnya meninggal. Selama 57 hari pertama, pasien ini mendapat terapi remdesivir, sebelum kemudian mendapatkan donor plasma penyembuhan.
Varian virus baru yang terbentuk setelah pemberian plasma penyembuhan itu memiliki ciri penghapusan asam amino ΔH69/ΔV70 di bagian protein paku (spike protein) yang menjadikannya dua kali lebih menular dibandingkan virus aslinya.
”Meskipun plasma penyembuhan tampaknya tidak membahayakan pasien, itu tidak memberikan manfaat yang jelas,” kata penulis senior paper ini, Ravindra Gupta, profesor mikrobiologi klinis di Cambridge Institute of Therapeutic Immunology and Infectious Disease.
Oleh karena itu, Gupta menyarankan, terapi ini harus digunakan dengan sangat hati-hati, terutama pada orang dengan kondisi kekebalan kronis. Hal itu karena penggunaan plasma darah yang disumbangkan penderita Covid-19 telah memberi tekanan pada virus untuk berubah.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, di Jakarta, Selasa (9/2/2021) mengatakan, studi terbaru di Inggris ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 telah bermutasi adaptif dan kita bisa turut memicu mutasinya. Mutasi adaptif dipicu oleh proses seleksi alami, di antaranya karena terapi yang diberikan kepada pasien Covid-19.
Bukti empiris dari studi ini menunjukkan, mutasi adaptif terjadi karena virus berada di tubuh seseorang yang memiliki gangguan imun dan dalam jangka waktu lama. ”Selain itu, perlakuan obat-obatan atau terapi antibodi diberikan beberapa kali kepada pasien dalam jangka waktu lama,” katanya.
Riza mengatakan, pasien yang mendapatkan beberapa kali obat dan plasma konvalesen seperti melatih virusnya untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan. ”Sekalipun tidak semua terapi plasma konvalesen bisa memicu mutasi baru, penelitian ini menunjukkan risiko itu, terutama jika diberikan kepada pasien dengan gangguan imun,” lanjutnya.
Menurut Riza, selain seleksi alami karena obat dan terapi yang diberikan kepada pasien, risiko terjadinya mutasi SARS-CoV-2 membesar jika kasus di suatu wilayah sangat tinggi. Oleh karena itu, dia mengingatkan, surveilans genomik di Indonesia harus dilakukan secara lebih intensif dan sistematik.
Sejumlah studi di luar negeri sebenarnya telah menunjukkan bahwa plasma konvalesen tidak efektif untuk menyembuhkan pasien Covid-19 bergejala berat.
Selain melacak kemungkinan masuknya varian baru dari luar negeri, hal ini juga didesain untuk mengantisipasi varian baru di dalam negeri. Apalagi, penerapan plasma konvalesen di Indonesia juga cukup tinggi.
Hati-hati
Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, sejumlah studi di luar negeri sebenarnya telah menunjukkan bahwa plasma konvalesen tidak efektif untuk menyembuhkan pasien Covid-19 bergejala berat. Oleh karena itu, pemberian terapi ini sebaiknya dilakukan sangat hati-hati, terutama juga untuk mengantisipasi risikonya.
Laporan mengenai tidak efektifnya terapi plasma konvalesen atau plasma penyembuhan ini telah dipublikasikan di sejumlah jurnal ilmiah terkemuka. Hasil uji klinis plasma penyembuhan di Argentina yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine pada 25 November 2020, misalnya, menyimpulkan, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam status klinis atau kematian antara pasien yang diobati dengan plasma penyembuhan dan mereka yang menerima plasebo.
Kajian terpisah oleh Anup Agarwal dari Clinical Trial and Health Systems Research Unit Indian Council of Medical Research, India, dan tim dalam British Medical Journal (BMJ) pada 22 Oktober 2020 juga menyimpulkan, uji klinis penggunaan plasma pemulihan tidak menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 yang parah.
Martin Landray, kepala penyelidik serta profesor kedokteran dan epidemiologi di Nuffield Department of Population Health University of Oxford, yang melakukan uji klinis plasma penyembuhan di Inggris, seperti dilaporkan BBC, mengatakan, sejauh ini hasil penyelidikan tidak menunjukkan manfaat signifikan dari plasma konvalesen untuk pasien.
”Meskipun hasil keseluruhan negatif, kami perlu menunggu hasil lengkap sebelum kami dapat memahami apakah plasma konvalesen memiliki peran dalam subkelompok pasien tertentu,” katanya.
Varian di Indonesia
Herawati mengatakan, analisis genom spesimen SARS-CoV-2 di Indonesia hingga saat ini belum menemukan adanya varian baru. ”Indonesia saat ini sudah memasukkan 391 data sekuens SARS-CoV-2 ke GISAID, dan 367 di antaranya merupakan total genom. Sebanyak 138 data sekuens total genom dari Eijkman,” ujarnya.
Sebanyak 59 data sekuens didaftarkan oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan, 43 dari Unair, 44 dari UGM, 16 dari ITB/Unpad/BPPT, 10 dari UNS, 27 dari LIPI, 11 dari UIN Jakarta, 7 dari ITB, 11 dari RS Universitas Tanjungpura, dan 1 dari FK Universitas Indonesia.
”Untuk di Eijkman, sekarang sudah lebih fokus pada spesimen terbaru. Namun, kami masih memiliki keterbatasan cakupan karena yang dikirim kepada kami hanya dari Jakarta Barat. Untuk saat ini, hampir semua sampel memiliki mutasi D614G, tetapi belum ada varian baru mutasi dari Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil,” kata Herawati.
Untuk melacak kemungkinan mutasi dari luar negeri, diperlukan variasi sampel, terutama dari pelaku perjalanan. ”Perlu lebih banyak analisis total genom dari daerah-daerah lain, Bali misalnya,” ujarnya.