PPKM Mikro Dinilai Diskriminatif dan Tidak Akan Efektif
PPKM skala mikro mendapatkan kritik karena menyimpang dari konsep semula. Selain itu, kebijakan yang diberlakukan di Indonesia ini juga dinilai diskriminatif terhadap ekonomi masyarakat kecil.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro dinilai menyimpang dari konsep awal. Selain dikhawatirkan tidak akan efektif menghentikan penularan Covid-19 di Jawa dan Bali, kebijakan ini juga diskriminatif terhadap ekonomi rakyat.
”Konsep micro-lockdown itu setiap kelurahan agar melakukan pembatasan secara bersamaan. Warga tetap bisa menjalankan aktivitas di dalam kelurahannya, tetapi dibatasi untuk keluar. Jadi, usaha kecil, seperti warung, tetap jalan. Akan tetapi, aktivitas skala besar, seperti mal dan perkantoran, harus tutup dulu,” kata Sulfikar Amir, ahli sosiologi bencana Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University, Singapura, Selasa (9/2/2021).
Dia dan timnya merupakan konseptor awal microlockdown atau pembatasan mikro dan telah menulis kajiannya untuk dipublikasikan secara ilmiah sejak Maret 2020. Dia juga menyampaikan konsepnya ini ke pemerintah pusat dan daerah. Pemikiran Sulfikar juga dituliskan dalam opini di Kompas pada 14 April 2020 dengan judul, ”Total Lockdown, Micro-lockdown, Social Distancing”.
Menurut Sulfikar, pembatasan yang sudah terbukti efektif menekan penularan adalah dengan menghentikan pergerakan penduduk secara total (totallockdown) di satu wilayah, seperti dipraktikkan di Wuhan, China. Namun, konsep ini ditolak Pemerintah Indonesia dengan alasan sangat mahal dan dampak politisnya besar.
”Saat itu, Pemerintah Indonesia memiliki pembatasan sosial yang cenderung longgar. Karena itu, saya mengusulkan model alternatif melalui micro-lockdown yang jadi jalan tengah antara pembatasan sosial dan total lockdown,” katanya.
Untuk menguji konsepnya, Sulfikar kemudian membuat simulasi komputasional dengan menggunakan pemodelan berbasis agen untuk membandingkan efek micro lockdown dengan pembatasan sosial dan total lockdown di Jakarta. ”Hasilnya, micro lockdown sedikit di bawah total lockdown, tetapi lebih baik dari pembatasan sosial,” ucapnya.
Sekalipun cukup efektif, Sulfikar mengatakan, konsep pembatasan mikro ini memiliki sejumlah keterbatasan. Di antaranya, hal ini hanya efektif untuk kawasan urban berkepadatan tinggi dengan tingkat penularan yang tidak terlalu tinggi. ”Kalau melihat penularan di Jawa saat ini, saya kira konsep ini tidak relevan lagi,” ujarnya.
Tidak mungkin yang dibatasi skala mikro saja, sementara kegiatan komersial dan perkantoran justru dilonggarkan.
Selain dinilai tidak akan efektif menghentikan penularan, menurut Sulfikar, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro ini sangat kontradiktif dengan konsep awal yang diusulkannya. ”Saya khawatir PPKM mikro ini tidak didahului kajian dan pemodelan dengan dasar epidemiologi ataupun sosiologi,” kata Sulfikar.
Menurut dia, kebijakan PPKM yang membuka mal, sementara membatasi kegiatan ekonomi di lingkungan terkecil ini justru diskriminatif terhadap masyarakat kecil. Padahal, tujuan awal micro-lockdown justru melindungi masyarakat pada level bawah. Supaya mereka bertahan dan bisa bantu dengan sesama,” tuturnya.
Risiko di perkantoran
Ahli epidemiologi Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, juga mengkritisi PPKM mikro yang, menurut dia, justru lebih longgar dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PPKM sebelumnya. ”Padahal, saat ini yang dibutuhkan adalah pembatasan lebih ketat dan serentak. Faktanya, Jawa saat ini mengalami transmisi komunitas di level tertinggi, artinya sudah di mana-mana. Tidak mungkin yang dibatasi skala mikro saja, sementara kegiatan komersial dan perkantoran justru dilonggarkan,” katanya.
Menurut Dicky, dengan diperbolehkannya perkantoran buka 50 persen, dibandingkan sebelumnya 25 persen, dan mal diperpanjang jam bukanya hingga pukul 21.00 WIB, pasti akan meningkatkan mobilitas penduduk. Kepadatan penumpang di transportasi umum bakal kembali terjadi. Demikian halnya, risiko penularan di perkantoran akan kembali meningkat. ”Padahal, datanya, kan, banyak kluster penularan di perkantoran,” ujarnya.
Dicky juga mengingatkan bahwa penentuan zonasi antarkawasan, dalam hal ini rukun tetangga (RT), tanpa adanya kecukupan jumlah tes dan lacak di wilayah itu juga kurang tepat. Pembuatan zonasi baru bisa dilakukan setelah dilakukan tes dan pelacakan secara intensif. ”Pembuatan zonasi dalam PPKM mikro ini mengulang kesalahan saat zonasi PSBB dulu,” tuturnya.
Sementara itu, data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah kasus di Indonesia pada Selasa bertambah 8.700 kasus yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap 38.528 orang. Ini berarti rasio tes positif mencapai 22,5 persen.
Sekalipun ada tren penurunan jumlah kasus, dalam dua hari terakhir jumlah tes cenderung rendah. Sebelumnya, pada Senin (8/2), jumlah kasus bertambah 8.242 kasus dengan pemeriksaan hanya 28.015 orang atau rasio tes positif 29,4 persen.