Kapasitas Tes Belum Mencerminkan Kondisi yang Sebenarnya
Kapasitas untuk mendeteksi Covid-19 secara nasional masih fluktuatif. Ahli mengingatkan pemerintah agar menggenjot pelacakan kasus baru di tengah proses vaksinasi untuk menguatkan penanganan pandemi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas tes dan pelacakan Covid-19 di Indonesia belum maksimal kendati proses vaksinasi tengah berjalan. Ahli epidemiologi mengingatkan, kapasitas tes dan pelacakan yang memadai menguatkan langkah vaksinasi Covid-19. Tanpa langkah ini, penanganan pandemi menjadi semakin sulit.
Awal tahun hingga pekan pertama Februari ini, kapasitas tes Covid-19 di Indonesia menunjukkan angka fluktuatif. Tiga hari pertama Februari, misalnya, kapasitas tes pada Senin (1/2/2021) sebanyak 31.893 orang, Selasa (2/2/2021) 42.944 orang, dan Rabu (3/2/2021) sebanyak 46.893 orang.
Begitu pun sepanjang Januari 2021, kapasitas tes nasional naik turun di kisaran angka 30.000-40.000 orang. Pada beberapa hari di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang terjadi pada Minggu (24/1/2021) sebanyak 35.456 orang dan Senin (25/1/2021) berkurang menjadi 34.580 orang.
WHO mensyaratkan kapasitas tes polimeriase berantai (PCR) sekitar 1:1000 dari total populasi penduduk dalam sepekan. Artinya, sedikitnya ada 270.000 orang yang dites dari total 270 juta penduduk selama sepekan. Dengan kata lain, setidaknya harus ada 38.571 tes setiap hari untuk memenuhi standar WHO.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, memandang jumlah tes selama ini masih didominasi di kota-kota besar. Karenanya, data itu belum mencerminkan kasus secara keseluruhan.
”Jumlah tes harus terpenuhi kapan pun dan merata di seluruh provinsi. Capaian tes itu bisa memperkuat surveilans dan basis data orang yang akan divaksinasi. Dengan menjalankan surveilans ketat, target vaksinasi juga nantinya bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya, Rabu.
Data Kementerian Kesehatan, sekitar 44 persen tes saat ini masih terfokus di Jakarta, begitu pun kapasitas pelacakan kontak. Hal ini disampaikan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono dalam rapat kerja Komisi IX DPR.
Kementerian Kesehatan mengupayakan 612 laboratorium untuk tes sebagai rujukan nasional. Dengan jumlah itu, target tes diperkirakan dapat mencapai rasio 1,14 per 1.000 penduduk. Dante merinci, sedikitnya harus ada 38.500 orang yang dites untuk mencapai target pemeriksaan dalam sepekan.
Ridwan Amiruddin dari Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia berpendapat, tes dan pelacakan menguatkan langkah pada sektor hulu. Apabila mengacu pada prinsip epidemiologi, dua hal ini sudah semestinya berlangsung ketat.
”Ini (tes dan lacak) titik terlemah pengendalian Covid-19 di Indonesia. Daya lacak petugas sangat minimalis sehingga kebocoran penularan terus bertumbuh hingga ke wilayah baru. Sistem koordinasi minim dan kemampuan perlindungan wilayah hampir nihil dari pemimpin di daerah,” ujarnya, Senin.
Lonjakan kasus dan kematian Covid-19 selama ini karena kebijakan penanganan pandemi yang terlalu berorientasi pada aspek kuratif. Padahal, surveilans ketat juga diperlukan untuk keakuratan deteksi. ”Mayoritas kebijakan berujung pada orientasi kuratif, seperti berapa rumah sakit yang disiapkan, ketersediaan obat, dan jaminan stok APD (alat pelindung diri),” kata Ridwan.
Menurut dia, kebijakan tersebut kurang tepat karena pertumbuhan kasus Covid-19 terjadi secara eksponensial, terus-menerus. Kondisi itu berisiko memicu lebih banyak kematian yang juga kian memberatkan perekonomian.
Terkait itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berencana memperkuat sistem kesehatan sejak di tingkat puskesmas. Aturan akan diperbaiki agar layanan kesehatan kian fokus pada upaya promotif dan preventif. Selama ini, layanan kesehatan lebih banyak menjalankan fungsi kuratif sehingga butuh biaya besar.
Puskesmas seharusnya dapat memainkan peran strategis dalam mengatasi pandemi. Pertama, peran untuk mendidik masyarakat agar menjalankan protokol kesehatan, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Kedua, puskesmas juga berperan memaksimalkan upaya pengetesan, pelacakan, dan isolasi kasus terkait Covid-19. Apabila kedua strategi tersebut bisa berjalan, laju penularan virus penyebab Covid-19 bisa ditekan dengan optimal sehingga kurva penularan juga bisa melandai.
”Peran puskesmas di sisi hulu perlu ditingkatkan karena apa pun yang kita lakukan di hilir, yakni di rumah sakit, akan makin berat tekanannya jika tidak maksimal menuntaskan di sisi hulu,” ujar Budi.
Menurut epidemiolog Tri Yunis Miko, pembatasan ketat juga termasuk sebagai upaya penanganan preventif pandemi Covid-19. Ia memandang langkah pembatasan mobilitas adalah hal yang paling mungkin dilakukan untuk mencegah penularan virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Dia juga menyarankan agar fase pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berjalan lebih ketat. Sebab, kondisi pembatasan saat ini masih dinilai terlalu kendur. ”Pembatasan mobilitas ketat adalah satu-satunya cara untuk mencegah transmisi penularan Covid-19,” ujarnya.