Pengendalian Covid-19 Menyimpang dari Prinsip Epidemiologi
Situasi pandemi di Indonesia semakin tak terkendali seiring terus bertambahnya jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19. Kebijakan berorientasi pada penanganan di sektor hilir atau kuratif memengaruhi kondisi ini.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pandemi Covid-19 dinilai lebih berorientasi pada aspek kuratif, tetapi kurang memperhatikan aspek pencegahan dan surveilans. Hal ini menyimpang dari prinsip epidemiologi sehingga jumlah kasus dan kematian terus meningkat.
Jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia, menggeser posisi India yang berhasil melandaikan kurva penularan. Pada Senin (1/2/2021), ada penambahan 10.994 kasus baru secara nasional sehingga total menjadi 1.089.308 kasus. Sementara jumlah kasus aktif sebanyak 175.349 orang dan korban jiwa bertambah 279 orang sehingga totalnya 30.277 orang.
Penambahan kasus harian ini relatif kecil dibandingkan dengan beberapa hari terakhir, tetapi hal ini disebabkan jumlah orang yang diperiksa menurun, yaitu hanya 31.893 orang sehari. Dengan jumlah pemeriksaan ini, rasio tes positif (positivity rate) harian di Indonesia 34,4 persen, lebih tinggi dari rata-rata dalam sepekan terakhir yang sebesar 29,4 persen. Padahal, ambang maksimal rasio tes positif yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 5 persen.
”Indikator yang sering digunakan untuk melihat densitas penyakit adalah positivity rate,” kata Prof Ridwan Amiruddin dari Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi), di Jakarta, Senin (1/2/2021).
Dengan rasio tes positif amat tinggi ini, jumlah kasus dan korban jiwa Covid-19 di Indonesia akan terus bertambah. ”Semakin banyak yang positif dari sampel yang diperiksa berarti semakin tinggi laju insidensinya,” tuturnya.
Membesarnya jumlah kasus diikuti peningkatan kematian karena hampir semua kebijakan yang dikeluarkan untuk mengendalikan pandemi lebih berorientasi pada fase akhir suatu penyakit. ”Mayoritas kebijakan berujung orientasi kuratif, seperti berapa rumah sakit yang disiapkan, ketersediaan obat, dan jaminan stok APD (alat pelindung diri),” kata Ridwan.
Menurut dia, kebijakan ini kurang tepat karena pertumbuhan kasus Covid-19 terjadi secara eksponensial, terus-menerus, hingga berisiko memicu lebih banyak kematian dan secara ekonomi juga akan semakin berat.
Seusai prinsip epidemiologi, menurut Ridwan, pemerintah diminta jangan hanya mengepel lantai, tetapi juga segera menghentikan kebocorannya. ”Geser kebijakannya ke sektor hulu,” ungkap.
Upaya ini bisa dilakukan dengan memperbanyak pelacakan dan tes. ”Ini (tes dan lacak) titik terlemah pengendalian Covid-19 di Indonesia. Daya lacak petugas sangat minimalis sehingga kebocoran penularan terus bertumbuh hingga ke wilayah baru. Sistem koordinasi minim dan kemampuan perlindungan wilayah hampir nihil dari pemimpin di daerah,” kata Ridwan.
Ini (tes dan lacak) titik terlemah pengendalian Covid-19 di Indonesia. Daya lacak petugas sangat minimalis sehingga kebocoran penularan terus bertumbuh hingga ke wilayah baru.
Langkah berikutnya harus ada pembatasan pergerakan kelompok berisiko atau yang terkonfirmasi positif. Mobilitas penduduk yang tinggi linier dengan peningkatan jumlah kasus dari waktu ke waktu. Semakin tinggi interaksi penduduk maka semakin bertumbuh kasusnya sehingga pola adaptasi baru yang keluar adalah mengurangi pergerakan dan interaksi penduduk.
”Harus ada penguatan karantina teritorial. Wilayah yang masih terkendali kasusnya supaya dapat terus dipertahankan dengan memastikan tidak ada kasus impor dari wilayah lain. Kalaupun ada, dengan sigap dapat dilacak dan isolasi,” katanya.
Pada saat bersamaan, wilayah yang menjadi pusat penularan harus diisolasi agar semua kasus Covid-19 tidak menulari ke daerah lain. ”Wilayah dengan positifity rate tidak terkendali harus bisa memastikan populasinya tidak beredar ke mana-mana paling tidak dua hingga tiga kali masa inkubasi,” ujarnya.
Surveilans genomik
Ahli biologi molekuler Indonesia dari Harvard Medical School, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, mengingatkan, selain meningkatkan tes, lacak, dan isolasi, Indonesia harus mengoptimalkan surveilans genomik. Itu diperlukan untuk mendeteksi lebih dini penyebaran varian baru Covid-19 lebih menular.
Seperti diketahui, saat ini telah muncul tiga varian baru SARS-CoV-2, yaitu mutasi dari Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil. Varian baru B.1.1.7 dari Inggris yang 71 persen lebih menular diketahui telah beredar di Filipina, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan sejumlah negara tetangga lainnya. Namun, Indonesia belum melaporkan adanya varian baru ini.
Sejumlah kajian di luar negeri menemukan, mutasi baru memicu terjadinya koinfeksi atau adanya satu pasien terinfeksi SARS-CoV-2 dengan dua varian berbeda. Selain itu, mutasi virus ini dikhawatirkan memicu reinfeksi atau infeksi ulang, yaitu orang yang pernah terinfeksi dengan varian lama, terinfeksi dengan varian baru.
”Untuk membuktikan adanya koinfeksi dan reinfeksi ini harus dilakukan pengurutan genomik. Kalau dengan RTPCR biasa tidak akan bisa karena resolusinya beda. Oleh karena itu, surveilans genomik harus benar-benar dijalankan. Saat ini ada 11 kampus yang mampu melakukannya dan ini harus dioptimalkan,” ujarnya.
Ahmad menambahkan, adanya kasus infeksi terhadap orang yang mendapat suntikan vaksin, seperti terjadi pada Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna, seharusnya ditelusuri lebih lanjut dan spesimennya dianalisis menggunakan pengurutan genomik.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana, dalam keterangan tertulis, menjelaskan, Pradi mengalami demam pada 28 Januari 2021 saat hendak divaksinasi kedua. Dari hasil tes usap (swab) pada tanggal 29 Januari 2021 diketahui yang bersangkutan positif Covid-19.
”Antibodi dari vaksin maksimal akan muncul dua minggu setelah suntikan kedua, jadi orang yang baru mendapat suntikan pertama seharusnya memperketat protokol kesehatan. Untuk memastikan, dia (Pradi) bisa diperiksa antibodi apakah sudah muncul atau belum,” katanya.