Nilai Buruk Penanggulangan Pandemi Covid-19 di Indonesia
Kajian lembaga kebijakan dari Australia, Lowy Institute, menempatkan Indonesia pada urutan rendah, 85 dari 98 negara yang buruk mengatasi pandemi Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang gagal dalam mengendalikan pandemi dengan berada di peringkat ke-85 dari 98 negara yang dikaji. Dengan tren peningkatan kasus dan kematian, kondisi di Indonesia dikhawatirkan bisa lebih buruk lagi.
Penilaian tentang buruknya upaya pengendalian pandemi di Indonesia ini dipublikasikan oleh Lowy Institute, lembaga kajian kebijakan dari Australia. Pemeringkatan ini didasarkan dengan menganalisis jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi, kematian, kasus per sejuta populasi, kematian per sejuta populasi, rasio tes positif, dan jumlah orang dites per 1.000 populasi.
Berdasarkan enam indikator ini, Indonesia mendapat nilai 24,7 dan berada di peringkat ke-85, satu peringkat lebih baik dari India dengan skor 24,3. Selain lebih baik dari India, untuk di Asia, Indonesia hanya lebih baik dari Oman dan Iran. Dalam analisis ini, negara terbaik dalam menanggulangi pandemi ini adalah Selandia Baru dengan nilai 94,4, disusul Vietnam, Taiwan, dan Thailand.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, Kamis (28/1/2021), mengatakan, penanggulangan pandemi di Indonesia ini memang buruk sehingga wajar jika mendapat peringkat yang rendah. ”Pemeringkatan ini didasarkan pada aspek epidemiologi dan faktanya Indonesia memang paling rendah di ASEAN, bahkan lebih buruk dari Filipina,” ujarnya.
Dicky mengatakan, performa pengendalian pandemi ini sangat signifikan dampaknya terhadap pemulihan ekonomi dan sosial. ”Dalam kajian Lowy Institute ini juga terlihat perkembangan ekonomi kita memburuk,” ujarnya.
Menurut dia, situasi di Indonesia diperkirakan bakal lebih memburuk mengingat sebagian negara, seperti India, saat ini mulai menunjukkan tren penurunan kasus dan kematian harian. Sebaliknya, Indonesia tengah menuju puncak penularan.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, penambahan kasus harian mencapai 13.695 kasus baru sehingga total menjadi 1.037.993 kasus. Jumlah kasus aktif sebanyak 166.540 kasus dan suspek 82.676 orang.
Adapun penambahan kematian harian mencapai 476 orang, rekor tertinggi sejak Maret 2020. Dengan penambahan ini, total korban jiwa 29.331 orang.
Penambahan korban jiwa dalam sehari di Indonesia ini, menurut data worldmeters.info, berada di posisi ketiga tertinggi setelah Meksiko dengan 1.623 korban dalam sehari dan Rusia dengan 575 korban dalam sehari.
Perubahan perilaku
Selain kegagalan dalam surveilans, yang didasarkan pada tes, lacak, dan isolasi, penanggulangan pandemi di Indonesia juga dipengaruhi oleh kegagalan dalam pengubahan perilaku kesehatan masyarakat. Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) Yunita T Winarto dalam diskusi yang diinisiasi Satgas Penanganan Covid-19 mengatakan, budaya baru taat protokol kesehatan belum terbangun.
”Dasar-dasar pemahaman mengenai virus ini ke masyarakat harusnya dikemas dalam metode belajar yang dialogis. Andragogi. Lihat perilaku kita yang salah apa, lalu apa yang harus diubah oleh komunitas itu sendiri,” tuturnya.
Yunita menambahkan, edukasi ini membutuhkan pendampingan. ”Dari pemangku kepentingan sendiri harus ada konsistensi. Kalau tidak konsisten, masyarakat akan bimbang,” ujarnya.
Sementara itu, pakar keselamatan dan kesehatan kerja Prof L Meily Kurniawidjaja mengatakan, untuk mengubah perilaku tidak cukup dengan rekomendasi, instruksi, ataupun imbauan. ”Harus ada internalisasi norma,” ujarnya.
Dia mencontohkan, dalam promosi keselamatan kerja di perusahaan, terdapat ragam kluster yang membutuhkan pendekatan berbeda. Situasi ini juga terjadi di masyarakat. Kelompok pertama, perlu ganjaran dan hukuman. ”Misalnya, di Singapura atau negara lain, masyarakat yang melanggar protokol kesehatan akan dihukum,” kata Yunita
Kelompok kedua akan berubah setelah mempertimbangkan untung dan rugi. ”Mereka ini butuh penjelasan dan contoh untuk berubah. Mereka cukup dewasa untuk menilai jika dianggap benar dan menguntungkan akan dilakukan,” tuturnya.
Ketua Tim Periset Pemberdayaan Edukasi dan Literasi Covid-19 untuk Perubahan Perilaku Komunitas UI Prof Hadi Pratomo mengatakan, sering kali tokoh masyarakat yang jadi panutan justru tidak memberi contoh baik perubahan perilaku yang taat protokol kesehatan. ”Perubahan perilaku ini harus dievaluasi secara berkelanjutan, sampai ada perbaikan. Tidak bisa sepotong-potong,” ujarnya.