Deteksi dini terhadap penyakit Kusta sangat penting. Cacat fisik pada pasien kusta bisa dicegah jika mendapatkan pengobatan pada kondisi awal penularan. Pengobatan diberikan selama 6-12 bulan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kusta bukan aib sehingga tidak boleh ada stigma bagi penderitanya. Namun, penularan penyakit ini harus diwaspadai, terutama penularan kepada anak. Upaya deteksi dini dengan mengenali tanda penularan kusta amat penting untuk mencegah risiko kecacatan yang ditimbulkan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tren proporsi kasus baru dari penularan kusta pada anak mengalami peningkatkan. Pada 2018 tercatat proporsi kasus baru kusta pada anak sebesar 10,94 persen, kemudian meningkat menjadi 11,52 persen pada 2019.
Pada 2020, proporsi kusta pada anak sebesar 9,14 persen. Namun, angka ini diperkirakan bisa lebih tinggi karena masih ada sejumlah daerah yang belum melaporkan data terbaru, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Selain itu, upaya penemuan aktif di masyarakat juga terkendala karena pandemi Covid-19.
Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI), yang juga anggota Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Zunarsih di Jakarta, Jumat (29/1/2021), menyampaikan, penularan kusta pada anak harus menjadi perhatian serius. Hal itu karena temuan kasus pada anak bisa menjadi salah satu indikator tingkat penularan di suatu daerah.
”Masa inkubasi kusta cukup lama sehingga jika terdeteksi sudah dengan tanda dan gejala, anak itu sudah melakukan kontak dengan penderita kusta aktif pada 2-5 tahun sebelumnya. Penderita ini juga artinya belum diobati jadi bisa menularkan kepada orang lain,” tuturnya.
Masa inkubasi kusta cukup lama sehingga jika terdeteksi sudah dengan tanda dan gejala, anak itu sudah melakukan kontak dengan penderita kusta aktif pada 2-5 tahun sebelumnya. Penderita ini juga artinya belum diobati jadi bisa menularkan ke orang lain. (Zunarsih)
Ia menambahkan, anak dengan kusta rentan mengalami dampak sosial, seperti dijauhi oleh temannya dan mendapat stigma dari lingkungan. Selain itu, risiko kecacatan juga bisa terjadi. Hal ini dapat mengganggu aktivitas serta menurunkan tingkat produktivitasnya ketika dewasa.
Oleh sebab itu, Zunarsih menyampaikan, deteksi dini menjadi sangat penting. Cacat fisik pada pasien kusta bisa dicegah jika mendapatkan pengobatan pada kondisi awal penularan. Pengobatan diberikan selama 6-12 bulan. Jika pengobatan tuntas, risiko penularan bisa dihentikan serta kondisi kecacatan bisa dihindari.
”Jika menemukan ada bercak putih pada kulit, seperti panu, itu bisa menjadi alarm untuk waspada terjadi penularan kusta. Bercak pada kusta cenderung lebih kering jika dibandingkan dengan kulit di sekitarnya. Permukaannya pun lebih kasar. Selain itu, jika berkeringat, pada area bercak tidak mengeluarkan keringat,” katanya.
Adapun tanda lainnya, seperti ada bercak merah yang mirip seperti kurap. Namun, pada kusta, bercak tersebut tidak terasa gatal atau bahkan seperti mati rasa. Bercak juga bisa menjadi besar ataupun lebih banyak dalam beberapa minggu. Kondisi ini patut diwaspadai karena biasanya sudah pada fase penularan yang lebih akut.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penanggulangan kusta merupakan salah satu prioritas utama pemerintah yang harus diselesaikan. Pada 2030, sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, ditargetkan jumlah orang yang memerlukan intervensi terkait kusta berkurang sebanyak 90 persen.
Saat ini, masih ada delapan provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sementara itu, 113 kabupaten/kota yang tersebar di 22 provinsi belum mencapai eliminasi. Suatu daerah ditetapkan mencapai eliminasi apabila prevalensi penderita kusta di bawah 1 per 10.000 penduduk.
Nadia menuturkan, upaya pencegahan dan pengendalian tetap dijalankan secara optimal meskipun ada kendala akibat pandemi Covid-19. Penemuan penderita dan penanganan secara dini dilakukan dengan pengumpulan data aktif dan pasif dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Pemberian obat Rifampisin juga dilakukan dengan dosis tunggal kepada orang yang kotak dengan penderita kusta. Ini diperlukan guna mencegah penularan kusta pada orang tersebut. Selain itu, tata laksana dan pemantauan pada pasien tetap berjalan untuk memastikan kepatuhan konsumsi obat.
”Pada 2021 akan disiapkan strategi baru, khususnya untuk menemukan kusta pada anak. Untuk sekolah yang sudah mulai tatap muka, penemuan kasus aktif tetap dijalankan di sekolah, sementara yang masih PJJ (pembelajaran jarak jauh) akan dilakukan peningkatan kapasitas pada kader agar kasus bisa ditemukan lewat rumah tangga,” ujar Nadia.