Indonesia, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sudah mengunci 600 juta dosis vaksin Covid-19 dari berbagai sumber. Jumlah ini menutup 150 persen kebutuhan nasional.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·4 menit baca
Berbicara dalam Kompas100 CEO Forum di Jakarta, Kamis (21/1/2021), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut Indonesia beruntung berhasil mendapat komitmen pengiriman vaksin Covid-19 sebanyak 300 juta dosis dan 300 juta dosis lainnya dengan pengiriman yang masih akan dibicarakan. Vaksin tersebut berasal dari Sinovac (China), Astra Zeneca (Inggris), Pfizer/BioNTech (Amerika Serikat-Jerman), dan Novavax (Amerika Serikat). Indonesia juga mendapat komitmen dari Aliansi Vaksin Gavi yang bersama WHO menggalang dana global untuk membuat vaksin Covid-19 tersedia bagi semua, sejumlah minimal 18 juta hingga 100 juta dosis.
Keberuntungan Indonesia seperti dikatakan Menteri Kesehatan harus dilihat dalam konteks perebutan vaksin Covid-19 di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengingatkan jauh-jauh hari tentang ”nasionalisme vaksin” negara-negara kaya.
Nasionalisme vaksin, keadaan di mana negara-negara menjadikan kepentingan masing-masing sebagai yang pertama mendapatkan vaksin daripada berkoordinasi secara global, akan menghambat pemulihan dunia dari pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti dikutip euronews.com menyebut, pada awal Januari 2021, sebanyak 42 negara sudah mendistribusi vaksin yang aman dan efektif bagi rakyatnya. Sebanyak 36 negara adalah negara kaya dan 6 negara lainnya kelompok berpenghasilan menengah, termasuk di antaranya Indonesia.
Dari data tersebut terlihat hampir sebagian besar negara berpenghasilan menengah dan semua negara berpendapatan rendah tidak mendapat akses pada vaksin. Situasi ini, demikian Tedros, merugikan semua dan memukul diri sendiri.
People’s Vaccine, aliansi global organisasi non-pemerintah yang terdiri dari, antara lain, Amnesty International, Frontline AIDS, Global Justice Now, dan Oxfam, menganalisis data informasi ilmiah. Mereka menemukan bahwa negara kaya dengan populasi hanya 14 persen penduduk dunia sudah menguasai 53 persen vaksin yang diproduksi delapan perusahaan yang vaksinnya sejauh ini menjanjikan efektivitasnya. Menurut People Vaccine, pada awal Desember 2020 seluruh produk Moderna dan 96 persen vaksin Pfizer/BioNTech sudah dipesan negara-negara kaya.
Nasionalisme vaksin akan memperlambat pemulihan global karena menyebabkan distribusi vaksin tidak setara. Tujuan penggunaan vaksin dalam mengatasi pandemi adalah untuk mendapatkan kekebalan komunitas. Apabila hanya sebagian orang atau kelompok orang atau hanya beberapa negara yang seluruh rakyatnya mendapatkan vaksin dan terlindungi dari Covid-19, tetap akan ada biaya yang harus dibayar negara itu jika seluruh kawasan di dunia tidak terlindungi melalui vaksinasi.
World Economic Forum menyebut nasionalisme vaksin memperlambat pemulihan global dan akan menyebabkan negara-negara kaya kehilangan 199 miliar dollar AS setahun.
Analisis Rand Corporation menyebutkan, secara global kerugian ekonomi akibat nasionalisme vaksin bisa mencapai 1,2 triliun dollar AS. Laporan ”Covid-19 and the Cost of Vaccine Nationalism” tersebut mengingatkan, sampai vaksinasi menghasilkan kekebalan komunitas, masyarakat akan terus diminta untuk terus menjaga jarak. Dampaknya akan terasa pada kegiatan ekonomi, terutama pada sektor-sektor yang memerlukan tatap muka, seperti pariwisata, bisnis restoran, dan pendidikan.
Vaksin mandiri
Dengan vaksin Covid-19 telah tersedia dan pemberian vaksin untuk keperluan darurat dimulai di Indonesia, muncul pertanyaan tentang kemungkinan bagi individu untuk mendapatkan vaksin secara mandiri, tidak perlu menunggu giliran yang ditetapkan pemerintah.
Akses yang tidak merata atas vaksin membuat pemulihan ekonomi tahun ini masih dibayangi ketidakpastian.
Menjawab pertanyaan yang diajukan para pengusaha tersebut, Menkes Budi Sadikin mengingatkan, vaksin tidak dimaksudkan untuk memberi perlindungan individual, melainkan melindungi masyarakat. Pemerintah akan memberikan vaksin secepat dan semerata mungkin, serta menghindarkan mereka yang memiliki kemampuan finansial mendapatkan vaksin lebih dulu sebelum kelompok masyarakat di garis depan dan rentan tertular mendapatkan vaksin. Pada sisi lain, Presiden Joko Widodo sudah menjanjikan vaksin akan gratis dan menjadi hak rakyat sebagai barang publik.
Di media Barat, pemberitaan hanya mengenai vaksin dari negara maju, seperti Astra Seneca, Pfizer BionTech, Novavax, Moderna, Sputnik, Sinovac, dan Sinopharm. Di luar vaksin yang sudah mulai digunakan untuk pemakaian darurat tersebut, India juga sudah menghasilkan vaksin yang dikirim ke negara tetangga.
India yang mendapat julukan farmasi dunia dan menjadi tumpuan negara-negara berpenghasilan menengah dan miskin sebagai penyedia vaksin Covid-19 mulai mengekspor vaksin ke negara tetangga Bhutan dalam skema bantuan (grant). Setelah Bhutan, India akan segera mengekspor vaksin ke Maladewa, Bangladesh, Nepal, Myanmar, dan and Seychelles. Sementara itu, Sri Lanka, Afghanistan, dan Mauritius sedang menunggu izin pemerintah masing-masing untuk mulai menerima vaksin Covid-19 dari India.
Akses yang tidak merata atas vaksin membuat pemulihan ekonomi tahun ini masih dibayangi ketidakpastian. Bahkan, ketika vaksin sudah tersedia pun, negara berkembang, termasuk Indonesia, masih harus berjuang untuk mendistribusikan dengan cepat, merata, aman, dan tepat.
Bukan hanya persoalan logistik rantai dingin yang dibutuhkan untuk kestabilan materi vaksin. Data individu yang akan mendapat vaksin masih harus diperbaiki ketika distribusi akan dilakukan massal pada total 181 juta orang yang menjadi target cakupan vaksinasi.
Dampak tidak meratanya akses atas vaksin secara global akan ditanggung semua pihak, tetapi yang paling berat menanggung beban adalah negara menengah dan miskin. Di dalam negara tersebut, perempuan dan anak akan menanggung beban lebih besar lagi.
Ketimpangan akses atas vaksin tidak boleh terjadi di dalam negara. Akses atas vaksin yang tidak merata akan memperlebar kesenjangan meskipun ide untuk mendahulukan vaksin untuk rumpun orang-orang yang produktif sangat menggoda.
Di dalam situasi pandemi tidak bisa satu individu selamat sendiri, semua harus saling mendukung dalam gerakan bersama dan solidaritas.