Fasilitas layanan kesehatan di berbagai daerah makin kewalahan menangani pasien Covid-19. Kolapsnya fasilitas kesehatan tersebut mesti disosialisasikan kepada masyarakat agar lebih waspadai pada penularan penyakit itu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Situasi pandemi Covid-19 di Indonesia darurat. Namun, berbagai kebijakan sulit menekan laju penularan penyakit itu jika tak disertai kesadaran warga akan kondisi itu. Pembatasan kegiatan warga harus diperketat disertai pemeriksaan, pelacakan, dan penguatan kapasitas layanan kesehatan.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, kasus baru Covid-19 pada Jumat (22/1/2021) bertambah 13.632 orang dengan 250 kematian. Jumlah kasus yang diperiksa dalam sehari 51.764 orang. Adapun kasus aktif yang dirawat sebanyak 156.683 orang.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menyampaikan, kasus Covid-19 yang terus bertambah perlu cepat diantisipasi. Jika kasus melonjak, rumah sakit tidak mampu menampung pasien sehingga penanganan tak optimal. “Itu berdampak pada tingginya angka kematian serta penularan di masyarakat,” katanya, di Jakarta.
Sebanyak 2.979 rumah sakit disiapkan untuk merawat pasien Covid-19. Dari jumlah itu tersedia sekitar 81.000 tempat tidur, baik untuk tempat tidur isolasi maupun tempat tidur untuk layanan intensif (ICU). Sementara, jumlah tempat tidur yang terisi 52.719 pasien. Artinya, tingkat keterisian tempat tidur masih 64,83 persen.
Namun, tingkat keterisian tempat tidur itu tak merata di seluruh Indonesia. Banyak daerah yang kapasitas tempat tidurnya terisi hampir 90 persen. “Rumah sakit di DKI Jakarta, misalnya, kini hanya tersisa 63 tempat tidur. Kondisi ini amat mengkhawatirkan karena perkembangan pasien begitu banyak setiap hari. Sangat mungkin jika ada pasien tidak tertampung,” kata Kadir.
Karena itu, penambahan jumlah tempat tidur untuk pelayanan Covid-19 perlu dipercepat. Melalui Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2021, seluruh rumah sakit di Indonesia diminta meningkatkan kapastias tempat tidur, antara lain dengan mengkonversi tempat tidur yang sebelumnya untuk layanan noncovid-19 menjadi layanan pasien Covid-19.
Rumah sakit di DKI Jakarta, misalnya, kini hanya tersisa 63 tempat tidur. Kondisi ini amat mengkhawatirkan.
Pada rumah sakit yang tingkat keterisian tempat tidur untuk layanan Covid-19 lebih dari 80 persen, konversi tempat tidur untuk isolasi perlu ditambah jadi 40 persen dari semua kapasitas tersedia. Sementara tempat tidur untuk layanan ICU perlu ditambah jadi 25 persen dari seluruh kapasitas. Penambahan ini tidak hanya berlaku pada rumah sakit pemerintah, melainkan juga rumah sakit miliki TNI/Polri serta rumah sakit swasta.
Pengamat kesehatan masyarakat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono menuturkan, fasilitas kesehatan yang kewalahan harus jadi penyadaran bagi warga saat ini kondisinya darurat.
Aturan terkait pembatasan kegiatan masyarkat perlu disosialisasikan menyeluruh berserta alasan pemberlakukan pembatasan tersebut. “Penyadaraan pada masyarat terkait situasi darurat menjadi konsen amat dasar," ungkapnya.
" Masyarakat harus tahu apa saja risiko jika keluar dari rumah, bagaimana penularan bisa terjadi jika tidak mematuhi protokol kesehatan. Jika terpaksa keluar juga perlu sadar apa mekanisme yang wajib dilakukan. Itu yang harus terus disampaikan berulang agar benar dipahami oleh setiap individu,” ucapnya.
Selain itu, aturan pembatasan sosial perlu dijalankan secara optimal. Kondisi darurat juga perlu dipahami seluruh pemangku kepentingan. Saat ini, aturan yang berlaku justru sifatnya kontraproduktif, misalnya waktu usaha untuk makan di tempat yang diperpanjang serta penambahan persentase kapasitas tempat duduk di pesawat.
Anung menambahkan, pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat perlu dipahami secara utuh sebagai bagian upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Karena itu, tiap kepala daerah yang memberlakukan aturan pembatasan ini harus memastikan upaya pelacakan, pemeriksaan, serta peningkatan layanan kesehatan bermutu dilaksanakan.
“Upaya 3T (testing, tracing, dan treatment) serta 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitias) perlu dikedepankan. Kita tahu bahwa vaksinasi yang berjalan tidak akan selesai dalam enam bulan ke depan, sementara kondisi rumah sakit yang kewalahan sudah terjadi,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, juru bicara untuk vaksinasi dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, proses registrasi masih jadi kendala utama pada pelaksanaan vaksinasi bagi tenaga kesehatan. Itu karena sistem informasi yang digunakan untuk registrasi belum bisa berjalan secara optimal.
Dari 500.000 tenaga kesehatan yang sudah dikirimkan SMS pemberitahuan vaksinasi, baru sekitar 132.000 orang yang melakukan registrasi. Dari jumlah itu, 111.000 tenaga kesehatan yang bisa divaksinasi. Sementara 21.000 orang lain harus ditunda pelaksanaan vaksinasinya antara lain, karena memiliki komorbid serta memiliki tekanan darah yang tinggi ketika akan divasinasi.
"Untuk mengatasi itu kami membuat aturan bahwa tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan SMS namun belum bisa registrasi bisa melakukan pendaftaran secara manual di fasilitas kesehatan tempatnya bekerja yang memenuhi standar vaksinasi," ucap Nadia.