Pandemi Covid-19 menuntut segala upaya pengendalian penularan virus di masyarakat bisa cepat dilakukan, termasuk menemukan vaksin. Lembaga penelitian dalam negeri terus berupaya mengembangkan vaksin sendiri.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 menuntut segala upaya pengendalian penularan virus di masyarakat bisa cepat dilakukan. Para peneliti dan ilmuwan di seluruh dunia pun seakan terpusat untuk menghasilkan berbagai inovasi yang bisa mendukung upaya pengendalian tersebut, termasuk menemukan vaksin.
Indonesia pun turut berperan dalam pengembangan vaksin di dunia. Selain menjadi lokasi tempat uji klinis vaksin Sinovac buatan China, pengembangan vaksin juga dilakukan secara mandiri oleh para peneliti dalam negeri.
Setidaknya, ada enam lembaga yang mulai mengembangkan vaksin dengan label ”Vaksin Merah Puith”, yakni Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), serta Universitas Airlangga.
Dengan penularan yang transmisinya masih sangat intensif, vaksin tetap lebih baik diberikan dibandingkan tidak untuk melindungi masyarakat.
Setiap lembaga tersebut mengembangkan vaksin dengan platform yang berbeda. Lembaga Eijkman mengembangkan vaksin dengan platform subunit protein rekombinan dan inaktivasi virus. Universitas Indonesia mengembangkan platform DNA, mRNA, dan virus like particle (VLP).
UGM mengembangkan platform protein rekombinan, sementara LIPI dengan platform protein rekombinan fusi. Kemudian, ITB dengan platform adenovirus serta Universitas Airlangga dengan platform adenovirus dan adeno associated virus (AAV).
Akan tetapi, berbagai keterbatasan membuat proses pengembangan yang dilakukan membutuhkan waktu yang cukup lama. Saat ini, sebagian besar penelitian masih dalam tahap pengembangan prototype sehingga diperkirakan baru tahun 2022 vaksin bisa diproduksi.
Sembari terus berupaya mengembangkan vaksin dalam negeri, kerja sama penelitian juga dijalankan dengan industri global. Kesempatan tersebut terwujud dari kerja sama antara PT Bio Farma (Persero) dan produsen vaksin asal China, Sinovac Biotech Ltd. Itu berlangsung melalui uji klinis fase ketiga untuk vaksin CoronaVac yang dibuat oleh Sinovac yang juga melibatkan peneliti dari Universitas Padjajaran Bandung.
Persentase ini sudah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan batas minimal efikasi dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat sebesar 50 persen. Berdasarkan hasil efikasi ini pula, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) telah menerbitkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) yang menandakan vaksin ini aman, bermutu, dan berkhasiat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menerbitkan fatwa yang menyatakan vaksin CoronaVac halal dan suci.
Meski demikian, proses uji klinis harus tetap berjalan sampai pemantau enam bulan setelah suntikan kedua yang selesai pada Maret 2021. Pemantauan selama masa uji klinis ini diperlukan untuk menentukan efikasi dari semua vaksin yang diberikan dalam pengujian serta melihat kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi (imunogenisitas) di tubuh seseorang.
Pada tiga bulan setelah vaksin kedua diberikan kepada sukarelawan, imunogenisitas yang terbentuk dari pemberian vaksin mencapai 99,23 persen. Analisis imunogenisitas diperoleh dari pengambilan sampel darah pada 540 subjek pertama yang divaksinasi.
Kepala Badan POM Penny K Lukito berharap tingkat imunogenisitas dari vaksin CoronaVac bisa tetap tinggi sampai pada enam bulan pematauan dilakukan. Imunogenisitas ini berpengaruh pada waktu vaksin penguat (booster) harus diberikan.
”Vaksin ini memang tidak bisa sepenuhnya melindungi seseorang dari penularan Covid-19 sehingga protokol kesehatan harus terus diterapkan. Namun, setidaknya, vaksin ini bisa meringankan derajat kesakitan pada orang yang tertular dan sudah divaksin. Dengan penularan yang transmisinya masih sangat intensif, vaksin tetap lebih baik diberikan dibandingkan tidak untuk melindungi masyarakat,” katanya.